Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah Hadis tentang fitnah perempuan harus kita maknai dengan menggunakan spirit ayat-ayat al-Qur’an.
Kenapa harus menggunakan spirit ayat-ayat al-Qur’an?. Karena, anjuran agama yang didasarkan pada fitnah perempuan harus dipahami dengan substansi persoalannya dan konteks sosialnya.
Termasuk mengenai anjuran untuk waspada terhadap potensi buruk seseorang dan sesuatu. Potensi ini ada di setiap orang dan di segala sesuatu. Bentuknya bisa berbeda-beda di setiap tempat dan waktu.
Harta, misalnya, adalah fitnah kehidupan yang harus diwaspadai agar kita tidak tergelincir pada tindakan-tindakan yang buruk dan dosa.
Hal yang sama juga dengan jabatan, status sosial, popularitas, anak, keluarga, bahkan ilmu pengetahuan. Fitnah harta bukan berarti harta itu buruk.
Fitnah anak, keluarga, jabatan, dan yang lain juga demikian. Titik pembicaraannya adalah kewaspadaan kita yang harus ditingkatkan, bukan potensi fitnah dari hal-hal tersebut.
Saling Waspada dan Saling Menjaga Diri
Dalam makna inilah, teks Hadis perempuan sebagai fitnah harus kita maknai secara proporsional dan mubadalah.
Teks Hadis ini mengajak para laki-laki untuk waspada dari kemungkinan potensi fitnah perempuan. Bukan untuk menyudutkan dan mendiskriminasi perempuan. Apalagi mengerangkeng mereka dalam aturan-aturan yang menyulitkan.
Ketika yang ia ajak bicara teks adalah perempuan, maka yang menjadi fitnah bisa saja laki-laki. Yang artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk waspada dari potensi fitnah laki-laki yang bisa menguji dan menggoda mereka.
Titik pembicaraannya bukan pada fitnah laki-laki, tetapi pada anjuran kewaspadaan perempuan dari godaan mereka.
Oleh karenanya, fitnah perempuan bukan sedang membangun keburukan perempuan. Sebagaimana fitnah laki-laki bukan sedang menegaskan kebejatan laki-laki.
Namun, berbicara tentang pentingnya kewaspadaan masing-masing, satu sama lain, agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah, dan buruk. []