Mubadalah.id – Saat usiaku 17, sebuah ide tercetus di kepalaku setelah berpikir mengenai masa depan relasi romantis antara aku dan kekasihku di surga. Aku seorang pencemburu akut, aku tidak rela jika kekasihku di dunia ini akan hidup dan bermesraan dengan orang lain, para bidadari itu, yang jumlahnya puluhan. Aku tidak bisa membayangkan, kekasihku memeluk wanita lain selain diriku, aku tidak bisa membayangkan ia mencium dan menggandeng tangan wanita lain selain diriku.
Ratu Bidadari dan Laku Pelayanan Abadi
Aku yang melahirkan anak, aku yang menanggung segala kebobrokan suamiku, aku yang berjuang bertahun-tahun selama hidup mendukung dan merawat laki-laki itu, lantas kenapa keberadaanku harus terkalahkan oleh bidadari asing yang tak punya andil sama sekali dalam kehidupan kami? Bahkan tubuh perempuanku yang terbuat dari “tanah” ini disebut akan kalah saing dengan tubuh sosok lain yang tercipta dari bahan yang lebih tinggi maqomnya.
Mendengar kisah indah tentang bidadari surga, setiap laki-laki tentu berimajinasi. Dan sudah pasti suamiku itu santai dan senang-senang saja karena ia adalah pihak yang diuntungkan. Dia malah membayangkan betapa menyenangkan suasana itu, bukankah begitu isi kepala kebanyakan laki-laki? Di kelilingi banyak wanita cantik dan bersenang-senang.
Sementara perempuan bumi dijanjikan menjadi komandan para bidadari surga itu, ingat: hanya komandan, yang dibalut dengan kata “ratu”. Yang pada akhirnya juga berakhir melayani laki-laki. Kapan laku pelayanan ini berakhir? Dunia sudah cukup membuat sebagian besar dari kami kehilangan masa muda, cita-cita, dan kedirian, hanya demi melayani laki-laki. Di surga-pun sama?
Sang Pemberontak
Aku bukan wanita yang gila jabatan dan ketenaran sehingga ingin menjadi ratu di antara puluhan bidadari. Kenapa harus ada sebuah kisah yang menggembirakan satu pihak dan mengancam pihak yang lain? Begitulah pikirku saat usiaku 17.
Saat mengutarakannya, beberapat teman perempuanku memarahiku, sebab menurut mereka, perempuan yang mempertanyakan otoritas laki-laki membuatnya menjadi perempuan buruk yang kurang adab. Mereka menganggapku perempuan mbalelo, sang pemberontak, tak tahu diuntung.
Kendati diserang sana-sini, aku terus bertanya. Dan sampai saat ini, belum ada satu jawaban yang mampu membuat hatiku tenteram. Sudah kujajaki isi hati semua laki-laki yang mendekatiku. Aku benar-benar menginginkan jawaban yang pasti.
Cemburu Pada “Wanita Cahaya”
“Katakan padaku, Lintang. Kau cemburu, kan?” Ucap Natagama, pacar pertamaku di SMA. Dia bilang aku cemburu. Meski cemburu bukan alasan utamaku, tapi ada benarnya. Siapa yang tak cemburu melihat kekasihnya bersama dengan wanita lain yang jauh lebih cantik, lebih bersinar, lebih muda, dan memiliki segala kualitas keindahan yang tak tertandingi? Jika pertanyaan dibalik, bukankah laki-laki juga cemburu melihat wanita kecintaannya bersama dengan pria lain yang lebih ganteng, kaya, dan saleh darinya? Hanya saja laki-laki tidak akan menderita di surga sebab segala dalil berpihak pada mereka.
“Pola pikirmu di surga sudah berubah, Lintang. Di surga semua orang saling mencintai, kebencian telah terhapuskan, jadi perasaan cemburu di surga sudah tak ada lagi.” Begitu kata Hadiwijaya. Cowok kedua yang menyatakan cinta padaku.
Begitu pula kata laki-laki ketiga, keempat, dan kesekian yang datang padaku dan mengaku cinta.
Mereka semua menyuguhkan argumen yang lumayan sulit aku bantah, tapi itu tidak menghapuskan fakta bahwa perempuan tetap di tempatkan menjadi dayang-dayang bagi laki-laki. Dan pertanyaanku semakin menjadi, aku semakin kesal. Begitukah kodrat dan fitrah perempuan yang ingin Tuhan terapkan di muka bumi ini? Inikah tempat perempuan yang sejati?
Di Surga Kau Ingin Hidup dengan Siapa?
Entah berapa banyak laki-laki yang mendekatiku, menjadi pacarku, dan tak ada satupun yang berhasil menjawab pertanyaanku. Akhirnya, selama sepuluh tahun, aku menjalani masa sekolah dan kuliahku dengan satu pertanyaan mengambang yang belum ada jawabannya. Pertanyaan yang menjadi senjata mutlakku saat ada seorang laki-laki yang ingin serius denganku. Saat ia mengaku cinta, aku balas dengan pertanyaan: di surga kau ingin hidup dengan siapa?
Ada satu laki-laki yang berkata sangat manis bahwa katanya, setelah masuk surga ia hanya ingin hidup denganku sebagaimana di bumi ini. Namun ia berkata bahwa dia punya mantan kekasih, kekasihnya mati muda dan ingin agar aku mau menerimanya menjadi maduku, hidup bertiga di surga. Seketika aku langsung bangkit dari duduk dan meninggalkannya.
Lalu datang lagi laki-laki lain yang kurasa dia memiliki jawaban yang berbeda dan bisa menentramkan hatiku. Katanya, dalam menjalin relasi, yang penting di dunia ini dia bersetia dan tidak menggoda gadis-gadis lain. Namun di surga itu urusan beda. Aku masih tidak setuju, karena bunyi teks bidadari surga susah dinalar dengan logika perempuan—lebih tepatnya logikaku. Meski surga adalah alam lain, namun itu merupakan bukti bahwa di dua alam, dunia dan surga, perempuan tetap menjadi pelengkap, bukan manusia seutuhnya.
Pada akhirnya aku seolah menggeneralisir, bahwa semua laki-laki sama. Mereka pemuja kenikmatan. Meski kenikmatan itu masih bersifat fatamorgana. Para laki-laki, di mataku, mereka sangat egois. Dari sisi lain mereka ingin agar kekasihnya yang berasal dari bumi tetap bersama mereka di surga, dan di sisi lain mereka dengan sumringah—untuk tidak mengatakan kegirangan—juga menerima puluhan bidadari surga. Bahkan membayangkannya saja sudah membuat mereka cengar-cengir senang. Egois, bukan?
Histeria
Mereka sering mengatakan “itu hal yang terjadi entah kapan, alam akhirat masih jauh, tak perlu khawatir!”, kata-kata tersebut terucap hanya untuk menenangkan hati tapi tidak memberi solusi mutlak. Dan tak ada laki-laki yang serius menolak dalil tersebut. Sebab bagi pihak yang menang dan diuntungkan, nyata tidak nyata dalil tersebut, mereka tidak akan rugi, malah mendapat histeria. Setidaknya mereka punya lamunan indah yang ‘berdasar’.
Punya pikiran seperti ini membuatku merasa kuat, namun kadang juga membuatku ragu. Aku makin malas menikah. Makin malas dekat dengan laki-laki. Tak perduli orang sekitar mengataiku perawan tua, aneh, banyak maunya, ketinggian selera, pilih-pilih. Hm… Untuk apa aku menikah jika tak punya keyakinan?
Menjadi single bukan aib. Justru jika aku menikah hanya karena takut mendapat kecaman dari orang lain, itu artinya aku lemah dan tidak punya prioritas. Menikah itu untuk mendapatkan ketentraman batin, bukan untuk membungkam omongan orang. Karena omongan orang itu tidak akan ada habisnya. Mereka yang sudah menikah dan punya banyak anak juga masih terus dikejar pertanyaan. Bahkan pertanyaan yang lebih menyakitkan.
Protes Seorang Perempuan
Aku tetap percaya diri bertanya, meski sesekali aku juga sangsi karena aku merasa telah menjadi hamba kurang ajar yang terus mempertanyakan hukum yang sudah ditentukan itu. Masuk surga saja belum pasti, lantas kenapa aku sibuk mengurusi dengan siapa aku akan menjalani hidup di sana?
Protes seorang perempuan sepertiku memang disebabkan karena kami merasa bahwa kesusah-payahan kami bersetia pada suami tak ada harganya. Lelah dan sakit di bumi hanya untuk satu tujuan besar di surga, tujuan itu bernama menjadi komandan bidadari. Bukan menjadi manusia yang satu, utuh, dan tak tergantikan.
Suami yang tidak semuanya baik itu diiming-imingi bidadari. Baiklah, jika melihat sejarah, alasan logisnya mungkin karena masyarakat Arab waktu itu terbiasa memiliki istri banyak sehingga penggambaran surga menyesuaikan dengan adat, kebiasaan, watak dan alam pikir mereka supaya mereka giat beribadah.
Namun, masa kita beribadah hanya demi bidadari? Suhrawardi al-Maqtul pasti tersinggung mendengarnya, ibadah adalah aktivitas sakral. Ibadah artinya pengabdian, persembahan, memberi. Memberi kepada kekasih itu tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan. Kekasih macam apa yang ketika ingin mempersembahkan salat dan puasa, karena ingin having fun dengan bidadari?
Derajat Cinta
Bukankah derajat cintaku dipersoalkan kemudian? Satu-satunya kebahagiaan para kekasih adalah perjumpaan dengan kekasih sejatinya, kenapa yang kubayangkan adalah hidup megah leyeh-leyeh bersama yang bukan kekasih sejatiku? Bukankah perjumpaan sejati adalah dengan kekasih sejati? Munafik sekali mengatakan Tuhan adalah kekasih sejatiku, jika gambaran bidadari surga menjadikanku mabuk kepayang.
Dalam kekalutan perjalanan cintaku, kadang aku merasa lelah dan putus asa. Mungkin memang benar begitulah kehendak Tuhan untuk kami makhluk bernama perempuan, menjadi manusia kelas dua. Yang keberadaannya di dunia dan di surga tak ada bedanya, menjadi pelengkap. Hingga saat ini, aku masih berdiri seorang diri. Mengembara. Mencari. Menunggu jawaban. Menanti kekasih yang sanggup membuatku merasa penuh dan utuh. Mungkinkah ada? Atau aku akan jadi pengembara seorang diri selamanya? []