• Login
  • Register
Sabtu, 5 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Tips Memilih Pasangan Hidup Secara Ma’ruf

Dalam  memilih pasangan hidup, Islam telah menetapkan sejumlah prinsip dan pedoman yang jika kita ikuti akan menjamin kebahagiaan pernikahan

Anny Syukriya Anny Syukriya
09/11/2023
in Personal
0
Memilih Pasangan hidup

Memilih Pasangan hidup

583
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id– “Katakan pada mama, cinta lebih dari sekedar harta dan tahta,” demikian bunyi penggalan lagu  Cukup Sitti Nurbaya karya Dewa 19. Lagu ini membawa pesan menarik: kalau soal jodoh, kita harus maju. Artinya, masyarakat mempunyai hak dan kebebasan untuk menentukan “nasib” mereka, termasuk memilih pasangan hidup yang akan mempengaruhi kualitas hidup mereka selama bertahun-tahun.

Dalam  memilih pasangan hidup, Islam telah menetapkan sejumlah prinsip dan pedoman yang jika kita ikuti akan menjamin kebahagiaan pernikahan. Dalam bahasa agama, kita mengenal istilah kafa’ah atau proporsionalitas. Allah telah menganugerahkan kepada manusia kekuatan akal dan hati untuk mampu berpikir (memilih pasangan) secara wajar dan sesuai dengan tuntunan Islam.

Saat ini konsep kafa’ah telah berkembang luas, namun maknanya harus  proporsional agar kafa’ah tidak kehilangan fungsinya untuk mencapai keharmonisan dalam perkawinan.

Memperluas Makna Kafa’ah

Dalam kajian Humaidi Kh tentang Pergeseran Makna Kafa’ah dalam Pernikahan (2011), bahwa makna kafa’ah telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan makna. Perubahan yang terjadi sebenarnya tidak terlalu signifikan, hanya sekedar perluasan makna baru terkait perubahan waktu, tempat dan tujuan.

Dari segi agama, dahulu hanya “Islam” yang menjadi pilihan utama, namun kini maknanya telah berubah. Ada Islam modern, Islam liberal, Islam fundamentalis, Islam radikal, dan sebagainya. Silsilah atau aspek garis  keturunan yang berarti kebangsawanan mulai bergerak ke arah suku, budaya atau tradisi dan ke arah orang-orang yang mempunyai pendidikan yang setara.

Baca Juga:

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

Dari segi aset, ini berarti kekayaan dan  status sosial. Terakhir, kriteria cantik dan tampan lebih bersifat relatif atau subyektif. Selain pertimbangan fisik, pertimbangan lain seperti pekerjaan dan perilaku juga menjadi pendukung dalam faktor ini.

Quraish Shihab (Perempuan, 2018) menjelaskan bahwa para ulama terdahulu menekankan aspek kafa’ah dari segi agama dan nasab. Namun, kini ada lebih banyak penekanan pada kafa’ah dan kesetaraan, di samping  pandangan mengenai kehidupan/agama, serta budaya, pendidikan, dan usia.

Sejarah Munculnya Kafa’ah

Khoiruddin Nasution (Islam: Tentang Relasi Suami-Istri, 2011), setidaknya ada dua hipotesis yang dapat digunakan untuk memaknai kafa’ah secara benar. Pertama, teori M.M Bravvman yang menyatakan bahwa konsep kafa’ah sudah muncul sebelum Islam. Lebih tepatnya Bilal bin Rabah berencana menikah dengan adik Abdurrahman bin Auf. Selain itu, terdapat dua perkara perkawinan lain yang secara tegas menyebutkan unsur kafa’ah.

Kedua, teori Coulson dan Farhat J. menjelaskan bahwa konsep kafa’ah dimulai di Irak, tepatnya di Kufah, tempat tinggal Abu Hanifah. Menurut teori ini, konsep kafa’ah muncul karena kompleksnya masyarakat Irak akibat  urbanisasi.

Arus urbanisasi inilah yang menjadi awal munculnya berbagai etnis/suku di kalangan masyarakat Arab dan non-Arab yang baru masuk Islam. Agar tidak salah dalam memilih pasangan dalam berumah tangga, maka konsep kafa’ah sangatlah penting.

Khoiruddin melanjutkan, kemunculan konsep ini merupakan upaya untuk menjawab persoalan pluralisme, suku,  agama, bahasa, dan lain-lain. Oleh karena itu, penerapan kafa’ah sudah ada sejak zaman pra Islam.

Namun kemunculannya sebagai sebuah konsep dan teori berawal dari ijtihad para ulama Irak sebagai upaya penyelesaian permasalahan yang sangat plural demi keharmonisan dan kebahagiaan dalam kehidupan berkeluarga.

Standar kafa’ah dalam Imam madzhab adalah memberikan rincian mulai dari faktor agama (kesalehan dan ketakwaan), akhlak, pekerjaan, harta benda, kemandirian, keturunan, adat istiadat (termasuk baik adat istiadat setempat atau “adat istiadat yang berkaitan dengan kemajuan budaya atau ilmu pengetahuan) dan tidak cacat fisik.

Kafa’ah Dalam Agama dan Akhlak

Sebelum Islam masuk ke Jazirah Arab, masyarakat Arab sudah menganut konsep kafa’ah. Kita tahu mereka sangat menjunjung tinggi hubungan kelas. Hidup dalam masyarakat berbasis etnis sangatlah kuat. Oleh karena itu, pertimbangan garis keturunan (nasab) dan kesetaraan sosial menjadi faktor utama dalam menentukan kesetaraan dalam perkawinan.

Islam hadir dengan pencerahan berupa pandangan, aturan dan standar kebaikan. Ia hadir untuk menghapus tradisi-tradisi jahiliyah serta sekat sosial dalam hubungan bermasyarakat.

Status seseorang tidak lagi ditentukan oleh garis keturunan dan status sosial tetapi oleh standar ketakwaannya terhadap Tuhan (QS.al Hujurat:13)

Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa selain menikahkan Bilal bin Rabah dengan adik Abdurrahman bin Auf, Nabi juga menikahkan Zainab binti Jahsy, seorang gadis bangsawan, dengan Zaid bin Haritsah, salah satu mantan budak beliau yang dibebaskan.

Selanjutnya Fatimah binti Qais Al-Qurasyiyah, seorang janda diincar oleh tiga orang pria, Mua’wiyah bin Abu Sufyan bin Harb, Abu Jahm dan Usamah bin Zaid. Muawiyah adalah tokoh terpandang, sangat tampan namun miskin. Abu Jahm memiliki sifat sering memukuli istrinya.

Sedangkan Usamah bin Zaid mempunyai agama dan akhlak yang baik namun kulitnya hitam. Berdasarkan pilihan Rasulullah, Fathimah akhirnya menikah dengan Usamah.

Dengan demikian, jelas bahwa kafa’ah pada masa Nabi lebih menekankan pada kesetaraan agama dan akhlak. Prinsip nasab dan status sosial hanya sebagai syarat perkawinan, bukanlah sesuatu yang istimewa di hadapan Tuhan. Hanya derajat ketakwaan yang membedakan kualitas seseorang dengan yang lain.

Kafa’ah Sebagai Previlese Dalam Memilih Pasangan

Landasan teologis mengenai kafa’ah adalah hadits Abu Hurairah ra, yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Wanita dinikahi karena empat hal: karena agamanya, nasabnya, hartanya, dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kafa’ah mempunyai dua landasan. Yaitu landasan normatif (prioritas agama dan akhlak) dan landasan sosiologis (faktor garis keturunan, kekayaan dan keindahan fisik sebagai faktor pelengkap).

Pengaruh budaya Arab pra Islam dalam penerapan norma kafa’ah belum sepenuhnya hilang. Pertanyaan seputar bibit, bebet dan bobot masih terdengar hingga saat ini. Seperti keluarga pesantren yang menikah dengan sesama kerabat pesantren.

Kader-kader Muhammadiyah menikah dengan sesama Muhammadiyah atau Muhammadiyah dengan NU. Di dunia hiburan, ada Atta Halilintar yang menikahai Aurel Hermasyah yang keduanya merupakan keluarga sultan.

Ataupun kalau anak petani menikah dengan anak priyayi, tidak masalah tergantung persetujuan dan kecenderungan calon pasangan dan keluarganya.

Memaknai Kafa’ah Secara Ma’ruf

Keberadaan kafa’ah menjadi penting dalam mewujudkan nilai dan tujuan pernikahan, seperti meminimalisir konflik keluarga. Karena semakin cocok seseorang dengan calon pasangannya maka semakin tinggi pula peluang suksesnya pernikahan.

Oleh karena itu, menikah dengan yang setara merupakan sebuah keistimewaan bagi setiap orang. Tidak ada salahnya mengikuti aturan kafa’ah atau meninggalkannya, karena itu adalah hak calon pengantin, dan walinya.

Namun di sisi lain, kita harus mempertimbangkan orientasi agama kita saat memilih pasangan hidup. Sebagaimana penjelasan Nur Rofi’ah (Nalar Kritis Muslimah), ketakwaan sebagai standar kafa’ah manusia, bahkan dalam hubungan perkawinan.

Sebab ketakwaan merupakan perpaduan antara iman dan perbuatan baik, atau iman mempunyai daya dorong untuk berbuat baik. Lanjutnya, apapun latar belakang kita, kalau latar depannya sama, Insya Allah bisa sekufu dengan siapapun. []

 

 

 

 

 

 

 

Tags: CintaJodohkeluargaMemilih Pasangan Hidupperkawinanpernikahan
Anny Syukriya

Anny Syukriya

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Rumah Tak

    Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Inklusi dari Sekolah Tumbuh: Semua Anak Berhak Untuk Tumbuh
  • Tahun Baru Hijriyah: Saatnya Introspeksi dan Menata Niat
  • Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
  • Rumah Tak Lagi Aman? Ini 3 Cara Orang Tua Mencegah Kekerasan Seksual pada Anak
  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID