Mubadalah.id – Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual sampai saat ini masih menjadi polemik dan belum juga disahkan. Padahal naskah akademik dan draft rancangan Undang-undangnya telah diinisiasi oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012. Dan di tahun 2016 telah diserahkan kepada anggota DPR yang ditandatangani oleh 70 orang anggotanya.
RUU yang diharapkan untuk menekan kasus kekerasan seksual hingga melindungi korban ini selain mendapat dukungan juga sebagian lain menolaknya. Dari sejumlah sumber yang ditemui, penolakan terhadap RUU PKS dilakukan oleh kelompok-kelompok konservatif yang pemikirannya mulai nampak seiring menguatnya konservatisme agama di Indonesia.
Umumnya penolakan dilakukan dengan menggunakan dalil agama yang mereka yakini dan tafsiri. Oleh karenanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang dilaksanakan pertama kali pada tanggal 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin dalam musyawarah keagamaan telah melahirkan tiga fatwa, salah satunya adalah tentang kekerasan seksual.
Ada tiga dasar hukum (adillah) yang mendasari Fatwa KUPI tentang kekerasan seksual ini. Pertama, Nash Al-Qur’an. Pesan QS al-Isra ayat 70 menjelaskan tentang status manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai makhluk mulia, QS an-Nisa ayat 19 tentang larangan melecehkan martabat perempuan dan perintah memperlakukan mereka secara bermartabat. QS at-Taubah ayat 71 tentang perintah laki-laki dan perempuan untuk saling menjaga satu sama lain.
QS al-Ahzab ayat 58 tentang larangan menyakiti orang yang tidak bersalah, QS al-Buruuj ayat 10 tentang larangan mendatangkan bencana pada orang yang beriman, dan QS an-Nur ayat 4-5 tentang larangan menuduh perempuan baik-baik melakukan zina tanpa bukti.
Kedua, Nash Hadist. Pesan hadist nomor 67 riwayat Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari menjelaskan tentang perintah menjaga martabat kemanusiaan. ‘Dari Abdurrahman bin Abi Bakarah dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan-kehormatan kalian adalah haram (untuk ditumpahkan, dikuasai secara zalim, dan dirobek-robek).
Begitupun pesan hadist nomor 2277 Riwayat Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari menjelaskan tentang larangan perdagangan perempuan, sekalipun ia budak. Juga pada hadist nomor 5182 riwayat Bukhari dalam Shahih Bukhari menjelaskan tentang jenis-jenis perkawinan yang dilarang Islam karena mengandung penistaan,
Ketiga, pendapat para ulama (Aqwalul ‘Ulama). Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm (Juz 1 hlm 14) memerintahkan untuk menjaga kemerdekaan orang lain. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islamy wa Adilatuhu (Juz 8 hlm 6416) menyebutkan perintah tentang melindungi hak asasi manusia. Dalam kitab yang sama (Juz 9 hlm 6598), beliau juga memerintahkan hubungan seksual dengan istri secara layak.
Pada Juz 8 (hlm 6208), Wahbah Az-Zuhaili juga menegaskan tentang larangan merampas kehormatan manusia. Begitupun dalam Qaraaraat wa Taushiyyaat Majma’il Fiqhil Islamiy ad-Dauliy tahun 1405-1430 H (hlm 1-185 dan 218), menjelaskan tentang kewajiban menghormati perempuan di setiap lini kehidupan. Dalam kitab yang sama juga menjelaskan tentang larangan mengeksploitasi perempuan di media dan perintah untuk memastikan perempuan sebagai kelompok sosial rentan untuk tidak dikorbankan dalam konflik apapun.
Keempat, Konstitusi Negara Republik Indonesia (Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A – 28J tentng Hak Asasi Manusia, yang meliputi hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan, dan hak untuk tidak diperbudak.
Dengan keempat dasar hukum tersebut, Fatwa KUPI menyatakan bahwa tindakan kekerasan seksual dengan berbagai macam jenisnya sangat bertentangan dengan Nash Al-Qur’an, yang menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah yang semestinya harus saling menjaga kehormatan dan martabat kemanusiaannya.
Kekerasan seksual juga bertentangan dengan prinsip dasar ajaran Islam untuk melindungi kemuliaan, kemerdekaan, keadilan, persaudaraan, tolong menolong, dan kesetaraan manusia. Bahkan Islam juga sangat melarang keras merusak kehormatan dan martabat kemanusiaan, baik muslim maupun nonmuslim, baik dalam damai maupun perang, baik pada teman maupun musuh.
Pengabaian negara terhadap kekerasan seksual juga bertentangan dengan Konstitusi Negara RI yang memerintahkan perlindungan hak asasi manusia setiap warna negara. Oleh karena itu hukum kekerasan seksual dalam segala bentuknya adalah haram, baik dilakukan di luar maupun di dalam perkawinan.
Berdasarkan semua paparan di atas, maka upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual menjadi tanggungjawab bersama, baik individu maupun negara. Upaya pencegahan ini bisa dimulai dari lingkungan keluarga dengan mengedukasi anggota keluarganya tentang nilai kesetaraan, juga memberi informasi tentang kekerasan seksual agar tidak menjadi pelaku ataupun korban.
Masyarakat juga harus turut andil dalam proses penghapusan kekerasan seksual, dengan tidak melakukan tindakan tersebut dan tidak membiarkan terjadinya kekerasan seksual, tidak mendzalimi korban, serta membantu korban agar mendapatkan hak keadilan, perlindungan, dan pemulihan.
Lebih lagi para ulama juga memiliki peran besar dalam menyebarluaskan narasi keagamaan yang berperspektif keadilan gender, sebagai upaya mencegah segala tindakan kekerasan dengan dalil agama. Pemerintah sebagai ulil amri, bersama dengan legislatif harus segera memberi payung hukum dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat memenuhi hak-hak korban serta upaya pencegahannya, yakni dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual secepatnya. []