Mubadalah.id – Perempuan pernah menjadi makhluk yang tidak diperhitungkan. Apalagi tentang berpendapat. Akan tetapi itu berubah ketika Islam hadir. “Dulu, pada masa Jahiliah, kami tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian ketika Islam turun dan Allah mengakui mereka, kami memandang bahwa mereka pun memiliki hak atas kami.” (HR. Bukhori).
Artinya kini keberadaan perempuan sudah diperhitungkan bahkan dihormati. Perempuan sebagai makhluk yang mempunyai hak sama dengan laki-laki harus bisa mengaktualisasikan diri dengan maksimal dan percaya diri.
Agar tetap eksis dan mudah berpendapat atau berbicara di muka umum, kita dapat mengaplikasikan teori dari Dr. Gary Chapman dalam bukunya yang berjudul The Five Love Languages, sebuah buku yang ditulis untuk memahami seseorang, juga sangat bisa diaplikasikan dalam hal berpendapat.
Berdasarkan pengalaman pribadi dan pengamatan di sekitar tentang berpendapat, teori Love Language ini dapat diperhitungkan. Juga teruntuk perempuan yang masih merasa minder berbicara atau mengungkapkan pendapatnya, sedikit atau banyak teori ini dapat diaplikasikan.
Pertama, words of affirmation (kata-kata yang meyakinkan). Kita harus bisa meyakinkan seseorang terhadap pendapat kita. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuat seseorang percaya dengan ucapan kita, di antaranya dengan mengulang ucapan, memberi bukti, dan sebagainya.
Suatu ketika ada teman saya yang sedang berusaha meyakinkan orangtuanya tentang cita-citanya sebagai penulis. Ia meminta izin kepada ayah dan ibunya untuk mengikuti pelatihan menulis di suatu kota saat liburan sekolah. Akan tetapi, orangtuanya memberi saran agar ia mengikuti kursus tiga mata pelajaran untuk persiapan ujian akhir sekolah saja.
Kemudian teman saya mencoba meyakinkan orangtuanya dengan menunjukkan beberapa sertifikat juara kepenulisan yang pernah ia dapatkan. Dengan bukti berupa sertifikat tersebut, orangtuanya mengizinkannya untuk mengikuti pelatihan menulis yang ia inginkan.
Kedua, quality time (waktu berkualitas). Berbicara dengan orang terdekat seperti keluarga kadang memerlukan waktu yang berkualitas. Seringkali saya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu yang penting kepada suami.
Contoh Love Language, ketika ngobrol tentang persiapan kelahiran anak pertama kami. Saya sengaja menunggunya pulang kerja, mandi, dan makan. Ketika sudah santai di kamar, saya baru mengajaknya berbicara tentang apa saja yang harus dibeli untuk persiapan lahiran, merekomendasikan toko yang bagus untuk membeli perlengkapan lahiran, dan menunjukkan rancangan dana yang akan dikeluarkan.
Selain itu, kami juga selalu membicarakan tentang hari-hari yang dilalui ketika anak-anak telah tidur. Jadi, quality time menjadi waktu yang bagus untuk menyampaikan pendapat kita agar mudah diterima oleh pendengar. Apalagi untuk mengungkapkan hal yang penting.
Ketiga, receiving gifts (pemberian hadiah). Pemberian hadiah dapat diaplikasikan ketika berbicara dengan anak atau murid untuk mengapresiasi pencapaian mereka. Usai memberi hadiah, kita bisa memberi wejangan atau pesan-pesan baik untuk mereka, Insya Allah 85% ucapan kita akan didengar.
Semasa SD, guru matematika saya selalu berpesan kepada kami agar menghafal rumus-rumus yang telah diajarkan. Saya dan teman sekelas tidak ada yang membantahnya. Kami semua semangat belajar dan menghafal. Ketika beliau datang ke kelas, usai salam selalu menunjuk satu anak untuk menuliskan salah satu rumus yang beliau katakan. Jika anak tersebut bisa menjawab, maka beliau memberinya bolpoin baru. Kejadian itu selalu terjadi setiap beliau mengajar.
Keempat, acts of service (pelayanan). Dengan kita merespon pembicaraan seseorang, sebenarnya kita telah melayaninya. Hanya saja pelayanan ada yang positif juga negatif. Maka lebih baik kita memberi respon positif terhadap ucapan seseorang. Seperti ketika ada presentasi dari teman atau dosen di kampus, kita harus menanggapinya dengan positif. Jika berbeda pendapat, kita bisa menyampaikannya dengan bahasa yang baik dan sopan. Bukan dengan nada tinggi, menyindir, atau bahkan mengejeknya.
Kelima, phisical touch (sentuhan fisik). Hal ini bisa diterapkan ketika ada teman atau saudara yang sedang bercerita (curhat). Kita bisa memberinya kesempatan untuk mengungkapkan segala isi hatinya. Terkadang seseorang bercerita hanya butuh didengarkan. Saat emosinya memuncak hingga mengeluarkan air mata, kita bisa memegang tangannya atau mengelus punggungnya sebagai sentuhan fisik untuk menenangkannya.
Tidak hanya menanggapi teman yang sedang curhat, sentuhan fisik juga dapat diaplikasikan ketika ada adik kita yang sedang menangis. Kita bisa memberinya pelukan dan bertanya kepadanya alasan ia menangis atau tentang keinginannya. Selain itu, kita juga bisa menggandeng tangan pasangan ketika ia bersedih, kemudian meyakinkannya bahwa kita selalu ada untuknya.
Tak bisa dipungkiri, sebagian perempuan masih ada yang memilih untuk diam dari pada menyalurkan pendapatnya. Terkadang saya pun demikian, lebih memilih untuk diam menghadapi seseorang dari pada ucapan saya mengundang perselisihan.
Akan tetapi, hal ini tidak harus dilakukan secara terus menerus. Ada kalanya kita harus membuka mulut untuk mengatakan kebenaran, dan ada kalanya kita harus menghadapinya dengan senyuman.
Perempuan yang terbiasa tidak menanggapi pendapat akan terbiasa begitu, sehingga menjadi acuh. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena merasa rendah diri. Dengan begitu, kebiasaan tersebut akan membuatnya merasa tidak diprioritaskan dalam segala hal, misalnya ketika bermusyawarah. Maka perasangka rendah diri tersebut harus dibinasakan.
Kini, siapapun bisa berpendapat dengan mudah mengunakan cara Love Language dari Chapman tersebut. Kita bisa berpendapat dengan kata-kata yang meyakinkan dengan cara memberi bukti terhadap apa yang kita ucapkan.
Kita bisa berpendapat dengan memilih waktu yang tepat, juga bisa mengungkapkan pendapat dengan memberi hadiah. Selain itu, pendapat kita juga akan mudah diterima dengan memberi pelayanan yang baik juga sentuhan fisik. Semangat ladies, jangan ragu lagi untuk berpendapat! Kita mau, kita mampu. []