Sebab banyaknya pemberitaan pemerkosaan, seorang suami tiba-tiba sangat protektif. Dia melarang istrinya keluar rumah kecuali dia atau mahram mendampinginya. Dia juga melarang istrinya bersosialisasi dengan teman laki-laki. Si suami mengambil dalil ayat al-Qur’an surat an-Nisa 34. Lalu, istrinya bertanya kepada saya apakah Islam mengajarkan suami boleh melarang istri bergaul, jika sudah menikah, suami boleh melarang istri bersosialisasi dengan siapapun? Inilah jawaban saya kepadanya.
Islam bukan agama pembrangus kebebasan. Justru, Islam sangat menjunjung tinggi dan melindungi kebebasan. Maqashid asy-Syari’ah (tujuan dasar syariat Islam) adalah melindungi kebebasan beragama (hifdh ad-din), hak atas hidup (hifdh an-nafs), kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql), hak atas keturunan dan kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl), dan hak atas properti (hifdh al-maal).
Pernikahan tidak boleh menghalangi dan mengurangi kebebasan ini. Justru pernikahan harus berdasar pada Maqashid asy-Syari’ah. (Baca: Penting Nggak Sih Menikah? Meluruskan Makna Pernikahan Perspektif Mubadalah)
Jika sudah menikah, hak-hak seseorang memang akan terbatas oleh hak pasangannya, baik laki-laki maupun perempuan. Karena dalam keluarga, segala keputusan suami dan istri harus selalu didasarkan pada musyawarah untuk menemukan kesepakatan (ittifaq) atas dasar kesukarelaan (an–taradlin).
Jadi, salah besar suatu pemahaman bahwa jika orang sudah menikah tidak boleh bergaul dengan orang lain. Ini tidak mungkin terjadi. Pergaulan adalah kebutuhan dan keniscayaan sebagai makhluk sosial. Yang tidak boleh terjadi dalam pergaulan adalah selingkuh, zina, perkosaan, pelecehan seksual, kekerasan seksual, dan lain-lain.
Itu adalah tindakan-tindakan yang merusak bangunan perkawinan. Islam melarang semua itu. Larangan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Tapi sekali lagi, tidak ada ajaran Islam yang melarang suami atau istri untuk bergaul dengan orang lain.
Tafsir Al-Qur’an Surat an-Nisa
Sementara al-Quran surat an-Nisa ayat 34 yang menjadi dasar Si Suami untuk melarang istrinya sebenarnya berbicara tentang kepemimpinan dalam rumah tangga, bukan ayat pelarangan pergaulan.
Sababun nuzul ayat ini adalah ada seorang suami yang menampar istrinya sampai parah, hingga sang istri tidak terima. Akhirnya sang istri bersama ayahnya mengadu ke Rasulullah SAW. Lalu, Rasul pun menjawab agar suami yang memukul istrinya itu dapat balasan kembali setimpal (qishash).
Begitu sang Ayah pamitan mau mukul menantunya, lalu turun ayat ini yang menjelaskan bahwa laki-laki pada saat itu adalah pemimpin (keluarga) atas perempuan, karena dua hal, yakni memiliki kelebihan, dan memiliki kemampuan finansial.
Jika melihat asal turunnya ayat di atas, berarti ingin menegaskan bahwa suami tidak boleh melakukan kekerasan (KDRT) terhadap istrinya, karena pada saat itu suami adalah pemimpin. Di mana, pemimpin seharusnya mengayomi, menjaga, serta melindungi keluarga. Bukan melakukan kekerasan.
Ayat ini juga merupakan ayat khabari (informatif), bukan ayat insya’i (imperatif). Jadi, hanya menginformasikan bahwa al-Qur’an merespons tindakan KDRT yang dilakukan suami dengan memberi kabar bahwa laki-laki adalah pemimpin. Tidak boleh melakukan KDRT.
Dalam ayat ini, laki-laki yang punya kelebihan dan kemampuan itu hanya sebagian saja, karena itu dia berhak jadi pemimpin. Sementara sebagian laki-laki yang lain tidak memiliki kelebihan dan kemampuan finansial. Ini artinya kelebihan dan kemampuan dimiliki oleh perempuan (istrinya), maka dengan pemahaman kebalikan dari ayat ini, perempuan bisa jadi pemimpin keluarga bila memiliki kelebihan dan kemampuan finansial.
Lalu, terusan ayat ini menjelaskan tentang perempuan yang shalihah adalah orang yang taat kepada Allah (qanitat), memelihara diri dan harta suami pada saat tidak suami tidak ada (hafidhat). Dalam pemahaman mubadalah, demikian juga laki-laki yang sholih adalah orang yang taat kepada Allah, memelihara diri dan harta istri pada saat suami tidak ada (hafidh). Artinya, suami dan istri harus saling menjaga diri, berbuat baik, dan saling melindungi satu sama lain untuk menciptakan keluarga sakinah.
Bukan sebaliknya, melarang istri bergaul dengan siapapun, sementara dirinya (suami) bergaul seenaknya dengan siapapun. Ini cara pandang dan sikap yang tidak adil. Kita harus saling memberikan kebebasan, tetapi tidak boleh mengoyak keutuhan rumah tangga. Karena, Islam mengajarkan keadilan untuk laki-laki dan perempuan sekaligus.[]