Mubadalah.id – Belum banyak yang tahu tentang sosok Putri Dwarawati. Perempuan yang dapat kita katakan sebagai salah seorang pembawa Islam dalam Keraton Majapahit. Kehadiran Putri Dwarawati di tanah Jawa, bahkan mendahului dakwah Sunan Ampel yang merupakan Wali Songo generasi awal.
Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan Putri Dwarawati dengan Wali Songo. Perbandingan demikian agak kurang tepat. Sebab, Putri Dwarawati dapat kita katakan merupakan bagian dari jejaring Wali Songo itu sendiri.
Sayangnya, layaknya sosok-sosok perempuan lain yang sebenarnya memiliki andil dalam kesuksesan dakwah Wali Songo, namun nama mereka masih buram dalam panggung sejarah Islam Nusantara, demikian nasib dari sosok yang satu ini.
Selama ini, dalam membaca kiprah jejaring Wali Songo, kita memang lebih fokus menyorot eksistensi para wali dari kalangan laki-laki, dan kurang melek dengan eksistensi para perempuan yang sebenarnya tanpa kehadiran mereka bisa jadi dakwah Wali Songo tidak akan sesukses yang kita ketahui saat ini.
Oleh karena itu, tulisan ini coba mengulas, bagaimana pengaruh Putri Dwarawati dalam progres penyebaran Islam di Nusantara pada masanya?
Keluarga Kerajaan Champa Menerima Islam
Menurut Babad Ngampeldenta, sebagaimana penjelasan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, Syaikh Ibrahim Samarkandi, atau Syaikh Molana, mendakwahkan Islam di negeri Champa (bagian wilayah Vietnam), tepatnya di Gunung Sukasari.
Wali ini berhasil mengislamkan Raja Champa, bahkan juga menjadi mantu dari raja tersebut. Dia menikah dengan anak Raja Champa yang bernama Dewi Candrawulan, dan memperoleh dua putra, yaitu Ali Murtolo (Ali Murtadho) dan Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Selain Putri Candrawulan, Raja Champa juga memiliki seorang putri lagi yang bernama Putri Dwarawati. Dan, sebagaimana keluarganya yang telah menerima Islam, putri Champa ini juga telah memeluk Islam.
Kerajaan Champa sendiri memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hubungan baik ini sudah berlangsung sejak lama, dari masa Singasari dan terus berlanjut hingga masa Majapahit.
Oleh karena itu, sebagaimana penjelasan Agus Sunyoto, tidak mengherankan ketika Kerajaan Champa mengalami krisis akibat serangan dari Raja Vietnam bernama Le Nanh-ton dan Tanh-ton, sekitar rentang waktu 1446-1471 M, banyak penduduk Champa yang telah beragama Islam berbondong-bondong datang ke Nusantara.
Adanya hubungan baik antardua kerajaan, Champa dan Majapahit, memungkinkan terjadinya pernikahan antarelit kerajaan. Prabu Brawijaya V yang merupakan Raja Majapahit, menikah dengan Putri Dwarawati yang merupakan anak Raja Champa yang telah memeluk Islam.
Saya tidak tahu pasti kapan pernikahan ini terjadi. Namun, yang jelas pernikahan Brawijaya V dan Putri Dwarawati terjadi sebelum Champa mengalami krisis akibat peperangan, dan juga sebelum Sunan Ampel datang ke tanah Jawa.
Membawa Islam Masuk ke Keraton Majapahit
Pernikahan Brawijaya V dan Putri Dwarawati tidak hanya membawa langkah sang putri Champa masuk dalam Keraton Majapahit, namun itu juga membawa Islam ke dalam kerajaan yang sangat berpengaruh di Jawa kala itu.
Putri Dwarawati tetap memeluk Islam, meski menikah dengan Brawijaya V yang bukan seorang Muslim. Komitmen keislaman Putri Champa ini tentu berdampak pada kemajuan dakwah Islam di tanah Jawa saat itu, apalagi mengingat statusnya bukan sekadar selir melainkan permaisuri dari Raja Majapahit.
Ada penelitian menarik yang meneliti naskah-naskah babad perihal ini. Penelusuran Nur Khalik Ridwan tentang “Melacak Jejak Politik Persebaran Islam antara Elit Kerajaan Majapahit dan Wali Sanga (Konsolidasi Hukum Islam di Jawa),” mendedahkan bahwa penyebaran Islam pada masa awal di Jawa, tidak luput dari jaringan anak-anak Raja Majapahit, Brawijaya V, yang memiliki istri yang beragama Islam.
Jadi dari istri-istri Brawijaya V lahir anak-anak bangsawan trah Majapahit yang telah beragama Islam. Di antaranya, dari Putri Dwarawati lahir Ratu Pembayun dan Lembu Peteng (Adipati Mandura). Ratu Pembayun ini menikah dengan Handayaningrat, yang kelak cucu mereka bernama Jaka Tingkir (Mas Krebet) mendirikan Kerajaan Pajang (salah satu kerajaan Islam masa awal di Jawa).
Ada lagi anak-anak dari dua istri (selir) Brawijaya V lainnya, yaitu dari Putri China lahir Raden Patah yang kelak mendirikan Kerajaan Demak Bintoro (kerajaan Islam masa awal di Jawa), dan dari Putri Wandan lahir Raden Bondan Kejawen.
Melahirkan Trah Kerajaan Majapahit yang Beragama Islam
Melalui kehadiran Putri Dwarawati, termasuk Putri China, dan Putri Wandan, lahir trah Kerajaan Majapahit yang beragama Islam. Dampaknya, semakin terterimanya orang Islam di lingkaran Keraton Majapahit. Sementara, kala itu, di luar keraton juga makin banyak orang Islam. Sehingga, anak-anak Brawijaya V yang beragama Islam kemudian menjadi pemimpin di berbagai daerah, dan menjadi sosok yang melambangkan kekuasaan orang-orang Islam di Jawa. Ini turut memasifkan perkembangan Islam kala itu.
Mengingat alur sejarah ini, maka menjadi tidak mengherankan jika penerimaan Islam di Jawa tidak membawa dampak resistensi yang besar. Sebab, selain karena para wali menyebarkan Islam di level akar rumput secara kultural (damai), di level elit juga Islam sudah masuk ke dalam keraton.
Tidak heran jika menurut cerita, Brawijaya V memuksakan diri (melenyapkan diri secara gaib) bersama para punggawanya. Seakan sang raja telah menerima keadaan untuk masyarakat Jawa menerima agama baru, dan munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak agama baru (Islam) yang didirikan oleh keturunannya sendiri.
Membuka Ruang Dakwah Wali Songo
Sebagaimana berdasarkan penjelasan M. Abdul Karim dalam Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, bahwa pada masa penyebaran Islam di Jawa, sebab para wali menampakkan dan mengajarkan akhlak yang baik dalam menyebarkan agama, membuat penguasa kala itu menilai ajaran Islam tidak mengganggu stabilitas pemerintahan. Sehingga, dalam prosesnya, para wali mampu menjalin hubungan yang baik dengan penguasa, dan menarik hati masyarakat untuk memeluk Islam.
Hal ini nampak, misalnya, sebab adanya relasi yang baik antara Sunan Ampel dan Raja Majapahit, membuat Sunan Ampel mendapat izin dari raja untuk menetap di Ampel. Sebuah momentum penting yang membuat Sunan Ampel dapat mengembangkan Islam di wilayah pesisir utara Jawa, hingga kemudian ke berbagai penjuru Jawa.
Namun demikian, terjalinnya hubungan baik antara para wali dan penguasa Majapahit, tidak hanya sebab dari konsolidasi para wali itu sendiri. Melainkan, juga tidak lepas dari pengaruh istri Raja Majapahit, dalam hal ini Putri Dwarawati, yang telah beragama Islam. Kita dapat melihat pentingnya posisi Putri Dwarawati, dalam penyebaran Islam di Jawa, dari motif rombongan Sunan Ampel yang datang dari Champa ke Majapahit.
Mengapa target mereka harus pergi ke Kutaraja Majapahit? Sebab, di situ telah ada Putri Dwarawati. Sehingga, pengaruh sang putri Champa di keraton dapat membuka ruang dakwah para wali di tanah Jawa. Itulah sebabnya salah satu motif kedatangan rombongan Sunan Ampel adalah untuk menemui bibinya, Putri Dwarawati.
Momentum Para Wali Mengembangkan Dakwah Islam
Agus Sunyoto menjelaskan bahwa, ketika berlabuh di Jawa, rombongan Syaikh Ibrahim Samarkandi (termasuk di dalamnya Sunan Ampel) memilih berlabuh di Gesik (sekarang Gesikharjo, Kec. Palang, Kab. Tuban), yang merupakan wilayah sebelah timur Bandar Tuban. Hal ini mereka lakukan sebagai bentuk kehati-hatian, mengingat Bandar Tuban saat itu adalah pelabuhan utama Majapahit.
Rombongan Syaikh Ibrahim Samarkandi memilih tinggal agak jauh dari pelabuhan utama Majapahit, sebab mereka ingin menyebarkan Islam kepada penduduk sekitar. Sembari mencari kesempatan ke Kutaraja Majapahit untuk bertemu Putri Dwarawati. Namun, sebelum sempat pergi ke kutaraja, Syaikh Ibrahim Samarkandi wafat di Gesik. Dan, perjalanan dilanjutkan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) beserta rombongan lainnya.
Pasca dari Kutaraja Majapahit ruang dakwah Sunan Ampel, dan wali lainnya, terbuka lebar. Mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi sebagaimana sewaktu di Gesik. Sebab, Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri telah mendapatkan izin dari Raja Majapahit untuk menetap di wilayah Ampel, dan saudaranya mendapat izin tinggal di Gresik.
Ini menjadi momentum emas para wali dalam mengembangkan dakwah Islam di tanah Jawa. Dan tentu, kesempatan itu tidak serta merta mereka dapatkan. Ada faktor yang melatar-belakanginya, salah satunya adalah pengaruh sang putri Champa dalam Keraton Majapahit.
Dari sini nampak, bahwa sosok Putri Dwarawati memiliki andil yang penting dalam jejaring Wali Songo. Sebab, terbukanya ruang dakwah Sunan Ampel beserta rombongannya, yang menjadi salah satu batu loncatan penting bagi kesuksesan dakwah Wali Songo di tanah Jawa, itu tidak lepas dari peran Putri Dwarawati. []