• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menyoal Pembagian Waris, Manusiawikah Kita?

Siapa yang merasa cukup harta, siapa yang anggota keluarga yang benar-benar membutuhkan bantuan harta. Semua ditimbang lewat kesepakatan dan keharmonisan keluarga

Chairul Anam Chairul Anam
03/08/2021
in Keluarga
0
Waris

Waris

266
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Islam sebenarnya sangat familiar dengan ihwal pembagian waris. Hampir seluruh muslim, minimal, saya kira pasti pernah mendengar ihwal ini. Apalagi kaum santri, ini jadi kajian epic. Meskipun senyatanya memang secara umum ilmu waris ditempatkan di kelas atas sebagai kajian pokok di Pesantren.

Melihat sirkulasi tersebut, bahwa santri sebagai agen of change pun tak semuanya mengenyam ilmu waris, apakah ilmu waris akan selamanya terasa eksklusif? Apakah kini sudah punah, atau bahkan tak berguna?

Perihal warisan, kita juga tak bisa menutup telinga, betapa banyak gosipan pembagian warisan yang berujung pertengkaran. Ikatan keluarga tak menjamin keharmonisan di depan harta benda.

Masalahnya adalah apakah kita memosisikan kehadiran ilmu waris sebagaimana pentingnya keberadaan ilmu tafsir, ilmu hadist, dan sebagainya?  Apakah kita juga ragu bahwa hukum Islam tak mampu menyelesaikan perkara warisan? Dua pertanyaan ini seharusnya telah sampai di dada kita.

Saya tak sekonyong-konyong menjelaskan tentang materi ilmu waris di artikel pendek ini. Pertama, saya bukan ahlinya. Kedua, kajian waris sangat mendalam.  Namun, yang perlu digaris-bawahi adalah tentang dua pertanyaan di atas. Pertama, jika kita memosisikan pentingnya ilmu waris sebagaimana ilmu keagamaan pada umumnya, seharusnya kita percaya pasti ada sosok ahlinya.

Baca Juga:

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Orang tidak sungkan untuk mencari solusi atas problem maksud ayat, landasan hadist, hukum fikih terhadap agamawan. Mereka percaya, sosok tersebut mampu menyelesaikannya.

Namun,  pernahkah kita melihat di sekitar kita orang berinisiasi memercayakan seseorang ahli dalam ilmu waris untuk menyelesaikan pembagian waris?

Ya, simpulnya, beberapa di antara kita tidak mau menyerahkan urusan waris kepada ahlinya. Tidak sebagaimana kita meminta tolong terhadap Kiyai untuk memimpin tahlil atau mengimami sholat berjamaah.

Kedua. Setelah kita tahu, misal, ada sosok agamawan/kiyai/ustad yang mumpuni dalam ilmu waris, apakah kita lapang dada menerima hasil pembagiannya? Semisal, secara neraca gender, Hasil lelaki lebih banyak ketimbang hasil perempuan. Manusiawi, kah?

Hal itu akan jauh lebih menyesakkan. Belum juga kelar masalah dengan keluarga, sebab banyak kerabat yang bakal dimasukkan dalam lis ahli waris. Kakak-beradik saling berebut. Menantu dan sepupu ambil suara. Dan tetek-bengek tentang seberapa andil seseorang terhadap Sang Almarhum, kita akan merambah ke hal yang lebih luas jangkauannya.

Dalam masalah waris, saya teringat teknik cemerlang Alm. Kang Lutfi Buntet Pesantren. Ketika saya masih mesantren, ada satu kisah yang nyelip dalam sebuah pembahasan yang disampaikan Alm. KH. Lutfi Elt Hakim, atau yang lebih dikenal Kang Lutfi. Para santri sendiri, lebih akrab dengan panggilan Aby. Semasa hidupnya, almarhum adalah Pengasuh PP. Nadwatul Ummah Buntet Pesantren.

Kang Lutfi selalu yakin Hablun min Allah dan Hablun min an-naas, akan selalu searah. Kita tidak bisa menyepelekan salah satu di antara keduanya. Keduanya penting. Dan ilmu waris menyangkup keduanya.

Saat pembagian warisan setelah kewafatan orang tuanya, Alm. Prof. Dr. KH. MA Fuad Hasyim (Rois Syuriah PBNU semasa kepemimpinan Gusdur), Kang Lutfi terlebih dahulu meminta keluarga berkumpul, guna menyelesaikannya sebagaimana cara kerja ilmu waris. Apapun hasilnya, harus lapang dada. Sebab ketentuan ini, menyangkut Hablun min Allah.

Dengan demikian, beliau tak meremehkan kacamata Islam dalam urusan ini. Keluarga saling legowo akan hasilnya, dan menerimanya secara prosedural perintah Allah Swt. Semua dilaksanakan atas acuan ilmu waris.

Setelah semuanya mendapatkan bagian sesuai prosedur, beliau bermusyawarah lagi dengan keluarga ndalem. Mengumpulkan warisan yang telah dibagi, dan membagikannya lagi sebagaimana kacamata manusia.

Siapa yang merasa cukup harta, siapa yang anggota keluarga yang benar-benar membutuhkan bantuan harta. Semua ditimbang lewat kesepakatan dan keharmonisan keluarga. Tentu, untuk menghindari pertikaian. Di sini, keharmonisan keluarga dapat terlihat. Saling berbagi satu sama lain.

Dari situ, pertimbangan yang terjadi akan sesuai dengan kepribadian seseorang. Apakah yang kaya mau berbagi terhadap sanak yang miskin. Apakah yang memiliki harta, mementingkan yang kurang harta atau beban hidup materil yang kurang cukup. Tergantung manusianya. Sebab hal demikian, perlu dibentuk atas kesadaran manusianya sendiri.

Teknis Kang Lutfi ini, saya kira sangat cemerlang. Bukan kinerja manipulatif. Tapi memang, kita diperkenankan menjalani semua hal atas dasar hablun min Allah dan hablun min an-naas. Kita harus meyakini ketentuan Allah Swt itu benar, cara pandang Islam adalah solusi, tapi juga tak menafikkan realitas keluarga yang ada.

Nyatanya, bukan hanya Kang Lutfi saja yang demikian. Teknis tersebut sudah mendarah daging di masyarakat Buntet Pesantren Cirebon. Hal itu diungkapkan langsung oleh Kang Ali Hasyim. Salah satu cendekiawan muda dari Buntet Pensantren.

Pembagian waris sangat rentan pertikaian. Dengan itu, Buntet sebagai salah satu acuan intelektual muslim, patut kita contoh akan teknis yang sudah mentradisi tersebut. Tinggal bagaimana, kita memandang Islam bukan sekedar hitam dan putih, tersudut a dan b. Semua memiliki solusi. Apalagi, Islam yang masyhur akan Rahmatan li al-alamin, akan merujuk pada keharmonisan antar manusia, antar sanak-keluarga.

Ilmu waris hadir memiliki posisi krusial, sebagaimana ilmu tafsir, hadist dan sebagainya. Kita bisa mempercayakan penyelesaiannya kepada sang ahlinya. Sebagaimana sekali lagi, kita sering meminta tolong kiyai untuk memimpin doa dan mengimami sholat berjamaah. Islam akan selalu manusiawi, ketika keharmonisan ada di antara dada manusia. []

Tags: Fiqih KeluargahukumIndonesiaislamkeluargaKesalinganlaki-lakiperempuanwaris
Chairul Anam

Chairul Anam

Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Agama di IAIN Cirebon

Terkait Posts

Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID