Jumat, 7 November 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Menikah

    Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

    Digital Parent

    Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online

    Fiqh Haid

    Menafsir Ulang Fiqh Haid

    Disabilitas

    Memperjuangkan Kontestasi Makna: Mengapa ‘Disabilitas’ Lebih Manusiawi dari ‘Cacat’

    Fiqh Haid

    Fiqh Haid: Membebaskan Tubuh Perempuan dari Stigma Najis

    Belum Punya Anak

    Luka dari Kalimat “Belum Sempurna Karena Belum Punya Anak”

    Pengalaman Perempuan

    Ketika Nabi Saw Mendengar Pengalaman Perempuan

    Wali Nikah

    Wali Nikah, Antara Perlindungan dan Kesewenang-wenangan

    haid nifas dan istihadhah

    Persoalan Haid, Nifas, dan Istihadhah: Nabi Mendengar Langsung dari Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Disabilitas

    Di UNIK Cipasung, Zahra Amin: Jadikan Media Digital Ruang Advokasi bagi Penyandang Disabilitas

    Bagi Disabilitas

    Rektor Abdul Chobir: Kampus Harus Berani Melahirkan Gagasan Inklusif bagi Penyandang Disabilitas

    Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    4 Fondasi Utama Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah bagi

    Fiqh al-Murunah: Menakar Azimah dan Rukhsah dari Pengalaman Difabel

    Fiqh al-Murunah yang

    Fiqh Al-Murunah: Fiqh yang Lentur, Partisipatif, dan Memberdayakan

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah, Gagasan Baru yang Terinspirasi dari Dua Tokoh NU dan Muhammadiyah

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Menempatkan Penyandang Disabilitas sebagai Subjek Penuh (Fā‘il Kāmil)

    Fiqh al-Murunah

    Fiqh al-Murunah: Terobosan KUPI untuk Menempatkan Difabel sebagai Subjek Penuh dalam Hukum Islam

    Fiqh al-Murunah yang

    Dr. Faqihuddin Abdul Kodir: Fiqh al-Murūnah, Paradigma Baru Keislaman Inklusif bagi Disabilitas

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Menikah

    Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

    Digital Parent

    Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online

    Fiqh Haid

    Menafsir Ulang Fiqh Haid

    Disabilitas

    Memperjuangkan Kontestasi Makna: Mengapa ‘Disabilitas’ Lebih Manusiawi dari ‘Cacat’

    Fiqh Haid

    Fiqh Haid: Membebaskan Tubuh Perempuan dari Stigma Najis

    Belum Punya Anak

    Luka dari Kalimat “Belum Sempurna Karena Belum Punya Anak”

    Pengalaman Perempuan

    Ketika Nabi Saw Mendengar Pengalaman Perempuan

    Wali Nikah

    Wali Nikah, Antara Perlindungan dan Kesewenang-wenangan

    haid nifas dan istihadhah

    Persoalan Haid, Nifas, dan Istihadhah: Nabi Mendengar Langsung dari Perempuan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

    Perempuan Lebih Rendah

    Ketakwaan Perempuan Tidak Lebih Rendah dari Laki-laki

    Keterbukaan Rumah Tangga

    Keterbukaan Adalah Kunci Utama Keharmonisan Rumah Tangga

    Keterbukaan

    Pentingnya Sikap Saling Keterbukaan dalam Rumah Tangga

    Rumah Tangga dalam

    Mencegah Konflik Kecil Rumah Tangga dengan Sikap Saling Terbuka dan Komunikasi

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Parenting ala Imam al-Ghazali? (1): Tanggung Jawab dan Prinsipnya

Parenting, dalam gagasan al-Ghazali, bukan hanya mengembangkan tumbuh anak secara lahir melainkan juga memupuk kesehatan secara batin

Moh Soleh Shofier Moh Soleh Shofier
22 April 2024
in Keluarga, Rekomendasi
0
Parenting Ala Imam Al-Ghazali
1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Efek lebaran, beberapa kawan membuka percakapan pola asuh anak – istilah yang populer: parenting. Tidak terlalu buruk, kiranya mempelajari pengasuhan anak sejak dini. Selain membantu kesiapan mental, juga kematangan teori pola asuh.

Berbicara teori pengasuhan anak, memang mengalami kemajuan literatur dengan landasan penelitian ilmiah. Hanya saja kembali kepada fokus yang bersangkutan. Misal saya, kendatipun tidak menutup mata akan perkembangan tersebut, pedoman yang mendominasi tetap literatur keislaman. Minimal, dalam nilai-nilai statis yang hendak diajarkan ke anak. Seperti pentingnya keimanan versi agama saya.

Imam al-Ghazali, meski bukan ilmuan spesialis parenting, beliau mengulas persoalan pola asuh anak cukup komprehensif. Menghabiskan sekitar 3 lembar dalam volume tiga kitab Ihya Ulumiddin. Lebih dari itu, sebagian nilai-nilainya masih relevan.

Parenting Tanggung Jawab Bersama

Pertama-tama Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pengasuhan anak (parenting) merupakan hal yang paling krusial dan urgent. Sebab, anak merupakan amanah Tuhan yang dimandatkan pada setiap keluarga. Anak – sebagai sosok manusia – memiliki sifat dasariah fitrah yang bisa menerima kecenderungan buruk atau baik.

Oleh karena itu, orang tua, baik ayah ataupun ibu, sebagai lingkungan yang paling kecil dan dekat wajib bertanggung jawab atas kembang-tumbuhnya anak (Ihya Ulumiddin, 3/72).

Imam al-Ghazali menyitir sebuah ayat yang artinya, “Wahai orang orang beriman hendaknya kau lindungi dirimu sendiri dan keluargamu dari sengatan api neraka” (QS. Al-Tahrim ayat 6).

Menurut tafsirnya Imam al-Ghazali,

وَمَهْمَا كَانَ الْأَبُ يَصُونُهُ عَنْ نَارِ الدُّنْيَا فَبِأَنْ يَصُونَهُ عَنْ نَارِ الْآخِرَةِ أَوْلَى

“Bila bapak (orang tua) akan melindungi anaknya dari sengatan apu dunia maka lebih utama lagi menolong anaknya dari api neraka”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).

Meski beliau menegaskan bapak, tetapi dalam parenting bisa dipahami sebagai tanggung jawab bersama yaitu orang tua. Penerapan pola asuh anak sebagai tanggung jawab bersama; ibu dan bapak bisa kita lihat dari ungkapan beliau;

 وليكن الأب حافظاً هيبة الْكَلَامِ مَعَهُ فَلَا يُوَبِّخُهُ إِلَّا أَحْيَانًا وَالْأُمُّ تُخَوِّفُهُ بِالْأَبِ وَتَزْجُرُهُ عَنِ الْقَبَائِحِ

“Hendaknya ayah itu punya karisma bersama anaknya  sehingga tak perlu menghardik anaknya kecuali dalam kondisi tertentu. Pun, ibu menakuti anaknya dengan ayah seraya menghindarkan anaknya dari hal negatif” (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Spirit atau poin dari ungkapan tersebut menguatkan bahwa harus ada kerja sama antara ibu dan bapak dalam mengasuh anak, tidak hanya ibu ataupun hanya bapak.

Parenting, dalam gagasan al-Ghazali, bukan hanya mengembangkan tumbuh anak secara lahir melainkan juga memupuk kesehatan secara batin. Lahir dan batin inilah yang menjadi paradigma orang tua untuk memerhatikan dalam pengasuhan anaknya. Oleh karena itu, pengasuhan dalam hal tersebut sesungguhnya mulai sejak dalam kandungan.

Titik Mulai Pengasuhan Anak

Dalam kandungan, selain ibu mengonsumsi makanan sehat secara medis untuk mengembangkan “jasmani” anaknya, juga mesti sehat secara syariat: halal dan tayyib guna memastikan rohani anaknya. Inilah titik mulai pengasuhan anak.

Berlanjut pada fase kelahiran, tentu konsumsi bayi utama adalah susu. Dalam hal ini, Imam al-Ghazali menandaskan:

بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يُرَاقِبَهُ مِنْ أَوَّلِ أَمْرِهِ فَلَا يَسْتَعْمِلُ فِي حَضَانَتِهِ وَإِرْضَاعِهِ إلا امرأة متدينة تأكل الحلال فإن اللبن الحاصل من الحرام لا بركة فيه

“Ketahuilah: cara mendidik anak harus sejak awal. Maka hendaklah perempuan yang religius dan makanannya halal yang mendidik dan menyusui. Sebab, susu yang dihasilkan dari hal yang tidak sehat (haram dan tak bergizi) maka tidak ada berkah di dalamnya”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).

Dalam fase penyusuan ini, Imam al-Ghazali hendak menitikberatkan pentingnya susu yang berkualitas. Susu yang berkualitas tentu berkelindan dengan ibu yang sehat. Sehingga secara tidak langsung pula, Al-Ghazali, menuntut agar ibu itu sehat baik secara jasmani maupun mental atau rohani. Selain itu, juga perlu menyusui secara ekslusif – sebagai proses penyusuan yang paling ideal selama tidak ada halangan.

Dalam masa kandungan dan menyusui hendaknya suami hadir dan memastikan kesehatan istri berikut anaknya sebagai jewantahan dari pertanggung jawaban bersama dalam parenting.

Setelah itu, berlanjut ke masa pertumbuhan awal. Imam al-Ghazali mengingatkan orang tua agar mendukung anak yang menunjukkan gejala positif, rasa malu  misalnya. Atau mengarahkan anaknya pada hal-hal yang positif bila anak tampak ke arah negatif seperti rakus.

Teori Perintah dan Kebenaran Objektif Dalam Pengasuhan Anak Pasca Penyusuan

Dua kecenderungan itu berangkat dari paradigma sintesis bahwa manusia memiliki sifat fitrah sehingga bisa menginput dua unsur utama: negatif dan positif – berbeda dengan Thomas Hobbes (1588-1679 M) yang mengajukan tesis bahwa unsur utama manusia adalah sifat buruk (negatif), atau Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778 M) yang menawarkan anti-tesa bahwa sifat dasariah manusia adalah baik (positif).

Masih tuturan al-Ghazali, hendaknya orang tua mengarahkan anaknya agar mengambil makanan dengan tangan yang kanan, mengucap basmalah sebelum makan, makan hidangan yang di hadapannya, tidak mendahului orang lain. Tidak tergesa-gesa saat makan, dan tidak mandang sinis akan menu makanan, pun orang yang makan.

Seabrek perintah dan larangan itu bukan disodorkan begitu saja kepada anak – atas otoritas orang tua yang punya tanggung jawab mendidik.  Tapi harus pakai strategi; sosialisasi dan dialog dengan anak. Dalam hal strategi, menarik memasuki kajian Mustofa Akyol ketika mengilustrasikan teori hukum dengan pedagogi.

Ketika anak, kata Akyol, tiba-tiba mengambil mainan saudaranya, maka orang tua ada dua opsi. Pertama, melarang anaknya mengambil mainan saudaranya karena orang tua itu melarang. Kedua, melarang anak itu dengan mendiskusikan dan menjelaskan konsekuensi buruk yang akan datang – bukan karena larangan orang tua.

Opsi pertama itu lalu familiar dengan teori “perintah/larangan” yang mana terkesan diktator. Pokoknya bapak/ibu melarang itu, memerintahkan ini. Titik. Sementara opsi kedua,  merepresentasikan teori “kebenaran objektif” yang muaranya demokratis dengan menjelaskan konsekuensi bila melanggar larangan atau tidak taat perintah (Mustofa Akyol, I’adatu Fathi al-‘Uqul al-Muslimah; Audatun Ila al-Aqli Wa al-Hurriyah wa al-Tasamuh).

Husn al-Ta’dib: Prinsip Parenting ala Imam al-Ghazali Yang Tak Lekang Zaman

Dua teori itu hanya strategi bagaimana orang tua membimbing anaknya. yang namanya strategi maka harus mempertimbangkan efektifitas. Baik pakai teori pertama, pun yang kedua. Ada saat-saatnya, orang tua itu menggunakan teori pertama, dan perlu pula yang kedua, tutup Mustofa Akyol.

Lepas dari itu, apapun strategi dan teori yang akan dipakai maka harus tidak boleh lepas dari prinsip parenting ala Imam al-Ghazali sebagai berikut.

وَإِنَّمَا يُحْفَظُ عَنْ جَمِيعِ ذَلِكَ بِحُسْنِ التَّأْدِيبِ

“Hanya saja menjaga anak dari semua keburukan itu harus dengan didikan yang baik”. (Ihya Ulumiddin, 3/72).

Inilah prinsip mendidik anak-anak. Prinsip “Husn al-ta’dib” sangat relevan untuk dijadikan patokan dalam mengasuh anak yang tak akan lekang dengan gilasan zaman. Saat mengarahkan anak pada hal yang positif, atau melarang dari hal negatif mesti mempertimbangkan “Husn al-Ta’dib” yang bisa kita realisasikan dengan melihat situasi dan kondisi. Baik situasi yang meliputi fisik dan psikologi anak, maupun situasi-kondisi sosio-lingkungan. Sehingga bisa menerapkan strategi apa yang pas dan mengena dalam parenting.

Memilih Strategi Parenting dengan Prinsip Husn al-Ta’dib

Dulu, di zaman al-Ghazali sesuai amatan beliau terhadap parenting di zamannya yang efektif adalah lebih mendidik dengan cara teori perintah tanpa menjelaskan sebab akibatnya. Misalkan beliau menggambarkan:

ويقبح عِنْدَهُ كَثْرَةُ الْأَكْلِ بِأَنْ يُشَبَّهَ كُلُّ مَنْ يُكْثِرُ الْأَكْلَ بِالْبَهَائِمِ وَبِأَنْ يُذَمَّ بَيْنَ يَدَيْهِ الصَّبِيُّ الَّذِي يُكْثِرُ الْأَكْلَ وَيُمْدَحُ عِنْدَهُ الصَّبِيُّ الْمُتَأَدِّبُ الْقَلِيلُ الْأَكْلِ

“Memvonis buruk makan berlebihan di hadapan anak dengan cara menyamakan setiap orang yang suka makan berlebihan dengan hewan, dan mencela orang-orang yang sering makan dengan porsi lebih. Serta memuji anak-anak yang makannya sesuai porsi” (Ihya Ulumiddin, 3/73).

Namun demikian, strategi parenting sendiri berkembang seiring perkembangan zaman dan perubahan nilai etik. Zaman sekarang, mendidik dengan teori perintah (baca: diktator) mulai usang, dan lebih mengena dengan cara yang demokratis. Misalnya, melarang makan dengan porsi yang berlebihan tidak dengan cara mencela orang-orang sebagaimana narasi Imam al-Ghazali.

Melainkan mensosialisalisasikan dan menjelaskan akibat yang akan timbul bahwa makan dengan porsi yang lebih bisa mengundang penyakit sehingga badannya tidak sehat dan seterusnya. Tetapi, apapun strateginya mesti mengejewantahkan prinsip “husn al-ta’dib” dalam parenting ala Imam al-Ghazali. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: imam al-ghazalimendidik anakparentingPengasuhan AnakPrinsip parenting
Moh Soleh Shofier

Moh Soleh Shofier

Dari Sampang Madura

Terkait Posts

Digital Parent
Keluarga

Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online

6 November 2025
Hak Anak
Keluarga

Hak Anak atas Tubuhnya: Belajar Menghargai Batasan Sejak Dini

5 November 2025
Madrasatul Ula
Keluarga

Menjadi Ibu untuk Madrasatul Ula dan Menjadi Bapak untuk Pelindung Cita

27 Oktober 2025
Anak Difabel
Keluarga

Mendorong Pengasuhan Inklusi Untuk Anak Difabel

6 Oktober 2025
Queen Bee Syndrome
Personal

Queen Bee Syndrome: Ibu, Mertua, Menantu dan Luka yang Diwariskan

4 Oktober 2025
Perceraian
Buku

Ketika Perceraian Memerdekakan dan Bagaimana Menulis Menjadi Terapinya

27 September 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Digital Parent

    Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menafsir Ulang Fiqh Haid

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka dari Kalimat “Belum Sempurna Karena Belum Punya Anak”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperjuangkan Kontestasi Makna: Mengapa ‘Disabilitas’ Lebih Manusiawi dari ‘Cacat’

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menikah: Saling Mengadaptasi Keterasingan
  • Digital Parent: Anak Dalam Bayangan Kekerasan Online
  • Menafsir Ulang Fiqh Haid
  • Memperjuangkan Kontestasi Makna: Mengapa ‘Disabilitas’ Lebih Manusiawi dari ‘Cacat’
  • Fiqh Haid: Membebaskan Tubuh Perempuan dari Stigma Najis

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID