Mubadalah.id – Pada 1955, sejarah mencatat satu peristiwa penting dalam hubungan keilmuan Indonesia dan dunia Islam. Imam Besar Al-Azhar, Abdurrahman Taj, datang ke Indonesia atas undangan Muhammad Natsir. Di antara sejumlah agenda kunjungannya adalah ke Madrasah Diniyah Putri di Padang Panjang yang dipimpin Rahmah el-Yunusiyah.
Saat itu, Al-Azhar universitas Islam tertua dan paling berpengaruh bahkan belum memiliki bagian khusus untuk perempuan. Namun Abdurrahman Taj mendapati sebuah madrasah putri di Indonesia yang sudah jauh lebih maju, tertata, dan dipimpin oleh seorang perempuan ulama yang visioner.
Beliau bukan hanya kagum, tetapi tercengang. Indonesia, negeri yang sering mereka anggap belum memiliki pengaruh dalam Islam, justru menjadi pelopor pendidikan Islam perempuan pertama.
Kekaguman itu tidak berhenti di ruang tamu. Pada Juni 1957, Rahmah el-Yunusiyah berangkat ke Timur Tengah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia memenuhi undangan khusus Imam Besar Al-Azhar.
Dalam sidang senat luar biasa, Universitas Al-Azhar menganugerahkan kepadanya gelar kehormatan syekhah—pertama kalinya dalam sejarah mereka gelar setara syekh mereka berikan kepada seorang perempuan.
Penghargaan ini adalah pengakuan resmi dari pusat otoritas ilmu Islam dunia bahwa seorang perempuan Indonesia tidak hanya layak memimpin lembaga pendidikan. Tetapi juga layak menyandang gelar ulama tertinggi.
Buya Hamka mencatat bahwa Madrasah Diniyah Putri memberikan pengaruh besar kepada Al-Azhar untuk membuka Kulliyatul Lil Banat, fakultas khusus perempuan pada 1962.
Artinya, apa yang Rahmah el-Yunusiyah bangun di Padang Panjang bukan hanya mendidik perempuan Indonesia. Tetapi ikut mengubah arah kebijakan institusi keagamaan terbesar di dunia Islam.
Sebelum kembali ke tanah air, Rahmah el-Yunusiyah mengunjungi Suriah, Lebanon, Yordania, dan Irak. Kehadirannya mendapatkan sambutan dari tokoh-tokoh penting di kawasan Timur Tengah. []







































