Mubadalah.id – Sudah waktunya kita menghentikan praktik pengontrolan terhadap seksualitas perempuan, juga pen-subordinasian seksualitasnya di hadapan laki-laki. Sebab semua itu jelas bertentangan dengan prinsip kesetaraan, keadilan, dan kemaslahatan yang menjadi ruh ajaran Islam.
Seksualitas perempuan tidak selayaknya terus diukur dari luar dirinya, apalagi hanya ditakar dari standar laki-laki.
Dalam konsep mu‘asyarah bil ma‘ruf yang ditegaskan Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 19), layanan seksual adalah hak bersama suami dan istri. Kenikmatan seksual adalah hak timbal balik. Sehingga hubungan intim sama sekali tidak dapat disebut sebagai mu‘asyarah bil ma‘ruf bila hanya memuaskan satu pihak sementara pihak lain merasa terabaikan atau bahkan tersakiti.
Dalam fiqh Maliki, kewajiban melayani kebutuhan seksual istri juga harus setara dengan kewajiban istri memenuhi kebutuhan seksual suami. Tentu saja, kewajiban ini bersifat relatif, sangat tergantung pada kondisi keduanya, dan selama tidak menimbulkan mudarat.
Lebih jauh, demi keadilan dan kemaslahatan, orientasi fiqh juga mesti berpihak kepada korban dalam kasus-kasus perkosaan. Fiqh tidak boleh lagi menempatkan seksualitas perempuan sebagai sebab terjadinya perkosaan.
Sebab pandangan seperti ini hanya akan membuat perkara menjadi berbalik, seolah perempuanlah yang patut disalahkan. Padahal, yang lebih dibutuhkan adalah munculnya moralitas perlindungan, pelayanan, dan tanggung jawab terhadap korban.
Dalam hal ini, hukum tentang aborsi bagi korban perkosaan semestinya kita letakkan dalam semangat perlindungan dan pelayanan terhadap perempuan.
Dengan demikian, perempuan tak lagi harus takut pada seksualitasnya sendiri. Beban traumatis yang menghantui korban perkosaan pun dapat kita minimalisir. Sehingga martabat perempuan bukan lagi sebagai makhluk seksual atau sumber fitnah.
Pandangan progresif ini, sebagaimana pandangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah menunjukkan bahwa fiqh seyogianya terus bergerak mengikuti prinsip-prinsip keadilan dan kesalingan. Ini penting agar fiqh tidak hanya menjadi kumpulan aturan kaku, tetapi juga hadir sebagai jalan menuju kemaslahatan bersama. []