“Ibumu tidak pernah benar-benar pergi. Ada bagian darinya yang selalu melekat dalam tubuhmu. Ia menjelma layaknya sebuah tenaga dari dalam yang selalu menguatkan. Bukan sebagai hal mistik tetapi ini bagian dari mekanisme kehidupan. Sains pun memperlihatkan jejak yang ikut terwariskan itu”
Mubadalah.id – Mungkin, salah dari kita pernah menemui kalimat tersebut di media sosial. Kalimat singkat itu pun memantik perhatian saya untuk menginterpretasikannya lebih lanjut. Layaknya sebuah penghiburan “ada bagian dari Ibu” yang konon tetap hidup di dalam diri kita. Sebagai bahasa rindu, kalimat itu dapat saya mengerti. Namun, apabila ingin membacanya lebih jernih, saya perlu menggeser perhatian dari “bagian” sebagai metafora menuju jejak biologis yang bisa diterangkan dengan nama mitokondria.
Kondisi tersebut sering dibaca sebagai kisah rindu seorang anak kepada Ibu. Padahal ada lapisan yang lebih menarik. Jejak biologis ini menunjukkan bahwa kehidupan berdiri di atas kerja yang tak terlihat. Kerja itu tidak meminta panggung, tetapi tanpanya hidup tidak berjalan.
Di sini, perempuan menjadi pusat pembacaan. Perempuan tidak hanya hadir sebagai figur Ibu yang kita rindukan, tetapi juga sebagai subjek yang kontribusinya membentuk hidup tanpa disadari. Jika pada tingkat sel saja kerja yang menghidupkan berlangsung sunyi, kita perlu bertanya, bagaimana masyarakat memperlakukan kerja sunyi perempuan di rumah, di ruang publik, dan di dalam relasi.
Mitokondria: Energi yang Membuat Hidup Berjalan
Energi tubuh tidak muncul begitu saja. Sel memproduksi energi, dan di sanalah mitokondria bekerja secara senyap. Mitokondria sendiri bukan sekadar bagian sel yang menghasilkan energi, melainkan rangakaian mesin kimia yang tersusun rapi.
Jika sebelumnya disebut tubuh “punya tenaga”, dalam bahasa biologi sel tenaga itu hadir sebagai adenosin trifosfat (ATP), sejenis “mata uang” yang dipakai sel untuk menjalankan kerjanya. Sebagian besar ATP diproduksi melalui proses yang berlangsung di mitokondria, sehingga organel ini kerap disebut pusat produksi energi.
ATP tidak terdengar, tetapi ATP menopang hampir semua yang kita sebut hidup. Otot membutuhkannya untuk berkontraksi. Sel saraf membutuhkannya untuk menjaga keseimbangan listriknya. Jantung mempertahankan ritmenya karena energi menopang proses-proses seluler.
Itulah sebabnya mitokondria sering dijuluki “pembangkit tenaga” sel. Julukan itu membantu, selama kita paham intinya. Hidup bertahan karena kerja yang terus berjalan meskipun tidak terlihat. Selain memproduksi ATP, mitokondria juga membawa DNA sendiri (mtDNA). Pada manusia, jejak genetik ini umumnya mengikuti garis ibu.
MtDNA: Garis Ibu dalam Sel
Mitokondria menarik bukan hanya karena perannya dalam produksi energi, tetapi juga karena membawa materi genetiknya sendiri. Pada manusia, pola pewarisan mtDNA umumnya mengikuti garis ibu. Dalam literatur genetika, pola ini muncul dengan istilah mitochondrial (maternal) inheritance.
Secara biologis, penjelasannya relatif sederhana. Sel telur menyumbang hampir seluruh sitoplasma kepada embrio, termasuk mitokondria dalam jumlah sangat besar. Sebaliknya, kontribusi mitokondria dari sperma biasanya tidak menjadi warisan yang bertahan. Hal ini bukan semata-mata karena perbedaan jumlah, tetapi juga karena adanya mekanisme biologis aktif yang mencegah transmisi mtDNA paternal.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mitokondria paternal mengalami degradasi atau eliminasi pada tahap awal perkembangan embrio. Salah satu ulasan klasik yang merangkum mekanisme ini dibahas oleh Miyuki Sato dan Ken Sato dalam “Biochimica et Biophysica Acta” (2013), yang menunjukkan keterlibatan sistem ubiquitin–proteasome, lisosom, dan autophagy dalam memastikan pewarisan mtDNA bersifat maternal.
Secara sederhana, proses ini dapat dibayangkan seperti sistem kebersihan di dalam sel: mitokondria dari ayah diberi tanda untuk disingkirkan, lalu dihancurkan atau didaur ulang agar tidak bercampur dengan mitokondria ibu.
Di sinilah bagian yang “menakjubkan” pertama yang tidak sekadar puitis. Jejak biologis yang mengikuti jalur ibu itu nyata. Warisan tersebut tidak berbicara, tetapi ia bekerja.
Kerja Sunyi Perempuan: Dari Sel ke Keseharian
Kerja mitokondria mengajarkan satu pelajaran yang mudah saya rasakan. Sesuatu bisa menentukan hidup tanpa pernah tampak di permukaan. Sel tetap bekerja karena ada sistem yang terus menyuplai tenaga. Di samping itu, dalam banyak keluarga, komunitas, serta ruang sosial, kehidupan juga tetap berjalan karena ada kerja yang terus menyuplai ketertiban, keselamatan, dan keberlanjutan.
Perempuan sering memikul kerja ini. Bentuknya bukan hanya yang tampak seperti halnya mengasuh atau memasak. Melainkan juga kerja yang luput dari perhitungan: mengingat jadwal, menangkap kebutuhan orang lain bahkan sebelum ada yang meminta, menata emosi agar konflik tidak membesar, dan menjaga rumah tangga tetap “berfungsi”. Kerja semacam ini menghidupkan, tetapi masyarakat kerap memperlakukannya sebagai sesuatu yang wajar dan seolah perempuan memang harus melakukannya.
Jika perempuan sedemikian signifikan, maka penghargaan yang pantas bukan sekadar pujian bahwa perempuan “kuat”. Penghargaan yang pantas adalah bentuk kesalingan itu sendiri. Saling berbagi tanggung jawab, berbagi risiko, dan berbagi ruang pulih. Sebab yang menghidupkan juga perlu dijaga.
Endosimbiosis: Mengapa Kerja Sama Menjadi Pondasi Kehidupan
Setelah melihat kerja sunyi pada tingkat sel dan pada tingkat relasi, ada satu kisah ilmiah lain yang membuat gagasan kesalingan terasa semakin relevan.
Sedikit pembacaan saya perihal mitokondria, para ilmuwan menjelaskan asal-usul mitokondria melalui teori endosimbiosis. Secara ringkas, para peneliti memahami bahwa mitokondria berasal dari organisme yang dulu hidup bebas, lalu memasuki sel inang dan membentuk relasi simbiotik jangka panjang. Konteks sejarah dan perdebatan tersebut telah dirangkum oleh Michael W. Gray dengan tajuk “Lynn Margulis and the Endosymbiont Hypothesis: 50 Years Later”.
Nah, dari sini saya bisa mengatakan bahwa relasi itu tidak lahir dari satu pihak yang meniadakan atau mengesampingkan pihak lain. Relasi itu bertahan karena memberi keuntungan bagi keduanya.
Di sini, Sains memberikan pelajaran etis yang tajam. Jika mesin hidup di dalam tubuh kita lahir dari kerja sama, mengapa relasi manusia sering dibangun seperti eksploitasi? Mengapa yang merawat sering dianggap hanya “tambahan”, padahal ia menopang seluruh bangunan?
Pelajaran endosimbiosis memberi satu petunjuk yang sangat praktis. Relasi yang membuat kehidupan bertahan adalah relasi yang punya pembagian fungsi dan batas yang jelas. Di dalam simbiosis, tidak ada pihak yang terus-menerus menjadi “penyangga” tanpa timbal balik. Apabila satu pihak harus menanggung semuanya karena pihak lain memaksanya, bangunan itu justru rapuh.
Maka bisa saya sebut bahwa perempuan bukan hanya “tokoh” dalam cerita kehidupan, melainkan penopang kehidupan itu sendiri. Pada level biologis, jejak yang ikut menetap di tubuh manusia berangkat dari jalur ibu. Pada level sosial, norma sosial kerap menaruh beban kerja merawat dan menjaga keberlangsungan hidup pada perempuan, lalu menormalkannya.
Kekaguman yang Berbuah Kesalingan
Boleh saya katakan mitokondria mengajarkan dua hal sekaligus. Ada warisan ibu yang benar-benar bekerja di dalam tubuh dan ada kerja sunyi yang menjaga hidup tanpa meminta panggung.
Dari sana, perempuan terlihat dalam ukuran yang lebih utuh. Perempuan bukan sekadar hadir dalam ranah yang tampak, seperti peran-peran materil yang orang-orang mudah hitung. Perempuan hadir juga dalam ranah yang tidak kasatmata, dari mekanisme biologis yang memastikan hidup terus berjalan hingga kerja merawat yang memastikan kita menjalani hidup dengan layak
Jika kita sungguh tersentuh oleh gagasan bahwa “ada bagian Ibu dalam diri kita”, maka langkah berikutnya bukan hanya mengenang. Langkah berikutnya adalah menjadikan penghormatan itu nyata dalam keseharian.
Di titik ini, kesalingan menjadi bentuk kasih yang paling realistis. Bukan kasih yang hanya berkata, tetapi kasih yang membagi tanggung jawab, menghitung beban yang tidak terlihat, dan saling menjaga agar yang menghidupkan tidak berjalan sendirian. []








































