Mubadalah.id – Baru-baru ini pemerintah Filipina menetapkan tanggal 1 Februari sebagai Hari Hijab Nasional. Padahal Filipina bukanlah negara dengan mayoritas berpenduduk Islam. Namun, meski bukan negara dengan penduduk mayoritas Muslim, ternyata Hari Hijab Nasional di Filipina adalah sebagai bentuk kampanye pemerintah Filipina terhadap pemahaman Islam yang mendalam, budaya Muslim, serta toleransi antar umat beragama di Filipina.
Apa yang sudah ditetapkan oleh Filipina tentu menarik perhatian negara-negara tetangga, tidak terkecuali di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk Islam. Misalnya saja Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan apresiasi atas ditetapkannya Hari Hijab Nasional di Filipina.
Dilansir dari republika.co.id Sekertaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan apresiasinya atas ditetapkannya Hari Hijab Nasional pada 1 Februari, menurutnya, Hari Hijab Nasional Filipina itu merupakan suatu kemajuan yang sangat bermakna dalam rangka menghapus stigma negatif tentang Islam. Penetapan Hari Hijab Nasional juga membangun hubungan yang lebih baik antara umat Islam dan Pemerintah Filipina.
Lantas apakah Islam adalah satu-satunya agama yang memiliki ajaran untuk umatnya agar mengenakan jilbab?
Meski Islam hari ini adalah agama yang identik dengan pemakaian jilbab, namun perlu diketahui bahwa jilbab bukanlah satu-satunya pakaian yang dianjurkan oleh agama Islam. Pemakaian jilbab sudah ada bahkan sebelum agama Islam hadir di muka bumi. Mengutip Murtadha Mutahhari bahwa mengenakan jilbab dan kain kerudung sudah ada jauh sebelum Islam datang.
Penduduk Iran tempo dulu, kelompok Yahudi, dan juga bangsa India merupakan bangsa yang mengenakan jilbab. Murtadha Mutahhari juga melanjutkan, jika hari ini kita melihat pemakaian jilbab adalah berlandaskan alasan atau doktrin agama, lain halnya dengan perempuan Zoroaster, Hindu, Yahudi, dan Kristen yang memiliki doktrin bahwa bahwa jilbab adalah pakaian yang dikenakan oleh kaum terhormat.
Apa memang benar demikian? Tanpa berpanjang kata, silakan disimak uraiannya.
Tradisi jilbab setidaknya dapat dilacak sejak agama Yahudi hadir di muka bumi, dalam Talmud, kitab suci umat Yahudi juga membahas mengenai tradisi jilbab bagi perempuan Yahudi. Dalam Talmud Yahudi menyatakan:
“Apabila seorang wanita melanggar syariat Talmud, seperti keluar ke tengah-tengah masyarakat tanpa mengenakan kerudung atau berceloteh di jalan umum atau asyik mengobrol bersama laki-laki dari kelas apa pun, atau bersuara keras di rumahnya sehingga terdengar oleh tetangga-tetangganya, maka dalam keadaan seperti itu suaminya boleh menceraikannya tanpa membayar mahar padanya”
Salah satu Rabi Yahudi Menachem M. Brayer nenyatakan, ada kebiasaan perempuan-perempuan Yahudi mengenakan kerudung apabila keluar rumah bahkan sampai menutupi seluruh wajah dengan hanya meninggalkan satu mata untuk melihat.
Hal ini dilakukan oleh perempuan-perempuan Yahudi karena dalam hukum Yahudi laki-laki yang membiarkan rambut istrinya terlihat oleh orang lain adalah perbuatan terkutuk, selain itu dalam tradisi Yahudi bagi perempuan yang memperlihatkan rambutnya untuk memamerkan diri akan membawa dirinya kepada jurang kemiskinan.
Dalam hukum Yahudi yang ditetapkan oleh Rabi dan kitab Talmud menyatakan dan menegaskan agar para perempuan Yahudi menaati dan mengamalkan untuk menutupi kepalanya dengan jilbab, dan jika Ketika perempuan Yahudi keluar rumah dengan tidak mengenakan jilbab maka wajib hukumnya bagi laki-laki yang melihatnya untuk menegurnya agar berjilbab, jika laki-laki yang melihat tersebut membiarkannya, maka pembiaran itu adalah perbuatan terkutuk. Begitu juga para suami, wajib menegur istrinya jika tidak menenakan jilbab.
Selain syariat atau tradisi dalam agama Yaudi, berjilbab juga merupakan lambang kemewahan, kewibawaan, dan mahalnya haraga perempuan yang suci, dan jilbab juga menunjukkan strata sosial yang tinggi bagi perempuan yang mengenakan jilbab.
Di benua Eropa sampai abad ke-19 perempuan-perempuan Yahudi masih mempertahankan pemakaian jilbab sebelum kehidupan mereka bercampur dengan kebudayaan sekuler. Ketika kehidupan mereka sudah bercampur dengan budaya sekuler mereka pun masih mempertahankan menutupi rambutnya agar tidak terlihat dengan mengenakan “wig”. Namun lain halnya dengan perempuan-perempuan Yahudi yang berada di Timur Tengah, mereka masih mempertahankan jilbab sebagai pakaian yang dikenakan Ketika hendak ke luar rumah atau menuju rumah ibadah.
Selanjutnya, dalam tradisi Kristen, berjilbab ternyata sudah dipraktekkan terlebih dahulu oleh Ibu Yesus Kristus atau Bunda Maria. Seperti terlihat dalam gambar-gambar Bunda Maria yang memakai jilbab. Selain itu jilbab juga sudah dikenakan oleh para biarawati Katolik sejak ratusan tahun, bahkan masih dipertahankan dan dipraktikkan sampai hari ini.
Diketahui juga bahwa perempuan-perempuan di sekitar Yesus mengenakan jilbab sesuai dengan praktik perempuan-perempuan di sekitar Nabi terdahulu. Dalam tradisi Kristen terdahulu digambarkan bahwa perempuan diketahui mengenakan pakaian yang longgar dan menutup tubuh mereka, tidak ketinggalan berjilbab untuk menutup rambutnya. Dengan kata lain, berjilbab juga merupakan tradisi dalam agama Kristen. Dengan berjilbab berarti juga merupakan bentuk ketaatan kepada Tuhan.
Dijelaskan dalam Kitab Perjanjian Baru:
“Dan kalau seorang wanita pada waktu berdoa atau pada waktu menyampaikan berita dari Allah di hadapan banyak orang, tidak memakai tutup kepala, maka wanita itu menghina suaminya yang menjadi kepala atas dirinya. Itu sama saja seolah-olah kepala wanita itu sudah di cukur. Sebab kalau seorang wanita tidak mau memakai tutup kepala lebih baik rambutnya digunting. Tetapi kalau seorang wanita dicukur kepalanya atau digunting rambutnya, maka itu suatu penghinaan bagi dia. Oleh sebab itu lebih baik ia memakai tutup kepala (Kitab I Korintus, 11: 5-6).”
Ayat di atas memerintahkan para perempuan Kristen untuk berjilbab ketika hendak beribadah kepada Tuhan, atau ketika hendak menyampaikan kepada orang banyak tentang berita dari Tuhan. Lebih lanjut, menurut ayat ini perempuan yang tidak berjilbab berarti menghina suaminya clan merendahkan kehormatannya, serta penghinaan bagi dirinya sendiri. Di sini terlihat bahwa jilbab dalam tradisi Kristen tidak hanya bentuk ibadah, namun juga lambang penghormatan terhadap perempuan.
Selain tertulis dalan kitab agama Kristen, St. Paulus juga menekankan kepada perempuan Kristen untuk berjilbab karena dengan demikian perempuan yang berjilbab termasuk perempuan yang mulia dan terhormat. Walaupun St. Paulus clan St. Tertullian sama-sama menegaskan kepada jemaat Kristen, khususnya bagi kaum perempuan untuk selalu memakai jilbab di saat beribadah, datang ke Gereja, ketika bepergian maupun yang akan menyampaikan berita dari Tuhan. Namun nyatanya sekarang jarang mendapati perempuan Kristen mengenakan jilbab jika hendak beribadah.
Maka dari itu, karena pemakaian jilbab bagi perempuan-perempuan Yahudi dan Kristen tidak lagi menjadi kebiasaan yang massif dan sekarang hanya massif dikenakan oleh perempuan muslim, sehingga timbul pemahaman bahwa berjilbab adalah pakaian perempuan muslim, padahal nyatanya berjilbab bagi perempuan adalah kebiasaan yang sudah dilakukan oleh perempuan-perempuan agama terdahulu sebelum Islam. Dengan demikian berjilbab bukan merupakan praktik baru dan asing bagi perempuan. []