Mubadalah.id – Dalam makna inilah, teks Hadis perempuan sebagai fitnah harus dimaknai secara proporsional dan mubadalah. Teks Hadis ini mengajak para laki-laki untuk saling waspada dari kemungkinan potensi fitnah perempuan. Bukan untuk menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Apalagi mengerangkeng mereka dalam aturan-aturan yang menyulitkan.
Ketika yang diajak bicara teks adalah perempuan, maka yang menjadi fitnah bisa saja laki-laki. Yang artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk saling waspada dari potensi fitnah laki-laki yang bisa menguji dan menggoda mereka.
Titik pembicaraannya bukan pada fitnah laki-laki, tetapi pada anjuran kewaspadaan perempuan dari godaan mereka. Oleh karenanya, fitnah perempuan bukan sedang membangun keburukan perempuan.
Sebagaimana fitnah laki-laki bukan sedang menegaskan kebejatan laki-laki. Namun, berbicara tentang pentingnya kewaspadaan masing-masing, satu sama lain, agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah, dan buruk.
Prinsip Mubadalah dalam Isu Fitnah
Dengan demikian, ayat dan Hadis tentang fitnah perempuan sama sekali tidak bisa kita jadikan dasar untuk merendahkan dan mendiskreditkan mereka. Tidak bisa juga untuk memuliakan laki-laki dan melecehkan perempuan.
Potensi fitnah pada diri perempuan, seperti dalam ayat dan Hadis, tidak membuat mereka lebih rendah dari laki-laki. Tidak juga menjadikan mereka terhambat dari akses publik untuk kebaikan dan kemaslahatan. Hal ini setidaknya berdasarkan pada satu alasan fundamental.
Pertama, prinsip meritokrasi Islam. Kemulian didasarkan pada keimanan dan amal perbuatan. Sebuah potensi yang ada pada seseorang, jika tidak dibarengi tindakan nyata, maka tidak memiliki nilai apa pun.
Perempuan dan laki-laki, keduanya memiliki potensi ini, seperti akal budi, untuk menempa diri menjadi manusia yang beriman, berakhlak luhur, dan memberi manfaat sebanyak mungkin dalam kehidupan. Di sisi lain, juga ada potensi fitnah, yang bisa saja mereka gunakan untuk menjerumuskan orang lain. []