Mubadalah.id – Tulisan ini sesungguhnya adalah prasyarat lolos masuk pada kelas Gusdurian Academy yang kini tengah Sekretariat Nasional Gusdurian selenggarakan, mulai 8 September kemarin hingga nanti kurang lebih pertengahan Oktober 2023, pada 2 isu sekaligus : Gus Dur dan Demokrasi serta isu Keadilan Gender.
Tadinya penulis ragu untuk kirimkan tulisan ini pada Mubadalah.Id. Karena masih terasa banyak kekurangan, terutama pada upaya pembacaan ayat-ayat pasal pada Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Namun terus menyaksikan berbagai peristiwa kekerasan yang menimpa terutama anak-anak dan perempuan, yang terbaru kasus Bekasi, Jawa Barat dengan korban seorang ibu yang miliki 2 balita dan tengah hamil 5 bulan. Di mana ia harus meninggal dunia di tangan pasangannya. Rasanya seperti kian tak bisa menunggu.
Gagasan tentang kesejahteraan ibu dan anak, butuh kembali untuk kita desakkan segera.
Mengkritisi RUU KIA
Menulis dengan menampilkan peristiwa-peristiwa kekerasan sesungguhnya adalah pilihan yang berat. Selain karena bisa timbulkan kengerian bagi para pembaca, juga akan bisa picu trauma bagi masyarakat luas.
Tapi dalam hal ini, mengkritisi Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA), kaitannya dengan sekilas cita-cita tentang Negara Kesejahteraan (Welfare State). Rasanya tidak bisa tanpa hadirkan realitas ketimpangan yang selama ini masih melingkupi mereka dalam kenyataan kehidupan sosial di Indonesia.
Terkait hal tersebut penulis rujuk KH. Husein Muhammad. Seorang tokoh feminis muslim Indonesia, yang selalu beri pembelaan terhadap hak-hak dasar kemanusiaan perempuan, sekaligus juga laki-laki.
Menurut Abuya Husein berbagai realitas kekerasan dan ketidakadilan penting disertakan untuk kita tuliskan sebagai dasar untuk perubahan kebijakan negara, maupun para pengambil kebijakan atas nama agama.
Terlebih rentetan peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi belakangan ini di sejumlah daerah, seperti Pati, Jawa Tengah; Jember, Jawa Timur; Serang, Jawa Barat, ataupun lainnya, seperti masih jadi fenomena gunung es yang kian terus tampak terjadi. Hal ini menunjukkan fakta-fakta ironi.
Semua seolah menjadi seperti bongkahan besar, iceberg yang kian kemari mengambang di perairan terbuka. Menanti sikap tegas untuk penyelesainnya bersama-sama para pemangku otoritas, Ulama dan juga terutama Negara.
Peristiwa Belakangan yang Terus Gerus Perikemanusiaan
Sebut saja di Serang, Jawa Barat, pada 29 April 2023 lalu Kompas.com menulis masih ditemukan kasus inses atau hubungan sedarah yang menimpa seorang anak perempuan dengan pelaku ayah kandungnya sendiri. Sang anak alami Kehamilan Tak Diinginkan (KTD), dengan bayi terlahir alami different ability (difabel) yang kemudian ditelantarkan begitu saja oleh orang tuanya.
Tanggal 28 Juni 2023, Kompas bahkan muat berita tentang penemuan indikasi 7 bayi yang terkubur hasil inses antara anak perempuan dan orang tuanya di Purwokerto Selatan, Banyumas, Jawa Tengah. Kekerasan tersebut terindikasi terjadi selama kurun 2013 – 2021. Di mana korban terindikasi hidup dalam kekuasaan penuh pelaku.
Ini serupa kasus incest atau hubungan sedarah antara bapak dan anak. Di mana penulis dapati saat lakukan penelitian terkait isu kekerasan berbasis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di 3 wilayah kota, di Jawa Barat. Bandung, Tasikmalaya, Sukabumi, pada kurun 2018.
Ironisnya kasus inses tersebut tidak berhenti menimpa anak perempuan pelaku, akan tetapi juga menimpa anak-anak yang lahir dari hubungan itu. Dua dari tiga anak perempuan yang terlahir diperlakukan serupa oleh laki-laki yang sama. Di mana seharusnya entah kita panggil bapak atau kakek.
Satu anak perempuan usia 8 tahun tidak sampai alami KTD. Namun satu lagi anak perempuan yang telah berusia 12 tahun mengalaminya. KPAI Daerah memutuskan harus lakukan upaya aborsi aman untuk lebih menyelamatkan masa depan anak yang telah berlumuran penderitaan. Tak ada satupun tetangga, apalagi pejabat publik wakil mereka yang tahu hingga kasus itu terbongkar ke permukaan.
Ibu dan Anak Menjadi Korban Kekerasan
Berikutnya di Gresik, Jawa Timur, pada 29 April 2023 Kompas juga sebut tentang anak perempuan usia 9 tahun yang diakhiri hidupnya oleh ayah kandungnya, agar masuk surga katanya. Kekerasan itu terjadi setelah sekitar empat hari ibu korban meninggalkan rumah untuk bekerja namun konon tanpa pamitan.
Masih di Jawa Timur, Jember tepatnya, kita temukan kasus satu putri yang diakhiri hidupnya oleh ibu kandungnya sendiri yang tengah alami depresi. Lalu sang ibu juga coba akhiri hidupnya sendiri. Kompas unggah peristiwa tersebut pada 9 Juni 2023 kemarin.
Di Jember pula pada 17 Juni 2023 Kompas sebutkan bocah 6 tahun harus saksikan dua saudaranya usia 8 tahun dan 8 bulan meninggal dunia di dalam rumahnya, atas indikasi kekerasan yang ibunya lakukan. Sebelum ibunya juga mengakhiri hidupnya.
Lalu di Pati, Jawa Tengah, pada 4 Mei 2023 Kompas.com juga media-media nasional lain, sebut bayi perempuan berusia 3 bulan meninggal dunia akibat kekerasan yang ayah kandungnya lakukan. Sedang pada 15 Mei 2023, seorang perempuan di Pati juga dianiaya suami hingga meninggal dunia. Meski awalnya terlaporkan akibat terjatuh dari kendaraan, namun akhirnya aparat mendapati fakta kebenarannya.
Regulasi tak Mampu Cegah Kekerasan Terus Terjadi
Kasus terakhir di Pati pada 14 Juni 2023 lalu, juga kita dapati seorang ibu meninggal dunia akibat indikasi penganiayaan di bagian kepala oleh suaminya. Penemuan jenazah korban di rumah kontrakannya oleh warga setelah dua hari kemudian, dengan kondisi memilukan.
Jenazah ibu itu memeluk bayinya yang belum genap usia sebulan yang terus menangis kehausan. Sedang kakak-kakaknya usia sekitar 4 dan 2 tahunan ikut memeluk ibunya yang telah meninggal dunia selama dua hari. Terlantar.
Tampak dari peristiwa kekerasan di atas, 8 di antaranya terjadi hanya dalam kurun 3 bulan: April-Juni 2023. Dengan jumlah korban setidaknya 7 perempuan, dan 18 anak-anak. Dengan pelaku kebanyakan laki-laki.
Tentu tak perlu kita pertanyakan lagi bagaimana penderitaan lahir batin para korban, yang akan terus menanggung trauma hingga seumur hidup mereka. Berbagai regulasi yang selama ini ada, seperti tak mampu mencegah kekerasan dan menjamin keadilan serta kesejahteraan bagi mereka. Terutama kesejahteraan ibu dan anak-anaknya.
Data Terlapor
Dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2023 Komnas Perempuan (KP) yang rilis pada website resmi lembaga, menyebutkan terjadi peningkatan pada angka pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari angka 4.322 kasus di tahun 2021, menjadi 4.371 kasus di sepanjang 2022.
Data pengaduan tersebut terbagi menjadi 3 ranah. Yakni ranah personal terdapat 2098 kasus (61 persen), ranah publik 1276 kasus, dan ranah negara 68 kasus. Dengan data itu berarti rata-rata KP menerima pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 17 kasus per harinya.
Sedang dalam data akumulasi POLRI yang ditulis Kompas.com pada akhir Desember 2022, terdapat setidaknya 27.380 kasus kekerasan pada perempuan dan anak tahun 2021. Sedangkan di tahun 2022, jumlahnya menurun menjadi 25.321 kasus.
Data-data tersebut memang bisa jadi akan terus naik-turun. Karena sesungguhnya yang terjadi di masyarakat akan bisa jauh lebih besar lagi. Ini mengingat sebagaimana KP akui, bahwa bukan hal mudah untuk membangun kesadaran sekaligus keberanian setiap korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami.
Bahkan bisa jadi ada banyak pertimbangan dan dilema yang korban derita, mengapa mereka lebih memilih diam tak melaporkannya. Apalagi jika kita tambah aparat yang abai terhadap laporan masyarakat, sebagaimana kasus terbaru tersebut, di Bekasi Jawa Barat.
Selain itu, kebutuhan data nasional tentang kasus kekerasan terhadap perempuan (maupun anak) sebagai basis perumusan kebijakan, selama ini juga masih terus butuh dukungan penguatan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di semua lembaga terkait. Hal ini agar terjadi percepatan proses integrasi, update sekaligus akurasi data setiap saatnya. Terutama untuk penguatan regulasi kesejahteraan ibu dan anak. (Bersambung)