Mubadalah.id – Ketika berbicara tentang nalar kritis perempuan, kita juga akan disuguhkan pada label bahwa perempuan itu lebih dikendalikan perasaannya dan laki-laki dikendalikan oleh logikanya. Salah satu ustadz malah mengatakan bahwa perempuan tidak boleh kritis, harus menjadi penurut sejak kecil. Padahal nalar kritis perempuan akan membantunya dalam menjalankan multiperan.
Dr. Nur Rofiah menjelaskan bahwa bahwa kedirian manusia itu ada fisik, spiritual dan intelektual. Jadi, perempuan juga dapat membentuk nalar kritisnya karena perempuan adalah manusia intelektual. Nalar kritis ini tidak didapatkan begitu saja, kita juga butuh proses belajar untuk membangunnya.
Menurut Profesor Michael Scriven, berpikir kritis adalah berpikir mandiri, disiplin diri, dengan memiliki nalar pada tingkat kualitas tertinggi dengan cara yang adil. Orang yang kritis berusaha dengan konsisten dan secara sadar untuk hidup secara rasional, masuk akal dan penuh empati.
Mengapa memiliki nalar kritis itu penting bagi perempuan? Dalam kondisi post-truth seperti pada abad ke-21 ini, banyak informasi yang tersebar namun tidak semuanya valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dengan memiliki nalar kritis, perempuan dapat berpikir mandiri, berpikir rasional dan penuh empati dalam merespon informasi.
Nalar kritis membantu kita mengobservasi, menganalisa, dan menemukan solusi atas permasalahan. Pada akhirnya kita dapat mengambil keputusan yang tepat karena telah mencari tahu dan mempertanyaan hal-hal yang tidak relevan.
Dunia digital tidak terlepas dari fake news dan hate speech yang berdampak. Ketika berita bohong dan kebencian menjadi topik yang viral, kita dapat terjebak dalam kesalahpahaman dengan menganggap itu semua adalah kebenaran. Nalar kritis membantu kita untuk tidak mudah percaya pada apa yang viral, tapi kita juga mencari tahu dan memverifikasi apakah informasi tersebut benar atau salah.
Dalam lingkaran yang lebih kecil, memiliki nalar kritis dapat membantu kita untuk menyaring apa yang orang lain katakan pada kita. Kemudian memilah mana yang dapat membuat kita lebih baik dan mana yang hanya ingin menjatuhkan kita. Tidak semua yang orang lain katakan harus kita dengarkan dan tidak harus juga dilakukan jika itu tidak baik.
Saya menulis untuk beberapa media sepanjang 2020. Kemudian saya menerima respon negatif dan positif atas tulisan saya. Tentu saya senang jika tulisan saya diapresiasi dan dapat bermanfaat. Tapi juga sedih dan heran saat tulisan saya disalah pahami dan diberi komentar negatif hanya karena perbedaan pendapat.
Ada yang mengatakan bahwa tulisan saya hanya menggunakan nafsu dan tidak menggunakan ilmu, ada yang menyalahkan pendapat saya dan juga mengintimidasi saya. Seringkali saya juga menemukan kesesatan berpikir netizen atas tulisan saya maupun informasi lainnya. Ketika mereka tidak setuju, mereka gagal memberikan gagasan dan respon yang logis dan valid.
Sebagian dari mereka hanya bisa menyerang gagasan orang lain, merendahkan dan mengalihkan topik pembicaraan. Diskusi terbuka dengan saling menghormati menjadi mahal harganya. Ketika ada yang tidak sependapat dengan mereka, maka dianggap musuh dan berlawanan dan mereka tidak mau mendengarkan argumen orang lain.
Menurut RM. A. Bagus Laksana, SJ., unsur utama berpikir kritis adalah kerendahan hati. Dengan kerendahan hati, perempuan tidak akan arogan dan merendahkan orang lain. Kita juga akan berlapang dada untuk menjadi murid yang terus belajar dan tidak merasa lebih baik dari orang lain. Kita akan terhindar dari penghakiman dan prasangka terhadap orang di sekitar kita.
Masuk akal jika matinya kepakaran didasari oleh hilangnya sifat rendah hati dan diganti oleh arogansi. Ketika ada netizen yang menuduh saya sembarangan dan tidak memiliki ilmu dalam berpendapat, saya pikir itu adalah bentuk arogansi. Padahal saya memberikan sumber dan referensi yang jelas.
Hal ini juga diperparah oleh Dunning-Kruger Effect, yaitu bias kognitif (ilusi superioritas) pada orang yang tidak kompeten namun menganggap diri mereka memiliki keahlian. Jika memang ilmu kita terbatas, kita harus belajar dan tidak boleh memberikan informasi seolah kita adalah seorang ahli.
Untuk membentuk nalar kritis kita sebagai perempuan, kita juga harus terbebas dari kesesatan berpikir (logical fallacy), yang seringkali kita temukan dalam percakapan sehari-hari dan juga di media sosial. Dengan mengetahui kesesatan berpikir, kita dapat menghindarkan diri dan juga dapat membantu orang lain untuk berpikir mandiri, logis dan memiliki bukti.
Pertama, kita harus bertindak sebagai citizen di manapun kita berada, termasuk dalam dunia digital. Citizen harus bertanggungjawab dan sadar atas perbuatannya, tidak menjadi anonim dan dapat dipercaya dalam menyebarkan informasi.
Kedua, kita tidak boleh tergesa-gesa dan harus memeriksa fakta agar tidak misinformasi. Jika ada berita atau informasi, kita harus mencari tahu kebenarannya pada media mainstream, web pengecekan berita dan juga bertanya pada ahli.
Ketiga, kita harus memahami macam-macam kesesatan berpikir seperti ad hominem, red herring, begging the claim, circular argument, straw man, false dichotomy, dll. Ad hominem seringkali dilakukan dalam kesesatan berpikir, yaitu menyerang karakter seseorang dan mengabaikan argument orang tersebut. Dan juga circular argument, yaitu argumen yang berputar-putar tanpa pembuktian.
Membangun nalar kritis berarti kita terus belajar, mendengarkan orang lain dan mempertanyakan kebenaran suatu hal. Perempuan tidak boleh pasif menerima informasi, tapi harus aktif dan mandiri merespon informasi dan isu-isu yang sedang terjadi. Jika tidak tahu, maka bertanya dan mencari tahu.
Kita wajib mendidik diri sendiri dengan banyak membaca, belajar menuliskan opini, mengikuti forum diskusi, ikut serta dalam organisasi atau komunitas dan memiliki mentor untuk memperdalam pemahaman. Jika pemahaman kita dapat dipertanggungjawabkan, maka kita dapat bermanfaat seluas-luasnya. []