• Login
  • Register
Rabu, 4 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Partisipasi Perempuan Minim di Ruang Publik, Bukan Kesalahannya

Tentu, apa pun pilihan perempuan, memilih bekerja di ranah domestik maupun publik, tidak ada yang salah selama dipilihnya secara sadar, tanpa intervensi dari luar dirinya.

Septia Annur Rizkia Septia Annur Rizkia
25/06/2021
in Publik
0
Perempuan

Perempuan

189
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, saya bertemu dan berbincang dengan teman saya. Kami sempat menyinggung persoalan masih minimnya kehadiran perempuan di ruang-ruang publik. Tentu, ini sudah menjadi keresahan kami sejak lama. Hanya, semakin terasa setelah kami sama-sama menempa diri menjadi pekerja lapangan yang sering berjumpa dengan banyak kalangan.

Perbincangan itu  kembali mengingatkan ucapan guru di kala saya masih SD. Katanya, sudah menjadi kodratnya kalau laki-laki lebih rasional dan intelektual dari perempuan. Dibuktikan dengan tokoh-tokoh besar yang menunjukkan semuanya laki-laki

Ucapannya, masih terngiang-ngiang hingga saat ini. Lagi, semasa di bangku kuliah, awal mula saya mulai mengenal yang namanya organisasi kemahasiswaan, saya kerap diberondong pernyataan-pernyataan yang menurut saya mengganjal. Terutama saat saya mulai mempelajari isu-isu tentang kesetaraan gender.

Satu di antaranya, “Perempuan udah dikasih jatah kuota 30% di parlemen saja masih belum pernah terpenuhi. Kesempatan udah ada, malahan banyak. Perempuan udah bisa sekolah tinggi nggak kaya dulu. Tapi emang, perempuannya aja yang menyia-nyiakan kesempatan.”

Dari sini, kalau ada yang masih bilang perempuan selalu benar, tolong dipertimbangkan lagi. Perlu diketahui bersama bahwa di balik fakta masih rendahnya tingkat kehadiran perempuan di ruang-ruang publik, ada persoalan yang melatarbelakanginya hingga saat ini.

Baca Juga:

Luka Cinta di Dinding Rumah: Tafsir Feminis-Spiritual atas Tubuh yang Terlupakan

Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Pastinya, tak sepenuhnya kesalahan perempuan. Kenapa bisa? Sejauh ini, di dunia yang memang masih kental dengan kultur patriarkinya, perempuan masih kerap didomestikasi. Ya memang, saya sepakat kalau tidak ada yang salah dengan pekerjaan domestik. Baik pekerjaan domestik maupun publik, sama-sama membutuhkan curahan waktu dan tenaga.

Yang menjadi persoalan, seperti halnya tadi, yaitu upaya untuk mendomestikasi perempuan. Bagaimana perempuan dipaksa untuk berkutat di sumur, dapur, dan kasur. Seolah-olah sudah menjadi kodrat perempuan. Padahal, makna dari kodrat sendiri ialah yang sudah melekat dan sifatnya given atau terberi.

Kalau semisal pekerjaan domestik itu kodrat perempuan, seharusnya, saat bayi perempuan dilahirkan, mereka sudah membawa alat-alat seperti sapu, kemoceng, wajan, dan sebagainya, karena kodrat itu pemberian Tuhan. Sedangkan sampai saat ini, belum pernah ditemukan bayi lahir membawa alat-alat tersebut. Artinya, domestik bukan kodrat perempuan.

Namun yang terjadi, masih banyak mispersepsi antara kodrat dan konstruksi sosial. Dalam tulisan ini, saya ingin mempertegas kalau partisipasi perempuan di ruang publik masih minim, tentu tak sepenuhnya kesalahan perempuan. Mengapa? Ya, sebab tadi, kerja-kerja domestik selalu dilekatkan pada perempuan.

Baik perempuan lajang maupun sudah berumah tangga, tidak sedikit yang mengalami hal itu. Kala sudah bekerja di ruang publik, tak jarang ketika pulang masih dibebankan pekerjaan rumah. Sedangkan laki-laki, saat sampai rumah terbebas dari pekerjaan memasak, bersih-bersih, dan lain-lain. Padahal semua itu bisa dinegosiasi, didiskusikan, serta dikerjakan bersama. Itu lah yang namanya kesalingan.

Sebuah penelitian mengatakan, di berbagai bidang pekerjaan publik, masih banyak yang bias gender. Sehingga hanya 30% perempuan yang bekerja di bidang teknologi, matematika, dan industri sains. Ditambah peran perempuan sebagai istri dan ibu menjadi penghambat dalam mencapai karier tinggi. Sebab lagi-lagi adanya beban ganda yang menimpa perempuan.

The Conversation juga menjelaskan, banyak perempuan yang berhenti bekerja sebelum mencapai posisi strategis. Sebab perempuan yang memiliki anak biasanya sudah enggak fokus pada karirnya karena pekerjaan merawat dan mengasuh anak identik dengan peran perempuan.

Ditambah, ada sebuah riset juga menunjukkan, dalam pasangan yang sama-sama bekerja, tanggung jawab rumah masih dibebankan secara tidak proporsional pada perempuan. Seakan-akan perempuan telah dibebaskan memilih untuk berada di ruang publik, tetapi di saat yang sama, ia juga dituntut untuk fokus menjadi istri sekaligus ibu.

Selain beban ganda, tulisan di Jurnal Perempuan yang berjudul “Perempuan dan Belenggu Peran Kultural” menyebut, kesempatan yang layak juga menjadi persoalan utama bagi perempuan di dunia kerja. Perempuan selalu diposisikan menjadi inferior dalam dunia kerja. Bukan karena kemampuannya diragukan, tetapi karena kesehatan reproduksinya menjadi alasan utama.

Selanjutnya, persoalan kehamilan, menyusui, mengasuh anak masih menjadi persoalan yang dianggap beban produktivitas kerja. Perempuan terpola dan terpusat pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat menerima perintah, seperti sekretaris, resepsionis, waitrees, atau pembantu rumah tangga

Sungguh, masalah perempuan pekerja sangatlah kompleks. Terlebih jika pekerjaan domestik selalu menghantui langkah perempuan. Ditambah, pilihan bekerja sepenuhnya di ranah domestik masih saja dipandang sebelah mata dan dianggap tidak produktif.

Tentu, apa pun pilihan perempuan, memilih bekerja di ranah domestik maupun publik, tidak ada yang salah selama dipilihnya secara sadar, tanpa intervensi dari luar dirinya. Dan kalau perempuan diberi ruang, akses, serta kesempatan yang sama dengan laki-laki, tentu dengan mempertimbangkan kebutuhan reproduksi perempuan, bukan hal mustahil jika keduanya bisa saling mengisi peran-peran di sektor publik. Wallahu a’lam []

 

Tags: Beban KulturalHak Kesehatan Reproduksi Perempuanpemimpin perempuanPengalaman biologis perempuanperempuanperempuan bekerja
Septia Annur Rizkia

Septia Annur Rizkia

Biasa dipanggil Rizka. Salah satu anggota Puan Menulis, dan pekerja teks komersial.

Terkait Posts

Ibadah Kurban

Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam

4 Juni 2025
Mitos Israel

Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

4 Juni 2025
Trans Jogja

Trans Jogja Ramah Difabel, Insya Allah!

3 Juni 2025
Perbedaan Feminisme

Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis

2 Juni 2025
Teknologi Asistif

Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Haji Pengabdi Setan

    Ali Mustafa Yaqub: Haji Pengabdi Setan dan Ujian Keimanan Kita

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Perintah Menutup Aurat dalam al-A’raf Ayat 31

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ibadah Kurban dan Hakikat Ketaatan dalam Islam
  • Batasan Aurat Perempuan dalam Tinjauan Madzhab Fiqh
  • Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal
  • Ragam Pendapat Ahli Fiqh tentang Aurat Perempuan
  • Mitos Israel di Atas Penderitaan Warga Palestina

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID