Mubadalah.id – Hari Rabu, 14 Juli 2021 yang lalu saya diberi kesempatan untuk mewakili komunitas Puan Menulis pada acara yang dicetuskan oleh Peace Leader Indonesia. Acara yang bertemakan Anak Muda Angkat Suara ini bertujuan untuk mendukung pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Diadakan secara daring, dukungan untuk mengesahkan RUU PKS masih diperlukan usai melihat hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU PKS pada tanggal 13 Juli 2021. RDPU tersebut masih saja berisikan penentangan dari pihak-pihak yang tidak sepakat dengan Rancangan Undang-undang tersebut.
Salah satu pemikiran usang yang keliru dan menghambat proses pengesahan RUU PKS adalah isu dukungan terhadap gerakan LGBT yang seolah-olah menjadi salah satu bahasan utama di rancangan peraturan tersebut. Oleh karena itu, dengan mengadakan acara secara virtual, Peace Leader Indonesia dan 36 lembaga serta komunitas pendukung lainnya berharap dapat memperkuat dukungan untuk mengesahkan RUU PKS.
Pada acara Anak Muda Angkat Suara, diputar video dokumentasi perjalanan pengesahan RUU PKS sejak tahun 2012. Dari tayangan tersebut terdapat informasi bahwa pihak-pihak yang pro dan kontra akan rancangan undang-undang yang diributkan ternyata tidak pernah mendapatkan ruang untuk berdialog. Wajar kalau pengesahan RUU ini alot sekali karena mereka yang mendukung dan melawan tidak pernah dipertemukan. Pihak yang kontra akan selalu melawan sedangkan yang mendukung tidak pernah didengarkan.
Perjalanan pengesahan RUU PKS di tahun yang kesembilan juga membuat saya tercengang. Saya tidak menyangka bahwa perjuangan sosok ibu yang saya miliki dalam feminisme ternyata harus dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Ibu yang saya maksud adalah Gadis Arivia, yang menjadi dosen saya ketika berkuliah di Program Magister Filsafat Universitas Indonesia.
Pada mata kuliah Etika, Ibu Gadis berterus terang pada saya dan teman-teman mahasiswa lainnya bahwa RUU PKS nampaknya tidak mendatangkan keuntungan yang besar bagi para pemegang kekuasaan. Memang miris bahwa bagi para pembesar ada kalanya keuntungan lebih penting daripada kemanusiaan.
Pernyataan Ibu Gadis pada tahun 2015 tersebut seolah-olah diamini pada acara Anak Muda Angkat Suara kemarin. Ruby Kholifah dari AMAN Indonesia dan Nia Sjarifudin dari ANBTI menyatakan bahwa salah satu faktor yang menghambat pengesahan UU PKS adalah kepentingan politik yang bertentangan. Mungkin kepentingan tersebut masih berhubungan dengan keuntungan yang lebih diutamakan daripada keadilan.
Sekarang, enam tahun kemudian, saya ternyata memegang tongkat estafet perjuangan pengesahan RUU PKS yang jika terwujud dapat mewujudkan kepedulian akan kemanusiaan dan membantu banyak orang. Yang membuat saya heran, ternyata memperjuangkan keadilan di negara ini butuh dilakukan secara keroyokan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Kembali ke acara Anak Muda Angkat Suara pada hari Rabu lalu, saya diberi ruang untuk bersuara dan mengutarakan pemikiran. Berikut refleksi perjuangan saya sebagai perempuan di Indonesia:
Menjadi perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia itu sulit dan melelahkan.
Saya ingat suatu saat saya ditegur oleh teman, “ah, elo sih kepinteran” setelah dia bingung menjodohkan saya dengan temannya karena saya berpendidikan. “Memang apa salahnya?” ujar saya kepadanya yang juga perempuan. “Ya perempuan sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya ngelayanin suami. Dari mulai dapur, sumur, dan kasur, kita harus selalu siap. Dan tidak boleh menolak!” Saya lalu menjawab “Oh, kalau sedang tidak sehat juga tidak boleh menolak?”. “Tidak boleh!” ujarnya. Lalu dia melanjutkan pernyataannya dengan dalil haram halal agamanya mengenai suami istri dan sanggama.
Menjadi perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia itu sulit dan melelahkan.
Bayangkan, saya harus berpikir belasan kali untuk memastikan busana yang saya kenakan sesuai dengan lingkungan yang akan saya kunjungi. Bagaimana tidak, salah berpakaian sedikit saja, saya sudah ditelanjangi oleh mata-mata mereka yang hobi memuaskan syahwatnya. Bagaimana tidak, sudah dilecehkan, diperkosa hingga meregang nyawapun, kami pasti akan mendapat pertanyaan “memangnya kamu pakai baju apa?”. Lupakan pameran pakaian korban perkosaan yang tidak ada hubungannya dengan penampilan yang terbuka. Apapun busananya, pasti korban yang disalahkan.
Menjadi perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia itu sulit dan melelahkan.
Di tengah pandemi seperti ini, kelompok minoritas seperti para waria kabarnya sangat sulit mendapatkan bantuan obat-obatan dan pangan untuk bertahan hidup. Mungkin warga masyarakat belum sepenuhnya menerima mereka. Memang kenapa sih dengan mereka yang berbeda dengan kita? Ada manusia yang saya enggan sebut sebagai teman berkata, “ah geli sama mereka yang berbeda, orang-orang kayak gitu kayaknya layak untuk dilecehkan saja”. Gila. Apabila perempuan yang dianggap biasa saja masih sulit mencari pertolongan, lantas mereka yang berbeda harus ke mana? Mereka juga manusia!
Menjadi perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia itu sulit dan melelahkan.
Setengah mati kami berharap pada para petinggi negara untuk membuat aturan yang tegas dan mendukung korban. Apa daya, mereka yang duduk di atas sana memang nampaknya baru akan empati jika sudah jera. Masa iya, mereka harus menunggu orang-orang terdekat dan terkasih mereka untuk menjadi korban sebelum bisa lantang dan ikut berjuang? Saya jadi semakin paham bahwa empati itu hal yang langka apalagi di antara mereka yang punya kuasa.
Menjadi perempuan dan kelompok minoritas di Indonesia itu sulit dan melelahkan. Namun, kami masih punya harapan.
Aturan yang mampu mendukung korban pelecehan seksual pasti akan selalu diperjuangkan. Kami tidak tinggal diam, kami juga akan selalu kawal dan dukung edukasi yang mampu mendekonstruksi pikiran rakyat Indonesia hingga timbul kesadaran, bahwa semua warga setara dibela di mata negara. Perlawanan ini akan selalu kami utamakan hingga Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dikabulkan.
Pengesahan RUU PKS hingga saat ini masih menjadi perjuangan yang menantang. Namun dengan tanggung jawab yang sekarang saya emban, perjuangan ini akan ikut saya teruskan. Karena saya yakin, baik kecil maupun besar, berorasi maupun berkarya, berdemo maupun berdiskusi, apapun bentuk perjuangan kita pasti akan selalu bermakna. Hingga saatnya kekerasan seksual di Indonesia dan dunia dibumihanguskan karena, sesuai dengan pembukaan UUD 1945, tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. []