Mubadalah.id – Perayaan dan seremonial Hari Ibu, atau Hari Pergerakan Perempuan Indonesia telah sepekan berlalu. Namun semangat dan kegelisahanku akan makna perayaan hari Ibu tersebut masih membekas di hati. Ada pergulatan batin sebagai ibu bekerja yang terus menghantui hari-hariku, dari dulu hingga kini. Ia seakan mengendap abadi dalam ingatan.
Konon, bayang ketakutan itu karena kita semua adalah anak kandung patriarki, yang suka tidak suka, harus siap menjalani dengan segala konsekuensi. Entah berapa kali, aku harus patah hati sebagai ibu yang ketika di tengah pekerjaan menumpuk, lantas tiba-tiba anak sakit. Sudah tiga kali, anak keduaku masuk rumah sakit, dengan diagnosa berbeda. Tersiram air panas hingga sebagian pahanya melepuh, lalu sakit typus dan DBD.
Ada situasi-situasi tertentu yang menuntutku untuk bersikap profesional sebagai perempuan bekerja. Tetapi di sisi lain, ada nurani keibuanku yang juga mendorong agar memusatkan perhatian sepenuhnya untuk anak dan keluarga. Sehingga kadang aku lupa pada tubuh diri sendiri, lantas mengalami kelelahan yang teramat sangat.
Menilik Kembali Budaya Patriarki
Budaya patriarki terjadi karena adanya dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Kelompok pertama tidak saja berkuasa secara fisik terhadap kelompok kedua, tetapi menentukan ideologi budaya yang melanggengkan kekuasannya. Mereka mengkonstruksi nilai, norma, dan moralitas yang mempertinggi kedudukan mereka dalam komunitas yang mereka kuasai.
Hal ini sebagaimana penjelasan Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam (2002). Ia menambahkan bahwa pada mulanya kekuasaan ditegakkan berdasarkan pada kekuatan fisik. Misalnya laki-laki terhadap perempuan, laki-laki dewasa terhadap anak-anak.
Selanjutnya laki-laki mengkonstruksikan kekuasaan tersebut dalam sistem relasi dan interaksi kolektif sehingga perbudakan di antara mereka yang memiliki kekuatan fisik seimbang menjadi niscaya. Di kemudian hari, kekuasaan ini jauh melampaui batasan empat dinding rumah tangga, sehingga membentuk pola-pola relasi dan menetapkan posisi-posisi hirarki dalam konstruk budaya.
Konstruk budaya patriarki yang mapan secara universal dan berlangsung selama berabad-abad tidak lagi mereka pandang sebagai ketimpangan, bahkan diklaim sebagai fakta alamiah. Telah berabad-abad pula perempuan dan para budak harus menerima nasib bahwa mereka lahir untuk melayani kepentingan laki-laki dewasa yang berkuasa.
Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha mencairkan budaya patriarki. Oleh sebab itu kemunculan setiap agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang mendapat keuntungan dari budaya patriarki.
Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia. Kesadaran terjadinya penindasan terhadap perempuan inilah yang membuat tema patriarki menjadi salah satu persoalan yang paling besar yang tergugat oleh feminisme islam. Karena teranggap sebagai asal-usul dari seluruh kecenderungan misoginis. Yaitu kebencian terhadap perempuan yang mendasari penulisan-penulisan teks keagamaan yang bias kepentingan laki-laki.
Tentang Kodrat Perempuan Itu
Secara etimologis ini berkaitan dengan sistem sosial, di mana sang ayah menguasai semua anggota keluarganya yang membuat semua keputusan penting keluarga. Dalam sistem sosial juga keagamaan patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan, bahwa perempuan harus terkuasai bahkan dianggap sebagai harta milik laki-laki.
Sistem yang berdasarkan patriarki ini, biasanya mengasingkan perempuan di rumah. Maka dengan demikian laki-laki lebih bisa menguasai kaum perempuan. Sementara itu, pengasingan perempuan di rumah menjadikan perempuan tidak mandiri secara ekonomis, dan selanjutnya tergantung secara psikologis. Sehingga kadang-kadang sistem patriarki ini membolehkan perempuan aktif di dunia publik, tetapi dengan satu catatan ideologis. Jangan lupa dengan kodratmu sebagai perempuan yang di rumah, mengurus anak, suami dan keluarga.
Hal senada Erich Fromm tuturkan, yang menjelaskan tentang kecenderungan karakter tertentu yang muncul dari kecemasan utama perempuan, yaitu frustasi dan ketergantungan. Rasa takut akan tertinggal sendiri dalam hubungan seksual maupun emosional dan sosial. Lalu ketakutan akan menjadi tidak mandiri, teranggap menjadi ciri khas feminin.
Dalam hal ketergantungan ini bisa kita telusuri kembali kepada sesuatu yang kita anggap sebagai kodrat perempuan. Peran tradisional perempuan dalam budaya patriarkal manapun adalah rasa takut akan ketergantungan yang timbul tanpa mempedulikan peran seksualnya.
Gender dan Kapitalisme
Terlepas dari jerat budaya patriarki dan ketimpangan gender itu, kita juga jangan lupa ada peran kapitalisme di sana. Sebagaimana Nancy Fraser jelaskan dalam buku Feminisme Kritis: Gender dan Kapitalisme dalam Pemikiran Nancy Fraser karya Amin Mudzakkir (2022).
Nancy mengatakan bahwa dalam budaya patriarki yang teradopsi dalam sistem kesejahteraan selama era kapitalisme yang terkelola oleh negara, jawabannya adalah laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan menjadi pengasuh. Sehingga multiple burden atau beban berganda dalam hal perawatan keluarga lebih banyak menimpa pada perempuan.
Sementara berdasarkan Data BPS tahun 2023 menyebutkan bahwa ada 10,3 juta rumah tangga di Indonesia yang dikepalai oleh perempuan, atau sekitar 15,6 persen dari total keluarga Indonesia. Jika rata-rata anggota keluarga itu ada 4 orang, berarti ada sekitar 52 juta orang yang berada dalam tanggung jawab seorang kepala keluarga yang berjenis kelamin perempuan.
Melihat kondisi yang demikian, tidak tepat jika menyatakan bahwa para perempuan kepala keluarga menyalahi kodrat, melawan hukum Islam atau berada dalam dunia terbalik, sebagaimana yang pernah mucul dalam salah satu judul sinetron di stasiun tv swasta nasional.
Pada akhirnya, memaknai hari Ibu, atau Hari Pergerakan Perempuan Indonesia ini menjadi ruang refleksi bagiku, dan mungkin bagi seluruh perempuan lainnya di negeri ini. Entah berperan sebagai ibu bekerja, ibu rumah tangga, atau berperan keduanya, kita adalah sama.
Sama-sama perempuan yang tengah berjuang menaklukkan ketakutan-ketakutan dari bayang patriarki. Berjuang melawan lelah yang kerap menerpa tiba-tiba. Melawan rasa bersalah, karena tak cukup pandai mengelola amarah, dan melampiaskan secara membabi buta. Berjuang melawan kesakitan-kesakitan dari pengalaman biologis yang tak pernah mudah dan tak berkesudahan sampai di titik akhir kehidupan. []



















































