Mubadalah.id – Sebulan usai di-PHK, saya belum mendapat pekerjaan baru. Proyek-proyek kecil freelance pun belum ada yang berjodoh. Artinya, mulai bulan ini keluarga kami cuma punya satu sumber pemasukan. Juga berarti, saya secara sah jadi bapak rumah tangga yang dinafkahi istri.
Lantas bagaimanakah rasanya dinafkahi istri?
Bicara peralihan status dari kepala rumah tangga jadi bapak rumah tangga karena kehilangan kerja, rasanya kurang lengkap jika tak membahas persoalan finansial. Oke, mungkin status saya sebagai kepala keluarga tak sepenuhnya terhapus. Secara de jure, saya tetap menjadi kepala keluarga, dan bakal menjalani konsekuensi administrasinya.
Kena PHK tak otomatis membuat saya berganti status di Kartu Keluarga. Secara de facto, saya masih mengemban tugas besar memastikan rumah tangga utuh dan keluarga tetap harmonis. Hanya saja, mesti saya akui ada satu tanggung jawab yang sedang tak mampu saya penuhi.
Sejak menikah, kami sepakat menotal penghasilan kami lalu mengalokasikan ke dalam pos-pos yang telah kami susun. Jumlah pos itu berubah menyesuaikan naik-turunnya penghasilan. Sekadar tahu saja, kami adalah keluarga kelas menengah medioker, kaum mendang-mending, serta pemburu diskon. Kami sempat punya penghasilan sampingan yang cukup menambah jumlah pemasukan. Tapi penghasilan kami kemudian turun karena perusahaan saya turut terpukul pandemi.
Di titik start saat kami menikah, gaji istri di bawah saya. Perlahan tapi pasti, tiap tahun gaji istri selalu ada kenaikan. Sedangkan gaji saya yang awalnya lebih tinggi, dipotong setengah juta rupiah mulai medio 2020. Sejak itu, nominal gaji saya stabil—tak berubah—selama 3 tahun berikutnya sampai saya di-PHK. Saya pun sempat terpikir bikin tebak-tebakan begini: Di tengah harga-harga melonjak, ada satu yang selalu stabil, apakah itu? Ya, gaji saya.
Bijak Mengelola Keuangan Keluarga
Hingga sebelum saya di-PHK, kami punya 10 pos pengeluaran yakni tabungan rumah, tabungan pensiun, tabungan pendidikan anak, dana darurat, belanja harian, PLN & PDAM, uang saku (pegangan), pengembangan diri, hiburan, dan infak. Sejatinya, nominal gaji saya sedikit di bawah nilai penjumlahan tabungan rumah + tabungan pensiun + tabungan pendidikan anak + dana darurat. Melihat tingkat urgensi keempat pos tersebut dan kesesuaian angkanya dengan gaji saya, maka keempat pos tersebut yang terpilih untuk kami kosongkan sementara.
Di antara empat pos yang tereliminasi tersebut, barangkali dana darurat paling perlu saya sorot. Apakah tetap menabung dana darurat tidak penting? Ya tentu saja penting, bahkan bisa kita bilang urgen. Tapi dalam kasus keluarga kami, dana darurat yang terkumpul selama ini. Meski nilainya tak seberapa jua, tidak akan kami gunakan dalam waktu dekat, untuk memenuhi kebutuhan harian sebagaimana fungsinya.
Karena gaji istri sebenarnya sudah mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan kami yang paling pokok. Artinya, meski menabung dana darurat tak berlanjut, tapi jumlah yang ada saat ini juga tak berkurang.
***
Kembali ke pertanyaan di awal: Bagaimana rasanya dinafkahi istri?
Sejujurnya, saya tak merasa gimana-gimana. Tidak merasa malu atau hina, tidak juga merasa lemah dan bergantung. Saya seorang penganut kesetaraan, yang berarti meyakini baik suami maupun istri punya hak dan kewajiban yang sama dalam banyak hal. Saya juga menyetujui konsep kesalingan (mubadalah), yang berarti baik suami maupun istri berbagi peran dalam rangka saling menyokong satu sama lain.
Maka, salah satu tak lebih superior dari yang lain. Pandangan yang satu sama patutnya untuk kita pertimbangkan seperti pandangan yang lain. Suara suami bernilai 1, suara istri bernilai 1. Sebelum menikah, kami juga telah sepakat bahwa kehidupan rumah tangga ini kami bangun bersama. Sehingga, kedua pihak, selagi mampu, sama-sama punya kewajiban menyokong perekonomian keluarga.
Hanya saja, saya merasa pemasukan hanya dari istri bukanlah kondisi ideal. Selain karena saya merasa tingkat ketahanan saya dalam mengurus si kecil tak terlalu panjang dan merasa butuh aktualisasi lewat bekerja. Ada satu alasan lebih fundamental agar saya segera bekerja lagi. Yaitu, kalau pemasukan terus-terusan hanya dari satu sumber, berapa lama lagi kami baru bisa punya rumah? []