Mubadalah.id – Perempuan sebagai ujung tombak kehidupan negara dan masyarakat. Dia mempunyai peran penting dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perempuan sebagai warga negara, mempunyai kewajiban yang sama untuk membela tanah air, dan turut andil dalam mengisi kemerdekaan dengan berperan sesuai dengan potensi dan lingkupnya.
Hal itu dikatakan oleh ketua Panitia Harlah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ke – 69, Rika Iffati Farihah, S.Psi., M.A melalui pesan tertulis yang diterima Mubaadalahnews, Rabu 3 Juli 2019.
Menurutnya, perempuan juga banyak yang terlibat sebagai mediator bahkan inisiator dalam proses rekonsiliasi di beberapa kasus intoleransi maupun pertikaian antar kelompok masyarakat.
“Perempuan juga mempunyai misi sebagai penggerak toleransi yang terlibat aktif dalam meminimalisir kesenjangan antar warga masyarakat baik dalam isu agama, kelas sosial, ekonomi, budaya maupun politik,” kata Bu Rika, sapaan akrabnya.
Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal dengan sebutan city of tolerance dan memiliki slogan ‘berhati nyaman’, memiliki penduduk yang sangat majemuk. Akan tetapi catatan kasus kekerasan di DIY pun tidak sedikit.
Lebih lanjut, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sendiri menyebutkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat pesat sepanjang tahun 2018. Hal ini menunjukkan jika kekerasan seksual ataupun kekerasan fisik masih menjadi ancaman bagi perempuan dan anak di DIY.
Selain kasus kekerasan terhadap peremuan dan anak, ia juga mengungkapkan, kekerasan dalam beragama juga jumlahnya mencengangkan. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) DIY mencatat ada 10 kasus intoleransi yang didominasi kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di DIY pada 2018.
Sepuluh kasus ini, kata dia, terdiri dari enam kasus baru dan empat kasus lama yang belum selesai.
“Untuk kasus baru pada 2018 dimulai sejak Januari saat pembubaran bakti sosial di Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, lalu penyerangan Gereja St Lidwina di Sleman. Ada juga kasus penyerangan atau penolakan acara sedekah laut di Pantai Baru, Bantul, penyerangan di Pengadilan Negeri Bantul terkait dengan kasus pameran Wiji Tukul, hingga kasus terbaru pemotongan salib nisan warga Katholik di Kotagede, Yogyakarta,” ujarnya.
Oleh sebab itu, sebagai warga DIY sekaligus warga Indonesia, Bu Rika menyatakan, perempuan DIY mempunyai peran signifikan dalam mengembalikan “Jogja berhati nyaman untuk Indonesia damai”, meminimalisir serta menghentikan upaya-upaya aksi kekerasan untuk tujuan apapun.
“Untuk itu Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat NU DIY sebagai organisasi perempuan di bawah naungan PWNU DIY mengajak untuk bersama-sama menjadi agen perdamaian,” jelasnya.
Selain itu, ia pun berharap harlah yang diisi oleh malam pagelaran kebudayaan bisa mengajak masyarakat untuk bersatu padu dalam mengawal Bhineka Tunggal Ika, menjaga toleransi antar umat beragama, suku dan kelompok-kelompok yang berbeda.
“Semoga bisa memaksimalkan potensi kearifan lokal untuk kesejahteraan bersama dan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional serta menampilkan kesenian dan potensi perempuan dalam mewujudkan perdamaian,” tandasnya. (RUL)