Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah Keagamaan KUPI, Nyai Hj. Badriyah Fayumi menegaskan bahwa sikap KUPI dalam menolak seluruh bentuk sunat perempuan bukanlah keputusan politis. Itu adalah keputusan yang berdiri di atas fondasi metodologi yang kokoh, dalil yang kuat, serta fakta medis dan sosial yang tidak dapat dibantah.
“Kita percaya diri dengan ijtihad ini. Ia lahir dari proses ilmiah, keagamaan, dan pengalaman perempuan, lapangan yang panjang. Dan kita bersyukur, karena pilihan ini, kini menjadi rujukan bagi para orang tua, nyai, kiai, peneliti, akademisi, para pendidik, dan seluruh masyarakat,” ujarnya.
Nyai Badriyah mengungkapkan, selama ini banyak ulama dari berbagai ormas seperti NU, Muhammadiyah, maupun lainnya sebenarnya tidak menyunat anak perempuan mereka. Namun suara mereka belum pernah dimunculkan sebagai sikap keagamaan yang terang dan menyeluruh.
KUPI kemudian melakukan komunikasi dengan keluarga para tokoh tersebut. Hasilnya, mereka bersedia menuliskan pengalaman dan pandangan keagamaan mereka.
“Ini capaian penting. Karena selama puluhan tahun, pengalaman pribadi para ulama itu tidak terdengar. Padahal pengalaman adalah basis pengetahuan yang tak kalah penting. Semoga kisah-kisah mereka dapat masuk ke buku kedua nanti,” tegasnya.
Lima Ruang dan Ranah Juang
KUPI memetakan perjuangan menghentikan sunat perempuan ke dalam lima ruang sosial: pesantren, majelis taklim, komunitas, orang muda, dan keluarga. Di sisi lain, KUPI juga bekerja pada lima ranah juang yang lebih luas yaitu negara, masyarakat, keluarga, alam, dan gerakan keagamaan.
Dan pada salah satu ranah itu—ranah negara—KUPI menyatakan satu kemenangan besar telah dicapai. Negara melalui Kementerian PPPA, yang sejak awal terus mendukung, telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 yang secara jelas melarang praktik sunat perempuan di Indonesia.
“Satu ranah juang sudah selesai. Tapi masih ada empat lagi yang menuntut perhatian kita,” ucap Nyai Badriyah.
Ranah keluarga menjadi salah satu medan paling berat, karena praktik sunat perempuan di banyak daerah diwariskan sebagai tradisi turun-temurun.
Di sinilah peran tulisan, edukasi, dan dialog menjadi penting. Ia mendorong para penulis dan peneliti untuk mengangkat lebih banyak kisah dan tantangan di lima ruang tersebut, agar perjalanan advokasi tidak berhenti di tingkat kebijakan saja.
Membumikan Ijtihad KUPI
Bagi KUPI, ijtihad bukanlah kesimpulan akhir, tetapi awal dari perjalanan membumikan nilai-nilai keagamaan yang melindungi manusia.
Bahkan, hasil musyawarah keagamaan terkait sunat perempuan telah memberikan dasar teologis yang kuat. Namun implementasinya di masyarakat memerlukan strategi yang lebih luas mulai dari pelatihan, sosialisasi, hingga pendampingan keluarga.
Nyai Badriyah yakin bahwa banyak dari para kader dan pendamping lapangan telah memahami Trilogi KUPI—yakni menghadirkan kemaslahatan, menghindarkan kemafsadatan, dan meneguhkan kesetaraan.
Prinsip itu menjadi kompas perjuangan untuk memastikan setiap anak perempuan lahir, tumbuh, dan dewasa tanpa mengalami luka yang tidak perlu.
Keterlibatan Anak Muda KUPI
Peluncuran buku “Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti” menjadi simbol bahwa perjuangan menghentikan sunat perempuan kini memasuki babak baru. Jika sebelumnya advokasi banyak bergerak di tingkat kebijakan, kini KUPI sedang menapaki fase pelebaran kanal pengetahuan, pengalaman personal, dan suara-suara kecil dari tingkat keluarga.
“Perjalanan ini panjang. Tapi fondasinya sudah kuat. Dan ketika negara, ulama, anak muda, dan masyarakat bergerak bersama, kita punya alasan untuk percaya bahwa sunat perempuan akan benar-benar berhenti di Indonesia,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga memberikan apresiasi mendalam kepada para penulis muda yang terlibat dalam penyusunan buku tersebut. Salah satunya, Yasir, yang disebutnya bukan hanya menulis, tetapi menulis dengan kesadaran dan jiwa.
“Buku ini bukan sekadar kerja editorial. Ini lahir dari keterpanggilan. Tulisan yang berjiwa selalu punya daya gerak. Dan anak-anak muda di sini bukan hanya menyumbang kata, tapi menyumbang keberanian,” tukasnya. []









































