Mubadalah.id – Sabtu, 17 April 2021 adalah hari pertama kelas intensif ramadan, 20 hari ngaji kitab Manba’ussa’adah bersama 20 ulama perempuan Nusantara. Kitab ini adalah salah satu karya Dr. Faqih Abdul Kodir.
Senang sekali rasanya bisa mengikuti kajian ini. Selama ini, setiap bulan ramadan orang yang sering tampil di publik memberikan ceramah, baik di masjid, televisi, atau media sosial lebih banyak para ulama laki-laki. Padahal, banyak juga ustadzah-ustadzah di Indonesia yang mempunyai kapasitas yang sama, bahkan mungkin pengetahuannya justru lebih banyak, terutama soal isu pengalaman perempuan.
Selain itu, saya juga sangat senang dengan apa yang disampaikan oleh Pak Faqih dalam acara pembukaan dan pengantar pada Jum’at, 16 April 2021 kemarin. Beliau menyampaikan bahwa arti dari kata “Manba’ussa’adah” sendiri adalah telaga kebahagiaan. Dalam perspektif mubadalah bahagia itu adalah ibadah, dan berhak untuk dirasakan serta didapatkan oleh perempuan juga laki-laki.
Oleh karenanya, hal apapun di dunia ini yang sifatnya membahagiakan harus dirasakan oleh keduanya. Tidak bisa, hanya oleh salah satunya saja, karena hidup itu perlu kesalingan. Menurut saya prinsip dasar ini juga penting untuk kita yakini bersama, supaya laki-laki dan perempuan dapat hidup dengan saling memberi dan menerima kebaikan.
Adapun tema hari pertama dalam kelas intensif ramadan tersebut adalah tentang “Hak Tubuh: mengkonsumsi makanan sehat dan halalan thayyiban” yang disampaikan oleh Nyai. Hj. Rahmi Kusbandiyah dan dimoderatori oleh Kak Andi Nur Faizah.
Ibu Nyai Rahmi menyampaikan bahwa setiap manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, baik dan halal. Tentu saja yang dikatakan dengan halal ialah makanan yang boleh dikonsumsi menurut ketentuan syari’at Islam.
Sementara makanan sehat dan baik ialah makanan yang bisa mendatangkan kebaikan dan kesehatan bagi tubuh manusia. Ibu Nyai Rahmi juga menegaskan, makanan yang sehat, baik dan halal itu bisa dilihat dari tiga hal. Yaitu dzatnya atau wujudnya baik, cara memperoleh serta mengolahnya juga baik.
Selama mendengarkan kajian tentang tema ini, pikiran saya langsung travelling ke mana-mana. Pasalnya, saya menyaksikan betul dalam kebanyakan keluarga, perempuan kerapkali diabaikan dalam hal ini. Misalnya, perempuan yang sedang hamil dan menyusui seringkali disebut lebay ketika dianjurkan oleh dokter untuk banyak mengkonsumsi makanan-makanan yang sehat.
Kasus seperti itu banyak terjadi di kampung halaman saya. Di sana guyonan tentang perempuan lebay, lemah dan banyak maunya sering terjadi. Terutama pada perempuan yang tengah hamil dan menyusui, dan mereka meminta suaminya untuk membeli makanan yang sehat, seperti buah-buahan atau daging.
Padahal, jika melihat pemaparan Ibu Nyai Rahmi di atas, semua orang berhak mengkonsumsi makanan yang sehat, terlebih bagi perempuan yang sedang menjalankan fungsi refroduksinya, seperti hamil dan menyusui. Dengan syarat tetap harus memperhatikan tiga hal di atas dan sesuai dengan kebutuhan. Artinya tidak berlebihan.
Di sisi lain, saat ini harusnya kita sudah mulai belajar untuk ber-empati pada pengalaman perempuan. Karena seperti kata Ibu Nur Rofiah dalam Ngaji KGI “perempuan iu mempunyai pengalaman biologis yang khas, yang sangat jauh berbeda dengan laki-laki”. Jadi, stop lah guyonan-guyonan tidak be-akhlak seperti itu. Becandamu enggak lucu.
Selain kasus di atas, dalam tradisi “munggahan” di kampung saya, perempuan juga seringkali mengalami pembedaan. Dalam tradisi tersebut kami di masing-masing keluarga biasa melakukan hal-hal menyenangkan seperti piknik dengan bekal makanan yang enak-enak dan sehat, berziarah ke makam leluhur, membersihkan lingkungan dan ngumpul sambil makan-makan di rumah orang tua atau anak yang paling besar.
Seperti pemandangan pada umumnya, orang yang menyiapkan makanan-makanan tersebut adalah para perempuan. Tetapi, ketika kegiatan ngariung atau makan bersama, perempuan biasanya tidak ikut makan bareng. Karena alasan, mendahulukan laki-laki, sibuk menyuapi anak, beberes dan mencuci perabotan dapur.
Sepanjang yang saya ketahui, biasanya perempuan akan makan setelah laki-laki selesai makan. Dan hanya akan makan sisa makanan yang tersisa, walaupun hanya tinggal sedikit atau malah makanan yang menurut kami enak dan sehat itu telah habis. Duh, ya Allah. Kok sedih ya menjadi perempuan di lingkungan patriarki seperti itu.
Dengan begitu, saya sangat senang dan ikut mengapresiasi kegiatan ngaji kitab Manba’ussa’adah dengan perspektif yang ramah perempuan ini. Karena saya berharap setelah banyak orang yang tahu dan paham tentang kemanusiaan dan persamaan hak laki-laki dan perempuan, kejadian-kejadian yang saya ceritakan di atas, tidak akan terjadi lagi di tempat lain. Dan tradisi-tradisi yang mengabaikan hak perempuan secara perlahan akan menghilang. Sehingga kita semua bisa sama-sama menciptakan dan merasakan kebahagiaan. []