• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Sulitnya Menjadi Pemimpin Perempuan di Lingkungan yang Toxic

Melalui pengalaman ini sebenarnya saya hanya ingin bercerita dan berefleksi, bahwa cara pandang patriarki ini bukan hanya berdampak terhadap terhalangnya peran perempuan di berbagai ruang dan kesempatan, tapi berdampak juga terhadap kesehatan mentalnya.

Mela Rusnika Mela Rusnika
26/03/2021
in Personal
0
Perempuan

Perempuan

141
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Selama empat bulan terakhir ini saya diamanahi memimpin kelompok kecil yang terdiri dari tiga laki-laki dan empat perempuan. Di sini saya merasa harus memiliki kelapangan hati untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi, tetapi masalah yang idealnya mudah diurai, menjadi sulit karena terkungkung dengan adanya budaya patriarki.

Stigma tentang perempuan bukan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan dan menjadi seorang pemimpin itu benar-benar masih terjadi, bahkan di lingkungan masyarakat modern, di mana mereka concern dan aktif dalam menyuarakan hak-hak asasi manusia.

Ketika saya mendengar pernyataan bahwa tidak ada laki-laki yang benar-benar mengerti dan memahami tentang feminisme itu mungkin benar adanya, salah satunya karena mereka tidak memiliki pengalaman biologis dan sosiologis sebagai perempuan. Dan mungkin juga disebabkan karena lingkungan toxic yang memandang perempuan tidak seharusnya berperan penting dalam berbagai ruang.

Pada saat menjalani itu semua, saya merasa sangat lelah hingga memiliki beragam gejala stres karena dianggap tidak memiliki kapasitas menjadi seorang pengambil keputusan. Saya kira apa yang yang saya alami bukan menjadi masalah, jika karena alasan tidak mempunyai kemampuan, tetapi hal yang saya alami terjadi lebih karena saya tidak diberikan ruang dan kesempatan untuk melakukannya.

Ketika saya menginstruksikan sebuah pekerjaan pun menjadi tidak valid karena teman laki-laki saya merasa tidak nyaman dipimpin perempuan. Dalam konteks isu saya, perempuan hanya diperuntukkan untuk mengerjakan pekerjaan yang identik dengan menulis sebagai sekretaris dan mengelola keuangan. Mereka beralasan karena tulisan perempuan dianggap lebih rapi dan mudah dibaca dibandingkan tulisan laki-laki.

Baca Juga:

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Pemikiran seperti ini datang dari mana lagi kalau bukan dari budaya patriarki, baik itu tafsir yang bias gender maupun lingkungan toxic yang masih dipertahankan secara turun temurun. Nilai-nilai agama pun menurut saya menjadi bias kalau tidak memberikan ruang dan kesempatan yang sebanyak-banyaknya kepada perempuan. Hal ini seperti sengaja dibentuk oleh lingkungan yang melanggengkan superioritas.

Jika dalam sebuah pekerjaan yang memiliki hierarki mungkin ini merupakan suatu yang wajar karena berkaitan dengan tanggung jawab. Namun yang saya alami menjadi tidak wajar, karena sebagai pemimpin kelompok keberadaan saya ditiadakan dengan alasan berjenis kelamin perempuan, bahkan untuk hal-hal yang bersifat koordinasi dan komunikasi sekali pun.

Kondisi yang saya alami ini menggambarkan bahwa keterlibatan perempuan untuk menentukan hal-hal strategis saja masih sulit, bahkan hanya di dalam kelompok kecil. Padahal jika dilihat dari sisi kemampuan, saya kira bisa menjalaninya. Ini menjadi salah satu bukti juga kalau budaya patriarki itu seperti meniadakan kemampuan perempuan dalam bekerja.

Ketika saya mencoba melawan budaya itu ternyata berdampak juga terhadap kesehatan mental, salah satunya stres yang berkepanjangan. Misalnya saya mencoba bersikap layaknya seorang pemimpin, tapi rekan kerja saya mendebat hanya karena saya perempuan. Dalam hal ini saya dituntut harus memiliki kemampuan dalam mengelola stres karena pekerjaan, juga karena salah satu teman kerja yang toxic.

Memang dari ketujuh orang ini hanya satu yang lekat dengan pemikiran patriarki, namun cukup berdampak. Hal ini karena saya cukup concern dengan kesetaraan, sedangkan dia belum aware dengan isunya tapi sering membicarakan hak-hak asasi manusia.

Melalui pengalaman ini sebenarnya saya hanya ingin bercerita dan berefleksi, bahwa cara pandang patriarki ini bukan hanya berdampak terhadap terhalangnya peran perempuan di berbagai ruang dan kesempatan, tapi berdampak juga terhadap kesehatan mentalnya.

Meskipun jika berbicara kesehatan mental itu identik dengan cara mengelola emosi diri, tapi perspektif patriarki ini muncul sudah sejak lama dan masih tetap bertahan. Isu patriarki ini telah menjadi isu sosial dan global yang penting untuk dibicarakan. Jadi dampak patriarki terhadap kesehatan mental dan sosial seseorang atau perempuan telah menjadi masalah yang perlu diselesaikan bersama.

Saya kira zaman yang terus berkembang dan semakin modern ini perlu diimbangi dengan orang-orang yang mulai aware dengan kesetaraan. Ini juga karena kita terlahir sebagai generasi milenial yang sedang berada dalam masa transisi.

Masa transisi yang dimaksud merujuk kepada mereka yang belajar tentang kesetaraan, tapi tidak menemukan lingkungan yang cocok dengan apa yang dipelajari. Ini juga karena orang-orang yang belajar kesetaraan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan mereka yang tidak belajar.

Oleh sebab itu, saya yang telah belajar tentang kesetaraan kemudian bertemu dengan teman kerja yang tidak aware dengan kesetaraan, berdampak terhadap kesehatan mental. Bagaimanapun saya berbicara sebagai seorang pemimpin, namun tetap tidak didengar bahkan menimbulkan perdebatan yang keduanya mempertahankan idealismenya masing-masing.

Dari peristiwa ini pun saya berulang kali melakukan refleksi hingga membayangkan tokoh-tokoh kesetaraan yang mendapat kesempatan menjadi pemimpin di masa lalu. Betapa mereka sangat bekerja keras agar perempuan di masa yang akan datang mendapatkan hak yang seharusnya didapatkan dalam berbagai kesempatan. Dan inilah yang perlu kita perjuangkan juga. Sebuah  tantangan dan hambatan dalam melibatkan diri sebagai perempuan di ranah sosial. []

Tags: feminismeGenderkeadilanKesehatan MentalKesetaraanpemimpin perempuanperempuan
Mela Rusnika

Mela Rusnika

Bekerja sebagai Media Officer di Peace Generation. Lulusan Studi Agama-Agama UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Part time sebagai penulis. Tertarik pada project management, digital marketing, isu keadilan dan kesetaraan gender, women empowerment, dialog lintas iman untuk pemuda, dan perdamaian.

Terkait Posts

Kurban

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

2 Juni 2025
Pandangan Subordinatif

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

31 Mei 2025
Joglo Baca SUPI

Joglo Baca SUPI: Oase di Tengah Krisis Literasi

31 Mei 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Difabel di Dunia Kerja

Menjemput Rezeki Tanpa Diskriminasi: Cara Islam Memandang Difabel di Dunia Kerja

30 Mei 2025
Memahami AI

Memahami Dasar Logika AI: Bagaimana Cara AI Menjawab Permintaan Kita?

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID