Mubadalah.id – Gerakan pengibaran bendera One Piece di minggu awal bulan kemerdekaan Indonesia tengah mengguncang jagat media sosial dan menuai banyak kontroversi. Pasalnya, gerakan pengibaran bendera ini berangkat dari keresahan kepada pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat.
Namun, sebuah tanggapan menggelitik dari Natalius Pigai, seorang Menteri Hak Asasi Manusia (HAM). Ia mengecam aksi ini sebagai bentuk makar dan penghinaan hukum. Mengutip dari Republika, Pigai mengatakan bahwa pelarangan pengibaran bendera One Piece di sela-sela bendera Merah Putih ini sesuai dengan hukum, pun terakui dalam hukum internasional.
Akan tetapi, apakah benar gerakan pengibaran bendera bergambar tengkorak yang kita sebut Jolly Roger yang merupakan lambang utama setiap kelompok bajak laut tersebut adalah sebuah makar?
Pengertian Makar Menurut Para Ahli
Istilah makar pertama kali Presiden Soeharto kenalkan di era Orde Baru untuk merepresi pergerakan politik oposisi di zamannya. Kata makar berasal dari bahasa Arab, yaitu “al-mark.” Artinya tipu daya untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Secara singkat, makar kerap diartikan sebagai “kudeta”.
Sedangkan definisi makar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah akal busuk, tipu muslihat, perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh) orang. Perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah. Sementara itu, kata “makar” dalam bahasa Belanda disebut “aanslag”, yang artinya penyerangan atau serangan.
Makar, menurut para ahli hukum, adalah tindakan atau perbuatan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah atau membahayakan keamanan negara. Secara umum, makar artinya sebagai upaya jahat atau tipu daya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Terutama yang berkaitan dengan perubahan kekuasaan atau stabilitas negara.
Makar, dalam konteks hukum pidana, seringkali berkaitan dengan upaya menjatuhkan kepala negara atau pemerintahan yang sah. Dalam KUHP, makar termasuk dalam kejahatan terhadap keamanan negara.
Meskipun terkait, makar berbeda dengan pemberontakan. Makar memiliki tujuan yang lebih spesifik, seperti menggulingkan presiden atau merusak wilayah negara. Sementara pemberontakan memiliki tujuan yang lebih umum, seperti menentang kebijakan pemerintah.
Upaya Tindakan Makar di Indonesia
Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami beberapa kali upaya makar oleh warga negaranya. Upaya tersebut warga lakukan dengan menentang ideologi bangsa hingga penyerangan kepada kepala negara yang sah.
Kasus makar pertama dilakukan oleh Daniel Maukar. Saat Bung Karno masih menjabat Presiden NKRI. Dia melakukan serangan mengerikan ke Istana Negara. Dengan pesawat tempur yang ia kendalikan, pilot Indonesia ini melakukan penyerangan yang mematikan. Beruntung Soekarno tidak ada di lokasi kejadian dan Daniel Maukar diadili atas tindakannya.
Kasus makar selanjutnya oleh GAM atau Gerakan Aceh Merdeka. GAM melakukan cukup banyak serangan di Aceh. Mereka ingin merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapaun tindakan makar yang paling terkenal kelam dalam sejarah Indonesia adalah G30S/PKI.
Pendapat Para Pakar Tentang Pengibaran Bendera One Piece
Pengibaran bendera One Piece yang tengah viral jelang peringatan HUT RI ke 80 ini memicu polemik. Pemerintah menganggap tindakan tersebut dapat memicu potensi memecah belah bangsa dan memiliki konsekuensi pidana.
Namun, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ( FH UII), Mudzakkir menilai tidak ada dasar hukum yang cukup untuk mempidanakan aksi pengibaran bendera One Piece. Selama tidak melanggar ketentuan formal mengenai penghormatan terhadap Bendera Merah Putih.
Beliau menegaskan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan hanya mengatur larangan penghinaan terhadap Bendera Merah Putih sebagai lambing negara. Selama tindakan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengganti, merendahkan, atau menghina Bendera Merah Putih, maka tidak dapat kita kategorikan sebagai pelanggaran hukum.
Senada dengan pendapat Mudzakir, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menilai pengibaran bendera karakter fiktif yang kita sebut ‘Jolly Roger’ ini merupakan bentuk ekspresi warga terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Terpenting bendera merah putih tetap berada di tiang tertinggi.
Isnur menangggapi fenomena ini sebagai sebuah bentuk ekspresi masyarakat atas keresahan pada kebijakan yang pemerintah buat. Fenomena ini harus kita pahami sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah, parlemen, dan kekuasaan yang dianggap gagal mendistribusikan keadilan sosial.
Menurutnya para penggemar serial animasi yang terlibat dalam aksi ini tengah menyuarakan kegelisahan sosial mereka dengan ciri khas generasinya, yakni simbol budaya pop. Hal ini sejalan dengan banyak praktik lain di masyarakat yang mengekspresikan kecintaan pada negeri melalui puisi, musik, bahkan bendera klub olahraga atau simbol daerah.
Ekspresi Warga Tidak Berbeda dengan Bentuk Partisipasi Politik
Pengibaran bendera One Piece oleh masyarakat kita ini sebenarnya tidak berbeda dengan bentuk partisipasi politik lainnya. Seperti demonstrasi, pengajuan petisi, pemberian dukungan pada partai politik dan bentuk partisipasi politik lainnya.
Bahkan beberapa tokoh politik, termasuk Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pernah menggunakan simbol ‘One Piece’. Isnur selaku Ketua YLBHI mengimbau pemerintah untuk tidak gegabah dalam merespons ekspresi warga. Demokrasi justru tumbuh dari kebisingan dan kegaduhan.
Pemerintah sudah seharusnya mendengarkan, menerima dan mengevaluasi bentuk protes yang kita layangkan dalam bentuk apapun. Mengingat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang penjamin hak setiap orang untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Ini berarti setiap warga negara Indonesia berhak menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan, di muka umum, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gerakan pengibaran bendera One Piece ini hanyalah bentuk ekspresi. Sebuah bentuk protes yang bisa rakyat lakukan. Sama halnya seperti sastrawan yang menggunakan karya sastranya sebagai senjata, dan musisi yang menggunakan lagunya. Maka, rakyat kecil yang tidak memegang senjata apapun juga berhak bersuara sebagai bentuk cinta NKRI. Tidak semua kritik kita layangkan karena benci, justru ia muncul karena rasa cinta dalam diri. []