Mubadalah.id – Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama menegaskan bahwa kemuliaan akhlak Nabi Muhammad Saw. tidak hanya untuk umat Islam, melainkan juga berlaku bagi mereka yang berbeda keyakinan.
Teladan Nabi terlihat jelas dalam kehidupan Nabi. Beliau menjenguk pelayan Yahudi yang sakit, bersikap lembut kepada pelayan muda Yahudi, serta menjaga hubungan baik dengan tetangga non-Muslim. Semua itu merupakan wujud teladan yang Nabi contohkan.
Sayangnya, nilai-nilai luhur ini seringkali tereduksi dalam kehidupan sosial kita hari ini. Relasi antarumat beragama kerap diwarnai kecurigaan, prasangka, bahkan konflik—hal yang sejatinya bertentangan dengan spirit Nabi. Padahal, jika umat Islam benar-benar meneladani Rasulullah Saw., relasi dengan mereka yang berbeda agama dengan akhlak mulia. Yaitu saling menolong, menghormati martabat, dan menjunjung tinggi persaudaraan kemanusiaan.
Di tengah konteks kebangsaan yang beragam seperti Indonesia, teladan Nabi ini semakin relevan untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan prinsip mubadalah yang ditawarkan Kiai Faqih tidak hanya menjadi pendekatan teologis, tetapi juga strategi sosial.
Bahwa hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain tidak semestinya dipandang sebagai ancaman. Melainkan sebagai kesempatan untuk berbagi kasih sayang dan menegakkan keadilan.
Pertanyaan penting bagi kita hari ini adalah: tidakkah seharusnya kita meneladani akhlak Nabi Muhammad Saw.? Jika beliau mampu menghargai pelayan Yahudi, menjaga hubungan baik dengan tetangga non-Muslim, dan tidak pernah merendahkan mereka, mengapa kita justru terjebak dalam sikap eksklusif dan intoleran?
Meneladani Nabi bukanlah sekadar memperbanyak pujian lisan, tetapi menghadirkan akhlak beliau dalam relasi nyata: di keluarga, di lingkungan kerja, hingga dalam kehidupan berbangsa. Setiap kali kita bershalawat, itu bukan hanya bentuk doa penghormatan, melainkan juga komitmen untuk menghidupkan akhlak beliau dalam keseharian kita. []