Mubadalah.Id– Sudah lama RUU PKS menjadi polemik. Polemik RUU P-KS karena adanya mis informasi yang salah tentang Draf UU ini.
Prof. Hj. Dra. Nina Nurmila, MA, PhD adalah Profesor Studi Gender dan Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung. Perempuan yang akrab disapa Bu Nina ini memulai studinya sejak tahun 1992. Beliau lulusan bidang Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kemudian beliau melanjutkan studi S2-nya di bidang Gender dan Pembangunan di Universitas Murdoch, Westren Australia, selesai tahun 1997. Pada tahun 2007, Bu Nina meraih gelar PhD di bidang Gender dan Studi Islam dari University of Melbourne.
Beliau juga pernah menjadi Endeavour Postdoctoral Research Fellow di University of Technology, Sydney (2008) dan Fulbright Visiting Professor of Islamic Studies di University of Redlands, California, USA (2008-9).
Bu Nina juga seorang pernah menjadi Visiting Research Fellow di Religion and Society Research Centre of University of Western Sydney (2013) dan University van Amsterdam (2015). Beliau juga yang menulis buku Women, Islam and Everyday Life: Renegosiasi Poligami In Indonesian (London; New York: Routledge, 2009 & 2011).
Selain itu, perempuan kelahiran Cirebon, 6 September 1969 juga seorang peneliti, penulis, editor, dosen senior dan aktivis di Alimat (sebuah gerakan untuk keadilan dan kesetaraan dalam keluarga). Beliau juga menjabat di Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan.
Dalam Diskusi Tematik dan Deklarasi Dukungan Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang gelar oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU) Cimahi, di Aula Pondok Pesantren Al-Musyahadah Cimahi, Kamis 28 Februari 2019. Bu Nina bersedia diwawancara Mubaadalahnews.com inilah hasil wawancara dengan beliau terkait Polemik RUU P-KS.
***
Apa yang menyebabkan RUU P-KS tidak segera disahkan?
RUU P-KS mengalami perjalanan yang cukup panjang. Dimulai dari tahun 2001-2011 Catatan Tahunan (CaTahu) Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengidentifikasi ada 15 jenis kekerasan seksual.
Di tahun 2014-2016, Komnas Perempuan bersama Forum Penyedian Layanan baru memulai penyusunan naskah akademik dan penulisan draft RUU. Oktober 2016, 3 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi pengusul RUU, menyampaikan draft RUU dan naskah akademik kepada bagian legislasi.
Di akhir Januari 2017, harmonisasi draft RUU oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Dalam penyusunan UU baru tidak boleh bertentangan dengan UU lain. April 2017 RUU P-KS ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR, dalam hal ini presiden menunjuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebagai leading sector.
Di bulan Juni 2017 DPR telah memutuskan RUU ini dibahas oleh Komisi VIII, dan pada November 2017 Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) mulai memfasilitasi forum KP-K/L untuk pembahasan RUU.
Pembahasan RUU selanjutnya di Komisi VIII DPR RI juga melibatkan berbagai pihak, misal dengan Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan, Pakar Gizi Masyakarat dan Sumber Daya Keluarga, pakar hukum pidana, tokoh agama di masing-masing agama, dokter, psikolog, dan lainnya.
RUU P-KS masih harus digodok. Saat ini jumlah pasal dalam draft RUU ini masih mengalami beberapa perubahan. Di awal draft RUU terdiri dari 15 bab dan 184 pasal (disusun oleh Komnas Perempuan dan Forum Penyedia layanan, dan komisi III DPD RI), kemudian menjadi 15 bab dan 152 pasal (disusun Baleg DPR RI). Terakhir menjadi 13 bab dan 52 pasal (disusun oleh tim pemerintah leading sector, KPPPA).
Ada yang menganggap RUU ini pro perzinaan serta tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Menurut Anda?
Apabila ada yang menganggap RUU ini pro-zina tentu suatu pendapat yang keliru karena tidak ada satupun agama yang membolehkan zina. Padahal RUU ini telah dibahas dengan para tokoh agama. Perihal zina sendiri telah diatur oleh pasal yang lain.
Misal ada yang berpendapat bahwa RUU ini pro LGBT, free-sex, dalam RUU ini tidak mengatur ke arah sana. RUU ini mengatur kasus yang di dalamnya jelas ada tindak kekerasan seksual. Karena RUU P-KS ini bukanlah obat dari semua problem dari permasalahan yang ada di Indonesia. Bahkan ada salah satu dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung yang memuji RUU P-KS ini, karena dibuat dengan berbagai perspektif, korban, pelaku, pengada layanan, dan lain-lain.
Oleh karena itu, penting untuk membaca draft RUU yang terakhir. Dalam draft RUU P-KS ada 9 jenis usulan tindak pidana: (1) Pelecehan Seksual; (2) Exploitasi seksual; (3) Pemaksaan Kontrasepsi; (4) pemaksaan aborsi; (5) Perkosaan; (6) Pemaksaan perkawinan; (7) Pemaksaan pelacuran; (8) Perbudakan seksual; (9) Penyiksaan seksual.
Mengapa RUU P-KS ini penting?
Dahulu, kalau ada kasus pemerkosaan yang dikejar adalah pelaku tanpa memikirkan korban, padahal pemulihan korban sangat penting. Di RUU P-KS ini, dibahas ada 6 elemen kunci yang dimulai dari pencegahan, definisi dan jenis tindak pidana, hukum acara pidana, ketentuan pidana, pemulihan, serta pemantauan.
Bahkan ada restitusi yaitu uang yang diberikan oleh pelaku kepada korban untuk melanjutkan hidup. Karena dalam kasus kekerasan seksual, perempuan rentan tertular penyakit seksual. Oleh karenanya harus berobat setiap bulan dan itu pasti mengeluarkan biaya, Juga biaya pemulihan psikis korban.
Pihak Pemerintah yang terkait dengan RUU ini banyak, misal dari segi pencegahan, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Bahkan penting juga diperhatikan terkait infrastruktur atau sarana. Misal di rumah yang hanya memiliki satu ruangan kemudian suami isteri melakukan hubungan seksual dan dilihat oleh anaknya rentan diikuti oleh anak tersebut.
Menurut Anda, apa pandangan Islam terkait RUU P-KS ?
Pandangan Islam sendiri terhadap RUU P-KS ini diantaranya; RUU P-KS ini sangat menjunjung tinggi keadilan terhadap korban, hal ini sangat sesuai dengan ruh Islam sebagai agama pendukung keadilan.
Ada 5 alasan mengapan RUU P-KS ini penting untuk disahkan: (1) Dar’ul mafasid (menolak kemafasadan); (2) jalbul masholih (menarik kemaslahatan); (3) nahyil munkar (mencegah kemunkaran); (4) hifdzul ‘irdhi (menjaga martabat kemanusiaan); (5) Hifdzun nasl (melindungi keturunan).
Selain itu, bagaimana kondisi perempuan di Indonesia ?
Setiap tahun Komnas perempuan mendapat data dari para mitra terkait kekerasan seksual. Hasil kajian Komnas perempuan menemukan dalam rentang waktu 10 tahun (2001-2011) rata-rata setiap harinya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut BPS 2016, 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan. Ini tentu merupakan jumlah yang banyak. Dari semua laporan yang diterima oleh Komnas perempuan, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi 15 jenis.
Dari sisi hukum yang ada, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hanya diatur pasal tentang pemerkosaan dan pencabulan.
Definisi pemerkosaan sendiri adalah adanya penetrasi yang dilakukan penis ke vagina. Padahal yang terjadi tidak hanya pemerkosaan, misal memasukkan penis ke dalam mulut, memasukkan benda-benda tajam/tumpul ke dalam vagina/anus, seperti garpu, dll.
Dengan hukum yang ada, kasus seperti ini menjadi cacat hukum. Dan kekosongan ini menyebabkan pelaku bebas dari jeratan hukum dan korban tidak mendapat keadilan dan pemulihan.[]