• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Mitos Maskulinitas yang Memarjinalkan Laki-laki Korban Pelecehan

Melihat kondisi ini, menjadi penting untuk RUU TPKS segera disahkan karena data dan fakta menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga laki-laki

Hasna Azmi Fadhilah Hasna Azmi Fadhilah
04/01/2022
in Publik
0
Gangguan Mental

Gangguan Mental

277
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, seorang pria muda asal Tarakan ditangkap pihak kepolisian atas laporan pencabulan 12 anak laki-laki. Menurut pemeriksaan sementara, ia menjerat para korban dengan akun palsu menggunakan foto perempuan di media sosial.

Para korban anak lelaki itu rata-rata berusia 15 sampai 16 tahun dan masih berpendidikan SMP. Ketika korban sudah terjerat bujuk rayunya, tersangka lalu minta foto korban yang memperlihatkan alat vitalnya. Kemudian mengajak korban melakukan pertemuan dan mereka juga diancam untuk menyebarkan foto korban bila tidak mengikuti kehendaknya. Yang menyedihkan, tersangka terindikasi positive HIV/AIDS yang kemungkinan berisiko menjangkiti korban pencabulannya.

Kasus naas dari Kalimantan Timur tersebut semakin menambah daftar panjang laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan INFID Tahun 2020, dimana tercatat ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan seksual khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.

Meski persentasenya jauh lebih kecil, namun sama halnya dengan korban pelecehan dari kaum hawa, jauh lebih banyak korban yang enggan speak up karena dilatarbelakangi oleh banyak faktor, termasuk ketidakpercayaan lingkungan sekitar. Bahkan ketika sudah menyampaikan pun, kisah mereka seringkali dihakimi karena dianggap tindakan pelecehan laki-laki hanyalah joke yang tidak perlu dianggap serius, seperti kasus yang dialami oleh pegawai KPI baru-baru ini.

Padahal data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Lebih lanjut, catatan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di tahun 2017 lalu, menunjukkan bahwa untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.

Baca Juga:

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Penyalahgunaan Otoritas Agama dalam Film dan Drama

Luka di Balik Panggung: Kisah Tragis Para Pemain Sirkus OCI Jadi Korban Eksploitasi

Hasil riset tadi semakin mematahkan mitos bahwa laki-laki hanya bisa menjadi pelaku pelecehan seksual saja. Selama ini terlanjur menjadi kepercayaan salah kaprah bahwa kasus laki-laki yang menjadi korban pemerkosaan adalah hal yang tidak masuk akal, laki-laki dianggap selalu menginginkan hubungan seksual—sehingga mereka tidak bisa diperkosa.

Laki-laki harus cukup kuat untuk bisa melawan—sehingga mereka seharusnya dapat melawan dan kejahatan perkosaan hampir tidak mungkin terjadi. Mitos tersebut berkontribusi pada budaya di mana pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali diabaikan dan tidak dilaporkan. Nyatanya, realitas memperlihatkan, sama halnya dengan perempuan, laki-laki pun telah banyak yang menjadi korban pelecehan.

Sama halnya dengan korban perempuan, laki-laki dan anak laki-laki yang telah diserang atau dilecehkan secara seksual akan memiliki perasaan dan bereaksi yang sama seperti para penyintas kekerasan seksual lainnya, tetapi mereka juga menghadapi beberapa tantangan tambahan karena sikap sosial dan stereotip tentang laki-laki dan maskulinitas yang disalahpahami.

Temuan dari RAINN, suatu organisasi yang bergerak dalam kerja-kerja anti kekerasan seksual di Amerika, menemukan bahwa beberapa pria yang selamat dari serangan seksual saat dewasa merasa malu atau ragu, percaya bahwa mereka seharusnya “cukup kuat” untuk melawan pelaku. Banyak pria yang mengalami ereksi atau ejakulasi selama penyerangan mungkin bingung dan bertanya-tanya apa artinya ini.

Respon fisiologis normal ini sama sekali tidak menyiratkan bahwa mereka bukan menginginkan, mengundang, atau menikmati serangan itu. Reaksi-reaksi tadi adalah respon fisik dari tubuh ketika ada rangsangan yang masuk. Dan hal itu bukan merupakan bentuk pembenaran bahwa pelecehan seksual adalah suatu yang normal.

Laki-laki yang mengalami pelecehan seksual di usia kanak-kanak atau remaja akan merespon secara berbeda dari pria yang mengalami pelecehan seksual saat dewasa. Dampak yang ditimbulkan sangatlah beragam, namun semua itu berkonsekuensi negatif terhadap kesehatan mental para korban.

Di antara tanda-tandanya antara lain: merasa seperti “kurang jantan” karena tidak lagi memiliki kendali atas tubuh sendiri; terus menerus merasa gelisah, tidak bisa rileks, dan sulit tidur; kerap merasa bersalah atau malu karena tidak bisa menghentikan serangan atau pelecehan, terutama jika secara refleks tubuh mengalami ereksi atau ejakulasi.

Jika saat dilecehkan, korban memiliki pasangan atau memiliki sahabat dekat, secara teratur ia akan menarik diri dari hubungan atau pertemanan dan rasa keterasingan yang meningkat; hingga memiliki kekhawatiran lebih untuk menyampaikan kejadian yang dialami karena takut akan penghakiman atau ketidakpercayaan dari orang-orang di sekitarnya.

Melihat kondisi ini, menjadi penting untuk RUU TPKS segera disahkan karena data dan fakta menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak hanya menyasar perempuan, tapi juga laki-laki. Sebagai contoh, kekerasan seksual yang dialami pegawai KPI baru terkuak tahun ini, padahal ia telah mengalami perlakuan tidak menyenangkan tersebut bertahun-tahun lamanya. Hal ini semakin memperlihatkan bagaimana dampak negatif dan trauma berat yang menekan korban untuk urung speak up.

Oleh sebab itu penting bagi DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan regulasi tersebut agar budaya maskulinitas rapuh yang masih diamini oleh mayoritas kita tidak menimbulkan lebih banyak korban lagi. []

Tags: Kekerasan seksualkorbanSahkan RUU TPKS
Hasna Azmi Fadhilah

Hasna Azmi Fadhilah

Belajar dan mengajar tentang politik dan isu-isu perempuan

Terkait Posts

Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perbedaan Feminisme

    Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh
  • Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!
  • Membaca Ulang Makna Aurat dalam Al-Qur’an
  • Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID