Mubadalah.id – Muktamar Pemikiran NU ke-2: Imagining the Future Society resmi ditutup, pada Minggu, 3 Desember 2023, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, siang.
Muktamar Pemikiran NU ke-2 menghasilan sebelas hasil pemikiran. Berikut 11 pemikiran hasil muktamar NU ke-2:
Pertama, muktamar ini tidak punya pretensi politik untuk terlibat dalam politik dukung-mendukung dalam konteks Pemilu 2024. Gejala dukung-mendukung yang terlalu menguasai percakapan publik menjelang Pemilu 2024 saat ini justru kurang sehat. Perhatian publik terhadap platform yang dibawa oleh masing-masing kandidat cenderung minimal.
Kedua, muktamar ini dengan sengaja disebut sebagai “muktamar pemikiran” karena kami sadar bahwa aspek pemikiran inilah yang kurang mendapatkan porsi cukup dalam percakapan publik saat ini. Percakapan publik hari-hari ini kerap dilakukan secara instan, emosional, cepat tetapi sekaligus dangkal di ruang-ruang media sosial.
Ketiga, perlunya terus mengusahakan adanya ruang percakapan yang lebih mendalam dan serius tentang pelbagai masalah yang dihadapi oleh bangsa ini, di tengah-tengah pendangkalan komunikasi dan pemiskinan ide karena munculnya komunikasi baru melalui media sosial.
Tema Masyarakat
Keempat, perlunya membawa kembali tema tentang “masyarakat” ke tengah-tengah percakapan publik, melihat adanya tantangan-tantangan, bahkan ancaman terhadap lembaga masyarakat itu sendiri, termasuk lembaga keluarga.
Kelima, bagaimana bentuk “masyarakat” ini di masa depan tidak bisa kita rumuskan dalam bentuk yang terlalu “rigid” sehingga bisa merosot menjadi sebuah ideologi yang malah berbahaya. Bentuk masyarakat ini harus menjadi tema terbuka yang semua pihak percakapkan. Dan bentuk masyarakat itupun, jika akhirnya berhasil mereka rumuskan, harus merupakan “bentuk yang terbuka” (katakan: open society), bukan tertutup yang meng-eksklusi yang lain.
Keenam, meskipun demikian, haruslah ada nilai-nilai yang mendasari bentuk masyarakat apapun yang akan dibayangkan di masa depan. Lima nilai yang dirumuskan dalam “mabadi’ khaira ummah” (yaitu kejujuran, amanah dan memenuhi janji, keadilan, kerjasama, dan istiqamah/konsistensi) harus menjadi dasar dari bentuk masyarakat apapun yang dibayangkan di masa depan.
Ketujuh, apapun bentuk masyarakat yang akan mereka rumuskan di masa depan itu, kedudukan utama haruslah kita berikan kepada manusia. Masyarakat yang mereka bayangkan di masa depan adalah masyarakat manusia, dan karena itu manusia haruslah menempati posisi sentral (human centered society). Segala upaya dan tendensi yang berujuang kepada pemerosotan derajat manusia (dehumanisasi) haruslah kita tolak.
Kedelapan, meskipun ini adalah masyarakat yang berpusat pada manusia, ini tidak berarti bahawa aspek-aspek ekologis harus kita abaikan. Masyarakat manusia jelas tidak bisa tegak jika tidak ada habitat, termasuk habitat fisik dan alam, yang sehat. Karena itu spiritualitas ekologis adalah dimensi penting dalam konstruksi masyarakat di masa depan.
Tidak Perlu Takut
Kesembilan, perkembangan-perkembangan yang begitu cepat dalam bidang kecerdasan buatan perlu terus kita cermati. Perkembangan-perkembangan ini tidak perlu kita curigai, apalagi takuti. Karena adanya unsur ilahiah dalam diri manusia. Dan karena kemuliaan derajat yang Allah SWT berikan kepadanya, manusia akan bisa mengarahkan perkembangan dalam kecerdasan buatan untuk kemanfaatan.
Meskipun ada kapasitas dalam hidup manusia untuk melakukan kejahatan, tetapi kapasitan kebaikan jelas lebih dominan kepadanya. Karena itu, perkembangan kecerdasan buatan pada akhirnya adalah salah satu perkembangan saja dalam jenis alat-alat hasil rekayasa manusia. Hal ini untuk mengatasi sejumlah masalah yang ia hadapi. Pada awal dan akhirnya, manusia lah yang menduduki posisi utama.
Kesepuluh, selain berbasiskan mabadi’ khaira ummah yang sudah pernah dirumsukan oleh Kiai Mahfudz Shiddiq dahulu, apapun bentuk dan bayangan tentang masyarakat di masa depan, ia haruslah masyarakat yang dilandaskan pada sejumlah visi ini: keterbukaan, keadilan, penghormatan kepada keragaman, akhlak mulia, pentingnya keluarga dan pengasuhan anak, pentingnya pendidikan anak dalam keluarga sebagai basis awal penanaman nilai-nilai mulia, dan kesetaraan yang tidak bertentangan dengan masqashid al-shari’ah atau visi universal agama.
Kesebelas, sikap kami terhadap modernitas, modernisasi, dan perkembangan sosial adalah bukan menolak secara total (rejeksionis) dan bukan pula menyerah kalah kepada perkembangan itu. Kami hadir secara aktif untuk merumuskan sikap terhadap perkembangan itu. Dan kami hendak berubah dengan “syarat-syarat” yang kami kehendaki dan tentukan sendiri.