Pak Marzuki Wahid (depan berdiri) tengah membacakan monolog dalam haul Gus Dur Ke-10 di Cirebon, tepatnya di Aula Insitut Studi Islam Fahmina pada 16 Januari 2020 kemarin.
Entah mengapa saya ingin sekali membuka tulisan ini dengan mengutip kata-kata Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi bahwa “segala tabu tidak menjadi alasan bagi Gus Dur untuk tidak melakukan hal yang menurutnya benar.”
Alasan saya mengutip pernyataan tersebut, karena akhir-akhir ini sering sekali melihat seorang suami yang bersedia mengasuh anak-anaknya ketika istrinya sedang melakukan kepentingan lain.
Tentu ini bukan sesuatu yang istimewa, mengingat tugas pengasuhan anak itu adalah tugas istri dan suami. Tetapi tidak jarang, justru laki-laki yang berbagi peran dengan istri dalam urusan domestik serta pengasuhan anak ini mendapatkan ejekan dari orang lain. seperti disebut dalam judul lagu tarling Pantura Laki Dadi Rabi, suami takut istri atau yang lebih kejam lagi ialah dunia terbalik.
Loh kok terbalik? Aah itu perasaanmu saja mereun…
Selain cerita Mba Alissa tentang Gus Dur yang membuat anak-anak muda teriak karena merasa kagum dengan sosok Gus Dur, dalam kegiatan Haul Gus Dur ke-10 yang diselenggarakan di Cirebon pada tanggal 16 Januari 2020 di ISIF juga menyuguhkan beberapa pemandangan yang istimewa. Salah satunya ialah ketika Pak Marzuki Wahid maju ke depan untuk membacakan monolog imaginer tentang Gus Dur dengan Buya Husein.
Tentu isi monolognya sangat keren, dan yang lebih keren lagi beliau selama berada di depan ditemani oleh putrinya yang bernama Nasywa atau biasa dipanggil Chua. Gadis cilik yang baru berusia tiga tahun ini, dengan santainya makan jaburan yang disediakan oleh panitia pelaksana haul Gus Dur. Ia duduk manis di samping bapaknya yaitu Pak Marzuki Wahid.
Bagi sebagian orang, mungkin pemandangan ini sangat biasa saja. Tetapi bagi saya ini luar biasa. Chua yang tengah ditinggalkan oleh bundanya untuk kursus bahasa inggris di Pare beberapa minggu yang lalu, di asuh oleh beberapa teteh-teteh asal Garut yang kuliah di ISIF Cirebon dan juga oleh bapaknya.
Ketika Pak Marzuki ada di rumah, ia senantiasa menemani anak-anaknya untuk bermain. Mungkin ini adalah salah satu cara Pak Marzuki meneladani perilaku baik yang telah dicontohkan oleh Gus Dur selama hidupnya.
Mengingat bagaimana cara Gus Dur menjadi mitra yang sangat baik bagi istrinya Ibu Sinta Nuriyah, serta menjadi bapak yang hangat bagi keempat putrinya adalah dengan beliau senantiasa melakukan hal-hal yang bagi sebagian orang itu tidak pantas dilakukan oleh seorang suami.
Misalnya, Gus Dur bisa dan terbiasa melakukan urusan domestik seperti mencuci, memasak dan menggantikan popok. Gus Dur juga tidak melarang istrinya untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah begitupun anak-anaknya. Mereka senantiasa diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya masing-masing.
Selain mendengarkan lagu tarling berjudul Remang-Remang yang sering dinyanyikan Mbak Diana Sastra, cerita kehidupan rumah tangga Gus Dur juga benar-benar membuat saya merasa ambyar.
Dengan begitu, saya yakin hal ini sangat baik sekali untuk dijadikan teladan bagi orang-orang yang hendak menjadi seorang suami ataupun seorang ayah. Hal ini juga sangat mubadalah sekali. Istri maupun suami punya tanggung jawab yang sama dalam mewujudkan keluarga yang Sakinah, Mawadah dan Rahmah.
Selain itu, jujur sebagai anak muda yang masih menjomblo tentu hal ini sangat memotivasi saya untuk berdo’a dan berusaha, semoga mendapatkan pendamping hidup yang mau diajak sebagai mitra, dan mau berbagi peran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Ehehehe… Peace
Jadi gimana, setelah membaca ini sudah cukup membuatmu merasa sebagai sobat ambyar bukan? Jika tidak, itu sangat wajar. Karena tidak ada yang paling ambyar kecuali dengerin lagu “Pamer Bojo” ciptaannya Didi Kempot. Salam cendol dawet…!