Mubadalah.id – Dalam beberapa hari terakhir, kejadian diskriminatif terhadap muslim di India semakin menjadi-jadi. Kasus ini berawal dari keputusan pemerintah daerah di Distrik Udupi untuk mendukung sekolah-sekolah memberlakukan larangan jilbab kepada para siswi pemeluk agama Islam, tak ayal kebijakan itu menyebabkan protes dan kekerasan yang meluas.
Video-video rekaman yang viral di media sosial memperlihatkan bagaimana keputusan kontroversial itu menumbuhkan aksi brutal lain dari kalangan massa India yang merisak siswi berjilbab ketika berangkat sekolah, dari sengaja menyiramkan air hingga meneriaki mereka dengan kata-kata tak pantas.
Pekan lalu, perguruan tinggi lain di negara bagian yang sama juga mulai memberlakukan larangan setelah beberapa siswa Hindu, yang didukung oleh kelompok Hindu sayap kanan, memprotes bahwa jika jilbab diizinkan di ruang kelas, mereka harus diizinkan memakai selendang safron. Saffron adalah warna yang telah menjadi umum dikaitkan dengan nasionalisme Hindu.
Alih-alih mengakomodir kepentingan semua pihak, kelompok sayap kanan yang menguasai pemerintahan malah menghembuskan isu bahwa pembolehan jilbab akan semakin menumbuhsuburkan bibit terorisme muslim di wilayah India. Tak pelak, kasus diskriminasi pun berlarut-larut dan masih berlanjut sampai sekarang.
Di tingkat global, fenomena ultranasionalisme India berbalut agama sedang banyak tumbuh di negara-negara bercorak demokrasi. Meluasnya penggunaan seruan politik yang diilhami agama dapat dideteksi juga di Turki, Amerika Latin, Eropa Barat, dan negara-negara pasca-Uni Soviet. Salah satu faktor pemicunya adalah propaganda beragam politisi yang menghalalkan segala cara untuk meraih simpati secara instan dari masyarakat.
Sementara itu, di Indonesia, merujuk riset akademisi Universitas Muhammadiyah Malang: Sihidi, Roziqin, dan Suhermanto (2020), dan Universitas Sumatera Utara: Prayogi dan Adela (2019), pilpres dan pilgub DKI lalu telah menjadi bukti bahwa gerakan politik berbasis nasionalisme agama nyatanya berkembang kian ekstrem dan menjurus diskriminatif.
Hal ini tentu merupakan alarm bagi kita agar peristiwa di India tidak semakin berkembang dan kian memarjinalkan kelompok-kelompok minoritas di sini. Apalagi laporan terakhir dari Setara Institute (2021) menunjukkan, jenis pelanggaran atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang paling banyak terjadi oleh aktor non-negara yakni tindakan intoleransi, yakni 62 tindakan. Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan melanjutkan, secara lebih rinci ada 32 tindakan pelaporan penodaan agama, 17 tindakan penolakan mendirikan tempat ibadah, dan 8 tindakan pelarangan aktivitas ibadah yang dilakukan aktor non-negara.
Tindakan-tindakan diskriminatif tadi tentu menjadi PR bagi kita semua, agar ke depannya dapat lebih menghargai kelompok yang berbeda keyakinan. Terlebih Nabi Muhammad SAW sendiri telah meneladankan bagaimana kaum mayoritas yang dipimpinnya tidak pernah bertindak sewenang-wenang kepada kaum Nasrani dan Yahudi. Hal ini termaktub dalam Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Husein Haikal, seorang tokoh pembaharu politik Mesir.
Belajar dari contoh Rasul sebagai pemimpin politik, alih-alih memaksa semua warganya memeluk Islam, Nabi Muhammad justru membangun komunitas religio-politik semasa di Madinah. Di sana kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi hidup berdampingan dan saling mengupayakan konsolidasi melalui perumusan Piagam Madinah.
Piagam Madinah dalam realitasnya dapat dikatakan sebagai dokumen politik yang menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat, jaminan atas keselamatan harta benda, dan larangan melakukan kejahatan. Menilik poin-poin utamanya, sangat jelas telihat bahwa corak politik Rasulullah tidak berporos pada ultranasionalisme ekstrem berbalut agama, justru sebagai pemimpin yang bijak, beliau justru mempersilakan kaum non-Muslim memperoleh hak yang sama, seperti layaknya umat Islam.
Lalu, mengapa paham ultranasionalisme berbalut agama kian mengemuka di berbagai negara? Merujuk pendapat dari Associate Professor yang juga Kepala Center of Islamic Finance di Comsats University Lahore, Pakistan, Dr Abdus Sattar Abbasi, salah satu penyebabnya adalah runtuhnya era keemasan peradaban Islam yang berdampak pada lambatnya pembangunan SDM yang mengakibatkan mispersepsi ajaran dan nilai-nilainya oleh umat Muslim.
Hal ini diperparah dengan kurangnya integritas pemerintahan yang kuat selama masa-masa itu, yang akhirnya mendorong mayoritas masyarakat Muslim untuk mengamankan kepentingan lokal atau pribadi mereka. belum lagi dampak negatif kolonisasi yang semakin memperburuk kecerdasan intelektual dan komunal masyarakat Muslim.
Padahal jika melihat sejarah Islam masa lampau, peradaban Islam menciptakan negara super kontinental, di dalam dominasinya hidup ratusan juta orang, dari berbagai keyakinan dan asal etnis. Islam menciptakan kepemimpinan yang tercerahkan yang memelihara budaya, keberlanjutan, keragaman, dan keberanian yang menghasilkan 800 tahun penemuan dan kemakmuran.
Jangkauan perdagangan mereka meluas dari Amerika Latin hingga China. Kini, yang terjadi justru fanatisme sempit yang memandang bahwa segala budaya lokal harus ditolak mentah-mentah, seperti kejadian pembuangan sesajen di Semeru dan penolakan tradisi sedekah laut beberapa waktu lalu.
Sedangkan kalau kita menginginkan Indonesia tidak tersegregasi seperti di India, kuncinya bukan ultranasionalisme berbasis agama. Justru, menurut Kyai Yusuf Hasyim, Ketua PCNU Kabupaten Pati masa khidmah 2019-2014, Islam dan nasionalisme harus diinternalisasi secara sinergis. Islam dan nasionalisme sepatutnya berjalan beriringan dan berkesalingan. Tidak harus selalu mengedepankan label atau simbol-simbol Islam. Yang terpenting nilai-nilai Islam secara substantif bisa diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. []