Mubadalah.id – Fenomena yang masih menggerutu dalam masyarakat sampai sekarang salah satunya adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Dalam hal ini remaja menjadi potensi besar terjerumus perbuatan zina dalam Islam. Dampak yang terjadi kehamilan di luar nikah tidak hanya mengacu pada segi mental maupun sosial.
Kenyatannya sering dikaitkan dengan risiko medis yang berhujung dengan aborsi yang dapat mengakibatkan kesakitan dan berisiko pada kematian. Dengan ini, adanya pernikahan menjadi solusi sumber kebahagiaan dan pertanggungjawaban terkait masalah kesehatan reproduksi baik laki-laki maupun perempuan.
Pasalnya pernikahan adalah moment yang membahagiakan dalam membangun rumah tangga. Dalam kalangan ulama fiqih memberikan definisi pernikahan yang muaranya bersifat biologis yakni kepuasan seksual. Misal saja ulama syafi’iyyah yang mayoritas madzhabnya dianut khalayak Indonesia memberikan definisi pernikahan bahwa suatu perjanjian yang berdampak atas kepemilikan seks (suami dan istri) yang diawali menggunakan kalimat ankah, tazwij, atau kalimah yang sejenis itu. Tentunya hal ini akan berdampak positif bagi kesehatan reproduksi antara suami dan istri, karena disamping membahagiakan juga halal berhubungan.
Secara implisit tujuan adanya pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Dengan ini pilar penyangga rumah tangga harus zawaj yang artinya berpasangan, setara, tidak saling merendahkan dan tentunya sama-sama mengabdi kepada Allah.
Seperti indikasi yang terdapat pada QS. Ar-Rum/30:21 yang artinya : “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.
Ayat diatas mengingatkan bahwa membangun suasana keharmonisan dalam rumah tangga merupakan kewajiban bagi pasangan suami istri. Hal ini tentunya dalam ‘aqdunnikah, yang dilandasi dengan perjanjian yang kokoh, dan antar pasangan keduanya sama-sama menjadi amanah dari Allah maka terbentuklah pernikahan yang sejahtera seperti yang diharapkan dalam Al-Qur’an.
Berangkat dari indahnya pernikahan. Al-Qur’an terlebih dahulu telah merespon terkait masalah kesehatan reproduksi. Misal saja, Al-Qur’an QS. Al-Mu’minun/23:5-6 yang telah menyoroti soal fungsi reproduksi, yang berawal dari menjaga alat kelamin supaya tidak difungsikan tanpa adanya tanggungjawab sehingga hanya memperbolehkan kegunaannya dengan pasangan yang halal (sah).
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ ۙ – ٥اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ – ٦
Yang artinya : “ Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6)”.
Ayat di atas secara tegas memberikan informasi bahwa merawat dan menjaga alat kelamin sebelum melakukan pernikahan. Dengan begitu, Allah sangat memperhatikan hambanya dengan mengingatkan tidak boleh melakukan penyimpangan dalam pesan Al-Qur’an.
Senada dalam tafsir Ibn Katsir menjelaskan bahwa orang-orang yang telah menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram. Sehingga mereka tidak terjerumus dengan hal yang dibenci Allah. Seperti perbuatan zina maupun liwath (homoseksual). Dan mereka hanya mendekati dengan hal-hal yang halal seperti istri-istri sendiri atau budak-budak yang telah dimiliki. Dalam hal ini, barang siapa yang mengerjakan perbuatan halal yang diperintahkan Allah. Maka, tidak ada celaan dan dosa baginya. (Ibn Katsir,2001, 571).
Perintah Allah kepada hambanya merupakan petunjuk yang lurus. Selain mengingatkan menjaga kesehatan, Al-Qur’an mampu menopang berbagai permasalahan. Kendati demikian, sebagai seorang muslim maupun orang yang patut dalam agama harus mampu dalam menjalankan perintah dan tuntunan dalam pedomannya.
Dengan ini, kesehatan fisik maupun mental harus dijaga terlebih masalah kesehatan reproduksi yang dapat mewujudkan keturunan generasi satu ke generasi yang lain. Adanya problem remaja yang terus berkembang terkait hamil pra nikah, maka pihak keluarga maupun lingkungan sekolah menjadi point utama dalam mengawasi dan mendidik.
Terlepas dari itu, pernikahan juga menjadi jawaban dalam merawat kesehatan reproduksi baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi esensi didalamnya yang harus diperhatikan adalah masalah umur dalam melakukan seksualitas dan bertanggungjawab dalam membina rumah tangga. Dengan adanya pernikahan diharapkan kesehatan jasmani maupun rohani menjadi terjaga dan terarahkan. Buah dalam pernikahan sendiri juga dapat berkontribusi menyalurkan kebahagian, kesejahteraan hidup, mudah membangun relasi pada masyarakat, dan terhindar dari adanya fitnah perzinahan.
Hal ini selaras dengan HR.Bukhari : “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya”.(HR.Bukhari No.4779). Wallahu ‘Alam. []