Mubadalah.id – Menyaksikan video pendek yang memperlihatkan bagaimana penduduk Palestina diusir secara paksa dari tanah airnya, membuat saya sejenak menghela napas panjang. Dalam fragmen-fragmen selanjutnya, terlihat beberapa orang perempuan yang berusaha melawan dengan sekuat-kuatnya tenaga, yang tentu kalah amunisi dengan pasukan bersenjata Israel yang semena-mena mengenyahkan mereka.
Dalam banyak pemberitaan di media, sudah menjadi fakta umum bahwa warga Palestina harus menelan pil pahit kezaliman zionis Israel. Namun yang jarang disorot, kaum perempuan di sana harus menanggung beban derita ganda akibat kolonialisme yang tiada ujung. Para perempuan selain harus berjuang berkelit dari problematika akibat penjajahan, di saat yang sama mereka juga harus bergelut dengan budaya patriarki yang masih kental. Walau faktor yang kedua jarang dipertimbangkan karena kondisi umat di Palestina secara umum sendiri sudah sangat kritis.
Dampak negatifnya kian terasa apabila puan-puan ini harus menjadi kepala keluarga ketika suami atau saudara laki-laki yang menjadi penanggung nafkah keluarga harus tiada akibat perlawanan dengan Israel. Terlebih, hampir sama dengan banyak perempuan di Timur Tengah, mayoritas perempuan Palestina lebih berperan di area domestik. Sehingga, ketika mereka ditinggalkan oleh pasangannya, tanggungan di pundak mereka menjadi berlipat, tidak hanya mengatur urusan dapur, tapi bagaimana harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Gambaran mirisnya dapat dilihat dari data Social Watch yang menunjukkan 70% rumah tangga mereka berada di bawah garis kemiskinan. Belum lagi, mereka juga masih berada di bawah bayang-bayang teror kelompok sayap kanan Israel yang bisa saja melempar bom serampangan atau tindakan brutal lewat udara dari pihak militer zionis.
Di satu sisi, krisis negaranya mendorong banyak perempuan mulai berpartisipasi di bidang sosial politik untuk memperjuangkan kemerdekaan dan hak asasi di tingkat nasional maupun internasional, namun hingga kini proporsinya masih terhitung kecil. Misalnya saja dalam keanggotan dewan utama organisasi pembebasan Palestina, dari total 15 orang, hanya ada 1 perempuan.
Jabatan kementerian juga hanya diduduki oleh 3 orang perempuan. Di akar rumput, jumlah aktivis perempuan memang meningkat. Tapi di saat yang sama, mereka pun banyak menjadi korban asal tangkap pemerintah Zionis. Bahkan sejak 1967, sudah sekitar 17 ribu perempuan Palestina yang pernah dipenjara oleh Otoritas Israel. Data tadi pun belum memperhitungkan anak-anak dan remaja yang ditahan tanpa alasan jelas.
Kini, dengan penggusuran semena-mena pemerintah Israel kepada warga Palestina di Yerusalem Timur, kemungkinan besar jumlah korban dari hari ke hari semakin meningkat. Tak ayal, jika dilihat dalam piramida ekonomi, kondisi ini akan kian memojokkan kaum perempuan di Palestina dan negara konflik lainnya untuk menempati irisan terbawah, yang berarti level derita serta kemiskinan mereka sudah di titik ekstrim.
Apalagi kini, di saat banyak muslimah seantero dunia merayakan idul fitri dengan tawa bahagia. Saudara-saudara perempuan kita di Palestina masih terus berjuang untuk menyunggingkan senyum sumringah di hari raya. Sulitnya mereka melepaskan penat seperti kita, tentu bukan berarti mereka tidak bersyukur, bukan berarti mereka tak menyambut lebaran seperti yang kita lakukan.
Justru, perayaan mereka bermakna jauh lebih dalam: melalui alunan takbir panjang melawan ketidakadilan. Derap langkah mereka meski berat, tentu terhitung sebagai panggilan jihad. Oleh karenanya, kita semua yang masih dapat menghirup udara bebas dengan kondisi yang jauh lebih kondusif perlu terus membantu saudara-saudara kita di sana. Pun jika belum bisa mampu memberikan donasi, kita dapat memanjatkan doa terbaik untuk keselamatan mereka semua:
اَللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَا رَحِيْمُ يَا حَلِيْمُ يَا عَظِيْمُ، سَمِيْعَ دَعْوَةِ الدَّاعِيْنَ، مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ، نَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الْوَاسِعَةِ أَنْ تَغْفِرَ ذُنُوْبَنَا أَجْمَعِيْنَ.
“Ya Allah, Dzat yang Maha Mulia, Maha Penyayang, Maha Penyabar, Yang Maha Agung, Maha mendengar doa orang-orang yang berdoa, Maha Mengabulkan doa orang-orang yang dalam keadaan sempit. Kami memohon kepada-Mu, dengan rahmat-Mu yang luas agar Engkau ampuni dosa-dosa kami semua.”
Di samping itu, membantu perlawanan mereka bisa kita lakukan dengan ‘jihad’ melalui media sosial. Bagaimana caranya? Mari bagikan berita dari situs-situs yang berpihak pada umat teraniaya di Palestina. Sebab, di luar sana outlet-outlet jurnalisme kenamaan dunia, seperti The New York Times, BBC, dan lainnya lebih condong memihak Israel yang banyak menjadi donor bisnis pemberitaan mereka. Walhasil, jika kita lihat headline media-media besar, kita akan paham bagaimana isu Palestina dipelintir sedemikian rupa agar terlihat sebagai konflik di tingkat individu semata.
Padahal realitanya, konflik berkepanjangan ini telah mencerabut banyak hak-hak warga, termasuk kaum perempuan di Palestina sana. Sehingga bila kita tahu dan paham, namun justru memilih diam itu sama saja dengan meminggirkan individu-individu yang sudah jatuh dan tertimpa tangga!
Dengan kata lain, jika kita tidak menyuarakan bagaimana efek domino penderitaan mereka yang kompleks, kita sama saja membiarkan mereka berjuang sendirian di tengah bombardir kejam Israel yang membabi buta. Sedangkan kita tahu, dalam Islam kita harus membantu yang lemah dan tertindas. Apalagi bangsa Palestina juga penduduknya mayoritas muslim, tentu tugas kita semua untuk terus mengawal mereka agar dapat merengkuh kemerdekaan yang sama seperti negeri kita tercinta. []