Mubadalah.id – Pembaca tentu masih ingat dengan aksi goyang ngebor penyanyi Inul Daratista yang menuai pro dan kontra bertahun silam. Ada yang tetap memuji, namun ada pula yang menghujat habis-habisan. Saat itu Raja Dangdut Rhoma Irama termasuk yang menyerukan kepada media televisi untuk memboikot Inul.
Bukan hanya Rhoma Irama. Sebagaimana dilansir merdeka.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat itu juga turut mendesak stasiun televisi untuk mencekal Inul. Di tengah kisruh kasus goyang ngebor itulah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur tampil membela Inul.
Dengan alasan masyarakat sebaiknya memberikan peluang dan penilaian secara jujur, serta apa adanya sebelum menjatuhkan vonis. Penilaian jujur yang dimaksud Gus Dur adalah melepaskan pandangan dari berbagai tendensi kepentingan. Baik kepentingan politik, ekonomi, agama, dan sebagainya.
Baca juga: Gus Dur tentang Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki
Langkah yang telah diambil Gus Dur itu selain bersikap objektif, bijaksana dan mengayomi, Gus Dur juga menunjukkan pembelaan yang adil terhadap kelompok yang dipinggirkan.
Bagaimana tidak, stigma negatif yang terlanjur melekat pada artis dangdut, ditambah dengan goyangan yang dianggap erotis dan memantik syahwat, menguatkan bentuk ketidakadilan gender yang harus diterima seorang Inul Daratista.
Padahal perjuangan Inul untuk mencapai posisi itu tidaklah mudah. Inul berangkat dari titik nol, ingin merubah nasib kehidupannya agar lebih baik di masa depan. Apalagi apa yang telah dilakukan Inul sepanjang masa awal karirnya tidak merugikan dan tidak mengganggu kehidupan orang lain.
Gus Dur tidak melihat Inul dalam bentuk tubuhnya sebagai daya seksualitas perempuan. Namun memposisikannya sebagai sesama manusia yang mempunyai harkat dan martabat sama. Maka sudah selayaknya juga harus dihargai serta dihormati.
Inul beruntung, ketika peristiwa itu terjadi masih ada seorang Gus Dur yang membela. Hingga kini di penghujung 2018 masih saja banyak terjadi kasus pelecehan dan kekerasan yang kerap dialami oleh perempuan.
Baca juga: 3 Pelajaran Berumah Tangga dari Gus Dur
Data dari Komnas Perempuan mencatat pada 2017 ada 2.979 kasus kekerasan seksual di ranah KDRT atau relasi personal. Lalu sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas.
Konsistensi Gus Dur dalam melakukan pembelaan, dengan disertai argumen yang sangat meyakinkan dan bisa dipertanggungjawabkan. Hal itu menjadi pengingat bagi saya sendiri tentang sosok Gus Dur sebagai feminis laki-laki. Karena tidak hanya berani mewacanakan kesalingan serta kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, beliau pun mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di dalam keluarganya.
Di samping itu Gus Dur juga menunjukkan kepedulian dan keberpihakannya terhadap kaum perempuan di berbagai kebijakan dan advokasi yang dibuat. Sebagaimana saya catat dari artikel Jurnal Perempuan “Ketika Perempuan Bicara Gus Dur” yang ditulis Mustaghfiroh Rahayu.
Bahwa selama Gus Dur menjabat sebagai Presiden, beliau langsung membuat keputusan menghentak dengan mengganti nomenklatur Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pilihan diksi ini bagi para aktivis perempuan sudah dianggap sebagai keberpihakan.
Terlebih kata penulis yang akrab disapa Mbak Ayu itu, pada masanya Gus Dur mengeluarkan instruksi presiden mengenai kewajiban semua bidang pemerintahan untuk melakukan pengarustamaan gender (gender mainstreaming).
Instruksi inilah yang kelak menjadi embrio dari berbagai kebijakan yang ramah perempuan, salah satunya tindakan afirmasi kuota 30 persen perempuan di ranah politik.
Tanpa terasa sembilan tahun sudah Gus Dur tiada meninggalkan kita semua. Menyisakan jejak kerinduan yang teramat dalam. Karena sampai saat ini belum ada sosok selantang Gus Dur dalam membela perempuan.
Pembelaan Gus Dur terhadap perempuan yang dipinggirkan, dan keberpihakannya dalam upaya memajukan perempuan di Indonesia saat ini, menjadi warisan tak ternilai yang akan terus diingat hingga bertahun-tahun kemudian.
Maka bagaimana sikap dan nilai-nilai yang telah ditinggalkan Gus Dur bisa menjadi pendar semangat. Bahwa perempuan mempunyai banyak sekali potensi yang harus dikembangkan untuk kemajuan bersama sebuah bangsa.
Sementara itu terhadap perempuan yang terpinggirkan dan penyintas kekerasan, menjadi tanggung jawab kita bersama pula untuk memberinya perlindungan secara aman dan berkeadilan.[]