Mubadalah.id – Dalam berbagai catatan sejarah, tahun 1998 disebutkan sebagai tahun yang sangat mencekam. Saat itu, berbagai rangkaian kejahatan terjadi, mulai dari aksi penjarahan, kerusuhan, perkosaan massal, insiden Trisakti dan Semanggi, hingga penghilangan paksa para aktivis.
Dilansir dari Magdalene.co, rangkaian tragedi tersebut menyisakan luka yang sangat mendalam bagi korban. Pasalnya seperti yang tercatat oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie, ada sekitar 1.190 orang yang tewas dalam peristiwa Mei 1998. Baik akibat luka tembak, maupun akibat terjebak dalam kebakaran.
Selain itu, TGPF juga mencatat bahwa ada 85 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. 52 di antarnya ialah kasus pemerkosaan yang sebagian besar menimpa perempuan Tionghoa. Tragedi ini meninggalkan luka sejarah yang dalam. Para korban dan keluarganya terus menanggung trauma tanpa kepastian keadilan dari negara.
Karena itu, sangat lah wajar jika para penyintas dan juga para aktivis kemanusiaan marah dan kecewa ketika Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengatakan tragedi pemerkosaan dalam Kerusuhan Mei 98 ‘rumor’ dan ‘tak ada bukti’.
Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, pernyataan tersebut justru memberi luka baru bagi para korban. Bagaimana tidak, ketika pemerkosaan telah merampas kepemilikan korban atas tubuhnya, kini setelah sekian tahun ia harus menerima pernyataan bahwa “luka” yang ia alami adalah ‘rumor” dan “tak ada bukti’.
Sungguh narasi yang nir-empati. Karena itu, mari rawat ingatan sejarah kelam itu melalui empat Novel Cerita Tragedi Perkosaan Massal 98, sebagai berikut:
Novel Laut Bercerita
Pertama, Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Leila yang merupakan mantan wartawan Tempo merangkai ulang bagaimana tragedi penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro-demokrasi pada 1997–1998, salah satunya adalah sosok Biru Laut, seorang mahasiswa yang kala itu menjadi korban penghilangan oleh rezim represif Orde Baru.
Novel ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama bercerita tentang perlawanan Biru pada rezim Orde Baru, yang kemudian ia dan kawan-kawannya ditangkap, disiksa, dan dihilangkan secara paksa oleh aparat.
Lalu di bagian kedua menggambarkan rasa kehilangan Asmara Jati, adik Laut. Bagian ini sengaja Leila tampilkan untuk membawa pembaca pada ruang hampa sebuah keluarga yang ia tinggalkan tanpa kepastian.
Rasa kehilangan ini bercampur dengan rasa marah, harapan, dan juga penantian panjang yang tak berujung. Ini lah gambaran nyata keluarga para korban penculikan pada tragedi 98. Meski dalam rasa duka, mereka tetap berdiri untuk mendapatkan keadilan bagi anggota keluarganya yang hilang tanpa jejak.
Novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman
Kedua, novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman karya Afifah Afra. Dalam Novel ini Afifah menggambarkan betapa mengerikannya tragedi perkosaan yang terjadi pada perempuan Tionghoa.
Mei Hwa, gadis keturunan Tionghoa, mahasiswa kedokteran adalah tokoh yang digambarkan oleh Afifah. Dalam ceritanya, ia nekat pulang ke Jakarta, padahal sebelumnya ia telah diperingatan oleh keluarganya untuk tetap tinggal di perantauan.
Tak disangka, ketika sampai di Jakarta, rumah Mei Hwa dijarah massa. Tragedi ini terjadi karena ada sentimen terhadap warga Tionghoa. Tragedi tersebut menyisakan luka dan trauma bagi Mei Hwa. Abangnya menghilang tanpa jejak, ayahnya menjadi tidak waras, ibunya mengakhiri hidupnya. Sementara Mei Hwa sendiri menjadi korban kekerasan seksual.
Dalam keadaan tidak sadarkan diri, Mei Hawa mereka bawa ke rumah sakit jiwa. Dalam kondisi yang terpuruk, ia bertemu dengan Sekar Ayu, seorang perempuan yang juga mengalami kekerasan seksual sejak masa penjajahan Jepang hingga tragedi 1965.
Kepada Sekar lah, Mei Hawa berani menceritakan luka yang ia alami, dan perlahan bersamanya keberanian dan harapan mulai tubuh di dalam diri Mei Hwa.
Melalui sosok Mei Hwa, Afifah menggambarkan tentang luka dan trauma yang para korban perkosaan massal tahun 98 alami. Karena itu, penyangkalan atas tragedi tersebut adalah kejahatan lain yang menambah beban para korban dan keluarganya.
Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah
Ketiga, novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto. Lewat novel ini Naning menggambarkan luka dan penderitaan para perempuan korban perkosaan massal tahun 98 dan anak yang ia lahirkan dari tragedi mengerikan tersebut.
Tokoh utama novel ini adalah Humaira, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang mencoba peruntungan dengan bekerja di sebuah restoran di Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, pada saat masa training, restoran tersebut dijarah dan Humairah menjadi salah satu korban perkosaan yang dilakukan secara ramai-ramai hingga ia tidak sadarkan diri. Lalu ia ditolong oleh seorang Romo dan relawan korban perkosaan.
Humaira mengalami depresi, ia melarikan diri dari tempat penampungan dan berakhir dirawat oleh Suster Jo. Karena kondisi kandungannya sudah besar, Humaira tidak bisa melakukan aborsi dan terpaksa melahirkan anak akibat perkosaan. Setelah melahirkan, Humairah mengakhiri hidupnya.
Novel Melupakan 98
Keempat, Novel Melupakan 98 karya Annisa Tang. Buku ini mengisahkan tentang penderitaan para korban perkosaan massal Kerusuhan 98. Mulai dari Lena yang diperkosa lalu bunuh diri, A Phei, remaja SMP yang diperkosa, disiksa, lalu dibunuh hingga tubuhnya nyaris tak dikenali. Lalu Mei Lan, tokoh utama yang mengalami pemerkosaan brutal oleh 8 orang dalam sebuah angkot.
Selain memperlihatkan tragedi pemerkosaan, Annisa juga menggambarkan ulang penjarahan dan pembakaran toko, bahkan ketika pemiliknya masih ada di dalam.
Di sisi lain, penulis juga menceritakan tentang Ita, relawan perempuan Tionghoa yang diperkosa dan dibunuh ketika hendak pergi ke luar negeri untuk memberi kesaksian.
Empat novel ini kiranya bisa jadi bahan renungan bersama bahwa pekosaan massal 98 itu bukan fiktif, tapi fakta sejarah yang tidak boleh ia hilangkan begitu saja. Karena dengan merawat ingatan tragedi tersebut, bukan soal menyimpan luka lama, tapi sebagai pengingat bahwa negara masih punya hutang keadilan pada korban dan keluarganya. []