Di dalam teori budaya feminis hubungan perempuan dengan konstruksi dan budaya konsumen merupakan persoalan sentral. Perempuan sering diidentifikasi dengan konsumsi massa, oleh sebab itu perempuan jarang diposisikan sebagai objek yang bernilai positif. Irigaray berargumen bahwasannya untuk memahami perempuan dalam hubungan konsumen dengan merubah status perempuan sebagai komoditas yang berhubungan dengan tatanan kapitalis/patriarki. (Thornham, 2013 )
Berbicara tentang perempuan akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan konstruksi sosial. Entah itu urusan publik atau urusan domestik. Perempuan yang dapat berkarya di ranah publik tidak semuanya dapat merasakan keadilan yang sama dengan laki-laki.
Patriarki merupakan budaya yang mengkonstruksi dan menyusun upaya untuk mengeksploitasi tubuh, fikiran, peran, laki-laki dan perempuan. Adapun di dalam tulisan ini akan membahas bagaiamana representasi perempuan dalam dunia periklanan yang terkesan sangat patriarki.
Pertama, mengutip tulisan Dewi Candraningrum yang berjudul “ Amanat Al Insan dalam Krisis Lingkungan: Kajian Ekofeminisme Islam”. Dia menjelaskan bahwasannya dalam konsep patriarki perempuan sering dicap dengan hal-hal yang dianggap liar dan buas.
Sehingga perlu adanya upaya untuk menundukkan, mengatur dan mengeksploitasi supaya sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sangat tidak adil sebab perempuan dianalogikan sebagai hewan (liar dan buas). Padahal perempuan adalah bagian dari manusia yang kedudukannya sangatlah berbeda dengan hewan.
Kedua, konsep patriarki yang menjadikan perempuan sebagai barang yang mudah untuk dieksploitasi. Di sini tubuh perempuan bukan lagi dianggap sebagai makluk hidup melainkan sebagai barang yang dapat dijadikan uang. Ini merupakan upaya kapitalisasi tubuh perempuan dengan mengeskploitasi tubuhnya agar dapat diuangkan.
Ketiga, di dalam dunia periklanan tentu ada konstruksi sosial yang di dalamnya melahirkan subordinasi dan dominasi. Kemudian muncul kelompok yang superior dan inferior. Di sini perempuan lebih sering menjadi objek yang subordinat oleh ketentuan dalam periklanan dan harus patuh terhadap peraturan tersebut.
Sebab uanglah yang menjadikan manusia tidak seperti manusia. Oleh karena itu manusia sering diartikan bukan sebagai makhluk hidup yang dapat menikmati kehidupannya secara layak. Melainkan manusia adalah robot pencetak uang.
Ketidakadilan terhadap perempuan terutama dalam wajah periklanan berangkat dari pemikiran yang patriarkis dan sangat tidak logis. Dengan melanggengkan relasi kuasa yang dapat melahirkan kelompok dominan dan subordinasi. Di sini perempuan menjadi salah satu objek yang sering tersubordinasi. Misalnya, wajah periklanan di negara kita.
Mulai dari banyaknya layanan iklan yang dibintangi oleh sebagian besar perempuan dengan kategori cantik yang menurut saya itu sangat konstruk (putih, tinggi, hidung mancung, kulit mulus) menjadikan modal awal yang mudah untuk menarik minat konsumen. Hal ini tentu mempermudah masyarakat untuk mengkategorikan fisik yang cantik itu sesuai dengan model iklan.
Selain itu, menurut saya dominasi model iklan yang diduduki oleh perempuan merupakan salah satu taktik untuk melanggengkan atau menggambarkan perempuan adalah budak konsumerisme. Saussure menjelaskan dalam setiap gerak-gerik menunjukkan adanya tanda yang dapat ditarik sebagai makna dan alasan. Salah satu diantaranya ialah media iklan.
Sebut saja salah satu layanan iklan e-commerce yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini. Selain dengan iming-iming diskon yang melimpah dan harga yang relative murah. Ternyata ada satu hal yang membuat saya berfikir, layanan iklan tersebut didominasi oleh perempuan. Mungkin ini dapat dikatan bahwa adanya ruang bagi perempuan untuk menduduki ruang publik, namun ada hal lain yang membuatnya ganjil.
Iklan tersebut menawarkan beberapa kebutuhan perempuan, baik itu kebutuhan primer, sekunder bahkan kebutuhan tersier. Hal ini seakan memberikan tanda bahwa perempuan gemar dengan budaya berbelanja atau konsumerisme. Cara dan penyampaian iklannya pun terlihat sangat jelas bahwa ada tanda-tanda yang menunjukkan perempuan memang gemar dengan budaya belanja dan berlomba-lomba dalam mencukupi kebutuhan fashion.
Selain iklan layanan e-commerce, saya juga melihat adanya eksploitasi tubuh perempuan melalui media periklanan. Kesan pertama yang saya lihat ialah adanya imaji-imaji yang bernuansa sensual dan seksual. Misalnya iklan parfum atau sabun merupakan salah satu iklan yang menurut saya banyak mengandung imaji yang bernuansa sensual dan seksual. Dengan memposisikan perempuan sebagai tokoh utama dalam iklan tersebut.
Dalam dunia media banyak melahirkan pandangan yang pro dan kontra. Kesalahpahaman penonton dalam menyerap maksud dan tujuan penanyangan berita atau iklan seringkali terjadi. Ada yang dapat menangkap makna dengan mudah, dan ada juga yang sulit menangkap maknanya. Bahkan sesekali ada yang mengkritisi maksud dan tujuan penayangannya. Ini bukan lagi persoalan biasa. (Storey, 2006)
Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa representasi perempuan dalam dunia periklanan merupakan hasil dari konsep patriarki yang terstruktur. Melalui cap liar terhadap perempuan, anggapan bahwa perempuan merupakan sesuatu yang mudah dieksploitasi dan dianggap sebagai mesin uang, serta perempuan adalah objek inti dari budaya konsumerisme. Sekali lagi perempuan tetaplah manusia bukan wujud barang yang mudah ditundukkan dan dieksploitasi oleh apapun dan siapapun. []