Mubadalah.id – Setiap tanggal 1 Juni, kita semua memperingati Hari Lahir Pancasila. Tapi, pernahkah kita benar-benar meresapi maknanya? Karena seringkali, bagi sebagian dari kita, 1 Juni hanya tanggal merah di kalender. Padahal menurut saya, hari itu adalah momen penting untuk kembali mengingat dan menghayati Pancasila, dasar negara yang menyatukan kita sebagai bangsa Indonesia.
Pancasila bukan sekadar lima sila yang kita hafal di sekolah. Ia adalah pondasi hidup bersama di negeri yang kaya akan keberagaman, baik dari suku, ras, agama, bahasa, hingga budaya. Sayangnya, belakangan ini, nilai-nilai Pancasila, khususnya soal toleransi, tampak semakin memudar dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah dengan maraknya kasus intoleransi.
Pada tahun 2024, SETARA Institute mencatat ada sebanyak 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB). Dari jumlah itu, 123 kasus adalah intoleransi, dengan 73 tindakan dilakukan oleh masyarakat dan 50 tindakan diskriminasi oleh negara.
Data ini mengingatkan kita pada kasus intoleransi di Desa Astanalanggar, Cirebon. Di desa tersebut rencananya akan dibangun Gereja GBI (Gereja Bethel Indonesia), namun hingga saat ini ditolak oleh warga sekitar. Alasan utamanya adalah perizinan. Bahkan sebagian lagi menolak karena kekhawatiran akan terjadinya kristenisasi.
Kasus seperti ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat kita masih belum sepenuhnya siap menerima perbedaan. Banyak dari kita masih sulit menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, yang patut kita syukuri.
Akar Permasalahan Intoleransi
Lalu, sebenarnya, apa sih yang menjadi penyebab intoleransi masih sering terjadi di masyarakat kita? Berdasarkan beberapa sumber yang saya rangkum, setidaknya ada tiga faktor, di antaranya:
Pertama, pendidikan toleransi yang minim. Banyak sebagian masyarakat kita tumbuh di lingkungan yang homogen. Sehingga mereka tidak terbiasa berinteraksi dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan. Akibatnya, yang berbeda sering kali dianggap sebagai ancaman.
Kedua, pengaruh media sosial. Di era digital, banyak orang mudah percaya hoaks, bahkan tanpa melakukan verifikasi. Hal ini diperparah jika ada isu yang melibatkan perbedaan agama, di mana berita palsu bisa dengan cepat memicu emosi dan kebencian.
Ketiga, kita jarang sekali memiliki ruang aman untuk berdialog.. Banyak konflik sebenarnya bisa diselesaikan dengan duduk bersama dan berdialog secara terbuka. Ketiadaan ruang ini membuat kesalahpahaman mudah menjadi konflik.
Membangun Toleransi Bersama
Maka dari itu, bagi saya, Hari Lahir Pancasila bisa jadi momen yang tepat untuk refleksi diri. Kita bisa mulai dari diri sendiri, yaitu dengan belajar lebih terbuka, tidak mudah menghakimi, dan membiasakan diri berdialog dengan mereka berbeda.
Bahkan sebagai generasi muda, kita memiliki peran penting untuk menyebarkan nilai toleransi dan kedamaian. Kita adalah agen perubahan yang bisa membentuk masa depan yang lebih damai.
Jadi, mari rayakan Hari Lahir Pancasila bukan hanya dengan unggahan di media sosial. Namun dengan sikap nyata yaitu memperlakukan orang lain dengan hormat, membuka ruang dialog, dan menjaga kedamaian di sekitar kita.
Karena pada akhirnya, menjaga toleransi adalah bagian dari menjaga kehidupan bersama yang lebih aman dan damai. Dan itu adalah tanggung jawab kita semua, bukan hanya di momen Hari Lahir Pancasila, tapi dalam keseharian kita sebagai warga negara. []