Mubadalah.id – Bismillāh. Alhamdulillāh. Wash-shalātu was-salāmu ‘alā rasūlillāh, an-nabiyyi ar-rahmah, arsalahūllāhū hidāyatan, wa ni’matan, wa rahmatan lil ‘ālamīn ajma’. Ammā ba’d. Berikut ini adalah kompilasi 60 hadits, yang terinspirasi dari karya besar Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah (1924–1995), Tahrīr al-Mar’ah fī ‘Ashr ar-Risālah (Pembebasan Perempuan pad Masa Kenabian) mengenai penguatan hak-hak perempuan dalam Islam dari teladan Nabi Muhammad Saw.
Jika Tahrīr Abu Syuqqah memuat lebih dari 1900 teks hadits dalam 6 jilid buku, kompilasi ini sangat kecil, hanya 60 teks hadits. Penjelasannya pun sangat singkat dan sederhana. Ini dimaksudkan untuk memudahkan para pemula yang ingin mengenal hadits-hadits inti dalam isu-isu relasi laki-laki perempuan yang lebih fundamental. Yaitu, prinsip kerja sama dan kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Prinsip yang saya sebut sebagai mafhūm mubādalah, atau perspektif kesalingan dan resiprositi.
Secara metode, kompilasi kecil ini juga terinspirasi dari karya-karya yang sudah populer, seperti kitab Arba’īn an-Nawāwī karya Imam Nawawi (Yahya bin Sharaf, w. 676/1277). Jika kitab Arba’īn berisi 40 teks hadits mengenai prinsip-prinsip besar Islam dalam berbagai topik, kompilasi ini fokus pada isu relasi laki-laki dan perempuan.
Dalam kompilasi kecil ini, 60 teks hadits dikelompokkan dalam 15 tema pokok. Diawali dengan tema terkait prinsip relasi, kemudian mengenai martabat perempuan di mata Allah Swt., menyusul posisi dan hak-hak perempuan baik di ranah domestik maupun publik, hingga yang terkait dengan relasi suami-istri. Satu per satu, hadits akan disebutkan beserta rujukan dari sumber-sumbernya, dan penjelasan singkat mengenai isi hadits tersebut, dengan mengacu pada perspektif kesalingan.
Sementara ini, ingatan kebanyakan orang mengenai hadits-hadits tentang perempuan adalah tentang penciptaan dari tulang rusuk yang bengkok. Atau tentang pesona (fitnah) mereka yang akan menjerumuskan laki-laki. Atau tentang mereka sebagai penghuni neraka terbanyak, kurang akal dan kurang agama, harus ditemani kerabat (mahram) kalau keluar rumah. Shalat mereka harus di tempat tersembunyi. Mereka bisa membatalkan shalat seseorang jika lewat di hadapannya, harus taat suami, laknat atas keengganan mereka melayani suami, dan hal-hal yang menitikberatkan pada kewajiban besar mereka untuk selalu melayani dan menyenangkan suami. Jika ingin mengenal diskusi dan tafsir mengenati teks-teks hadits ini dalam perpektif mubadalah, bisa merujuk pada buku terbaruku “Qira’ah Mubadalah” (IRCISOD, 2019).
Kompilasi 60 hadits sahih tentang hak-hak perempuan dalam Islam ini ingin mengenalkan sisi lain yang lebih fundamental dari hadits-hadits tersebut, yang seharusnya menjadi rujukan utama dibanding tema-tema yang populer dalam hadits-hadits tersebut. Dari sisi jumlah juga, seperti dikumpulkan Abu Syuqqah dalam Tahrīr, hadits-hadits kesetaraan (musāwah) dan kesalingan (mubādalah) antara laki-laki dan perempuan jauh lebih banyak. Hadits-hadits ini juga terekam, seperti ditegaskan Abu Syuqqah, dalam rujukan paling otoritatif, Shahīh al-Bukhāri dan Shahīh Muslim.
Perujukan dan penomoran hadits-hadits dalam kompilasi ini didasarkan pada karya Mausū’ah al-Hadīts asy-Syarīf, terbitan al-Maknaz al-Islami (2000). Selain itu, pada kasus kitab Thabaqat Ibn Sa’d, merujuk pada al-maktabah asy-syāmilah. Teks hadits berbahasa Arab diambil dari rujukan kitab yang disebutkan di akhir teks. Sementara, rujukan lain yang disebut dalam penjelasan “Sumber Hadits” adalah penguat saja.
Melalui kompilasi kecil ini, diharapkan masyarakat muslim bisa mengenali sikap Islam terhadap perempuan dari teks sumber yang sangat otoritatif. Kompilasi ini menegaskan bahwa posisi dan peran perempuan dalam Islam sebagai manusia yang utuh adalah setara dengan laki-laki. Relasi antarmereka juga didasarkan pada kesalingan seperti yang digariskan al-Qur’an. Yaitu, saling menolong dan menopang (QS. at-Taubah [9]: 71), saling melindungi dan melengkapi (QS. al-Baqarah [2]: 187), dan saling berbuat baik (QS. an-Nisaa’ [4]: 19).
Prinsip ini berlaku untuk hal-hal teologis-ritual, kerja-kerja publik dan domestik. Sehingga, prinsip meritokrasi yang ditegaskan Islam, adalah siapa yang berbuat dialah yang akan memperoleh apresiasi dan balasan. Yang berbuat baik dapat pahala, dan yang berbuat buruk mendapat dosa. Bukan faktor laki-laki yang harus didahulukan atau diutamakan. Bukan juga perempuan yang harus dinomorduakan. Ukuran keutamaan dalam Islam adalah ketakwaan, keimanan, amal perbuatan, dan kiprah kebaikan pada keluarga dan masyarakat. Siapapun dia, laki-laki maupun perempuan. Inilah akhlak Islam. Inilah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.