Mubadalah.id – Susahnya mengusut kasus dan korban pelecehan seksual di negeri sendiri sudah seperti umpatan eh ungkapan “sudah jatuh tertimpa tangga.” Seorang korban pelecehan seksual yang gagah berani mencari bukti dan keadilan saja masih bisa dikalahkan.
Apalagi bagi korban pelecehan seksual yang hanya diam. Korban pelecehan seksual memilih untuk diam bukan karena tanpa alasan. Mereka diam karena kemungkinan pertama ia takut pada pelaku. Kemungkinan kedua karena ia takut nama baiknya akan tercoreng. Ketiga karena ia takut pelaporannya tidak digubris lalu sia-sia. Serta kemungkinan keempat dan seterusnya.
Akhir-akhir ini film di Indonesia banyak yang sudah mewakili isu-isu tentang kekerasan seksual. Mengedukasi para remaja dan khalayak umum untuk selalu mewaspadai tidak kejahatan tersebut. Salah satunya yakni film yang baru saja saya tonton, yakni “Penyalin Cahaya”. Film Penyalin Cahaya merupakan film garapan dari Wregas Bhanutedja yang sudah rilis dari Oktober tahun lalu, dan sudah muncul di Netflix sejak 13 Januari 2022.
Awalnya saya menduga film ini merupakan film horor, sampai sepersepuluh menit pertama saya masih bertanya-tanya “kira-kira setannya akan muncul di menit ke berapa?”. Ya, beginilah kalau menilai film hanya dari covernya saja. Namun kesan “horor” yang saya imani tidak sepenuhnya salah. film ini cukup menggambarkan kondisi betapa horornya nasib para korban pelecehan seksual di negara ini.
Shenina Cinnamon, berhasil memerankan sebagai salah satu korban pelecehan seksual yang bersuara lantang. Dia berperan menjadi Sur, panggilan dari Suryani, seorang mahasiswi berprestasi dan juga aktif di kegiatan Teater. Sur malang yang tengah kehilangan beasiswanya. Hal itu dikarenakan foto mabuk saat menghadiri pesta kemenangan grup Teaternya telah terunggah di akun media sosial dirinya sendiri.
Saat mengusut siapa dalang dari pemuatan foto tersebut ia malah menemukan hal-hal yang dirasa sangat janggal. Tidak diduga sama sekali sebelumnya, ternyata Sur merupakan korban pelecehan seksual dari senior teaternya. Sur terus mencari bukti-bukti dengan kesadaran penuh dengan dibantu teman masa kecilnya yang bekerja di foto kopian kampus. Sur berhasil mengumpulkan beberapa bukti awal.
Namun langkahnya ketika melaporkan ke suatu dewan kode etik untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut, justru dewan tersebut membocorkan rahasia identitas pelapor (Sur) serta memviralkan dokumen pelaporan yang dibuat oleh Sur. Sehingga alat bukti tersebut justru menjadi bumerang bagi Sur, ia tercekal dan akan dilaporkan balik oleh pelaku atas tuduhan pencemaran nama baik serta sudah melakukan penyadapan yang ilegal.
Akhirnya, Sur menyetujui permintaan pelaku. Alih-alih mendapat perlindungan, Sur malah disuruh membuat video permintaan maaf di depan publik, bahwa dirinya telah menuduh pelaku tanpa bukti. Saat sudah hampir menyerah, para korban pelecehan seksual dengan pelaku yang sama mereka baru menyadari pentingnya speak up. Salah satu dari korban sudah pernah melakukan pelaporan sebelumnya, namun seperti biasa hal tersebut dianggap sebagai halusinasi atau kesalahan dari korban sendiri. Salah satu dialog yang memang terasa nyata sesuai kenyataan.
Mereka bersatu lalu bekerja sama untuk mencari bukti yang lebih kuat. Sayangnya, pelaku selalu mempunyai kuasa yang lebih tinggi sehingga kasus pun tidak muncul di permukaan sama sekali. Seperti dalam adegannya dengan memunculkan petugas fogging seraya berseru “Menguras, menutup, mengubur”. Artinya ketika ada pelaporan dari korban kekerasan seksual, kasus tersebut akan buru-buru lenyap, ditutup, lalu dilupakan.
Parahnya ketika seorang korban yang justru dilaporkan balik dengan pencemaran nama baik, yang tidak lain merupakan karena timpangnya relasi kuasa. Saya tegaskan bahwa film ini hendaknya ditonton dengan kesadaran penuh, karena pesan-pesan dalam film ini, tentang betapa susahnya mencari keadilan bagi korban pelecehan seksual tidak disampaikan secara gamblang. Diperlukan konsentrasi yang cukup tinggi agar tidak tertinggal dengan alur cerita.
Jika hanya diniatkan untuk melihat hiburan, mungkin fim ini tidak akan cukup bisa memenuhi permintaan, karena menurut saya film ini sama sekali bukan termasuk film hiburan yang menyuguhkan adegan komedi. Justru kalian akan diajak berpikir bagaimana kasus pelecehan tersebut dapat terungkap. Disayangkan pula, karena dalam film ini ada beberapa potongan cerita yang tidak tuntas dan pemirsa dipaksa untuk merenungkannya secara mandiri, dan menuntaskannya. Selamat menonton! []