Selama ini saya, juga mungkin banyak orang penasaran dengan kondisi yang terjadi pada perempuan di Aceh, ketika Perda Syariat Islam atau Qonun Jinayat sudah diberlakukan di sana. Banyak sudah tulisan yang dibuat untuk memberi dukungan, agar perempuan mendapatkan keadilan atas ketimpangan yang menimpa.
Akhirnya rasa penasaran saya terjawab, saat mengikuti Ngaji Keadilan Gender Islam bersama Ibu Dr. Nur Rofiah Bil. Uzm di Pemalang. Karena dalam sesi itu dibuka oleh Aktivis Perempuan Aceh Kak Suraiya Kamaruzzaman, ST, L. LM, MT, yang menceritakan pengalaman perjuangan perempuan di Aceh.
Ketika berbagi pengalaman perempuan yang kerap disapa Kak Aya menitikkan air mata, hingga menulari ke seluruh peserta, termasuk saya sendiri. Menyadari betapa tak mudah perjuangannya membela hak-hak perempuan di Aceh.
Saat itu, saya bertanya pada Kak Aya, jika sudah panjang perjalanan perjuangan itu dilalui, lalu apa dampak signifikan yang bisa dirasakan oleh perempuan di sana? Mengingat begitu berat tantangan yang harus dihadapi. Termasuk stigma anti syariat, berpotensi terancam dan terusir dari kampung halaman sendiri.
Kak Aya menjelaskan bahwa memang tidak mudah melakukan advoksi terkait isu implementasi syariat Islam (misalnya mengkritisi Qanun Jinayah), namun ada beberapa pasal yang berhasil diperjuangkan oleh gerakan perempuan.
Misalnya batasan usia anak yang draf awal adalah aqil baligh-nya ditandai dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah buat laki-laki (sekitar 13 tahun), telah berhasil diadvoaksi menjadi 17 tahun (sesuai dengan hukum nasional). Juga hukuman bagi pelaku zina yang dainggap sama dengan pelaku perkosaan berhasil diadvokasi bagi pelaku perkosaan hukumannya lebih berat, terutama kalau yang diperkosa adalah usia anak.
Setelah qanun jinayah diimplementasikan lebih dari satu tahun, lembaga tempat Kak Aya berkiprah (Balai Syura Ureng Inong Aceh) bersama beberapa lembaga lainya di Aceh sperti JMSPS dan RPuK melaksanakan riset tentang upaya pelayanan bagi perempuan berhadapan dengan hukum di Aceh.
Misalnya dalam kasus kekerasan terhadap anak, tidak menggunakan Qanun, tapi memakai UU Perlindungan Anak. Sehingga korban yang masih berusia anak, bisa terhindar dari hukuman yang memberatkan.
Banyak orang yang sebenarnya tidak membaca draft qanun atau perda, karena dianggap fiqih itu baik. Karena merupakan bagian dari ajaran Agama Islam. Kak Aya menyadari belum banyak yang bisa dilakukan, tapi dengan strategi pembelaan terhadap korban, dan membangun kesadaran terhadap para aparat dan penegak hukumnya.
Strategi berikutnya yang dilakukan, dengan mendorong aturan dan kebijakan di tingkat desa. Sehingga bisa menjadi payung hukum yang akan melindungi perempuan. Selain itu, Kak Aya juga berharap pemerintah pusat segera mengesahkan RUUP PKS, karena ini akan efektif untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan perempuan di Aceh.
Kak Aya menceritakan tentang kasus anak perempuan down syndrome yang masih berusia 11 tahun dengan kehamilan tidak diinginkan (KTD). Lalu karena ada aturan gampong (Qanun Gampong) yang menyatakan pelaku zina harus diusir dari desa. Aturan di sana memang harus mengusir pelaku zina dari desa. Sempat terjadi tarik ulur yang sulit, namun setelah mendapat dukungan dari P2TP2A Kabupaten, baru dapat pelayanan kesehatan dan pendampingan hukum dan akhirnya anak ini dipulangkan kembali ke rumah orangtuanya.
Selanjutnya Kak Aya mengatakan, coba kita bayangkan jika korban adalah anak perempuanmu, saudara perempuanmu, sahabat perempuanmu, apakah tega mengusir dari rumahnya sendiri, dengan sebuah kesalahan yang tidak ia pahami? Di mana rasa kemanusiaan kita? Dan kami seluruh peserta diam-diam menyeka air mata yang meluruh tanpa terasa.
Mendengar langsung cerita tentang perjuangan perempuan di Aceh, membuat hati bergetar. Sungguh padamu wahai Perempuan Aceh, seperti kisah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Keumalahayati dan Tengku Fakinah serta sederet nama pahlawan perempuan lainnya yang terlahir di Tanah Rencong, kami mendukung dan akan terus menunggu kisah hebatmu selanjutnya.[]