Mubadalah.id – Menjadi seorang feminis itu berat. Alasannya karena selalu dicap sebagai anti laki-laki, pro Barat, dan anti Islam. Padahal ruang lingkup feminisme itu sangat luas, tapi teguh dengan satu nilai yaitu keadilan dan kesetaraan gender.
Bukan lagi menjadi hal baru ketika orang-orang yang menyuarakan keadilan dan kesetaraan gender ini selalu mendapat prasangka. Apakah mungkin karena mereka tidak siap dengan kehadiran perempuan berdaya atau memang tidak siap menghadapi kenyataan kalau gerakan keadilan dan kesetaraan gender ini semakin masif.
Gerakan yang masif ini menandakan bahwa semakin banyaknya orang-orang, khususnya perempuan, yang menyadari kalau ia diperlakukan tidak adil di berbagai ranah. Dari gerakan inilah lahir feminis-feminis baru.
Penggunaan kata feminis dan feminisme untuk saat ini mungkin belum terlalu familiar untuk orang-orang awam. Bisa jadi mereka hanya mendengar kalau feminis itu dari Barat dan anti Islam. Dengan minimnya pengetahuan tentang feminisme dan membawa ranah agama, muncullah paham yang menganggap feminis itu kafir atau dosa.
Padahal jika ingin disederhanakan, feminisme itu berbicara salah satunya tentang batasan peran antara laki-laki dan perempuan. Batasan untuk tidak memaksa laki-laki dan perempuan menjadi orang lain, tapi mendorong untuk melakukan apa yang ingin dilakukan masing-masing. Dalam feminisme ini kita diajarkan untuk menghargai pilihan orang lain, meski berbeda dengan budaya yang berkembang di lingkungan itu misalnya.
Batasan-batasan ini bisa dengan mudah dibangun jika kita bisa memahami kalau setiap manusia itu memiliki hak untuk merdeka atas dirinya sendiri. Tidak lagi dibelenggu dengan batasan-batasan yang hanya menguntungkan satu pihak sedangkan pihak yang lain merugi.
Kekeliruan dalam Memahami Feminisme
Gerakan feminisme yang menggaungkan batasan peran antara laki-laki dan perempuan ini seringkali disalahpahami sebagai anti laki-laki. Ini karena para feminis selalu berbicara bahwa memasak, menikah, tidak menggunakan riasan, dan aktivias lainnya yang identik dengan perempuan ini adalah bagian dari pilihan hidup.
Berbagai aktivitas yang sudah biasa dilakukan perempuan ini, jika tidak kita tunaikan dianggap salah jalur bahkan berdosa. Inilah kekeliruan yang dicerna oleh mereka yang menstigma feminisme sebagai pemikiran Barat atau kafir.
Adapun stigma terhadap feminisme ini berpengaruh terhadap aktivitas para feminis. Misalnya ketika kita menyuarakan kalau memasak itu bukan tugas utama perempuan, maka kita dianggap benci atau tidak suka memasak. Padahal poin utama yang ingin disampaikan ialah memasak itu bukan tuntutan untuk perempuan, melainkan survival skill yang perlu dimiliki semua orang.
Kemudian ketika feminis berbicara tentang pernikahan dan tidak punya anak itu sebagai pilihan hidup, malah dianggap anti pernikahan dan tidak menunaikan ajaran agama. Hal yang perlu digarisbawahi, dalam ajaran Islam saja kita diberi kehendak bebas untuk menikah dan meneruskan keturunan. Oleh sebab itu yang ingin kami suarakan tentang pernikahan dan keturunan ini ialah bukan merupakan keharusan atau kewajiban, tapi pilihan.
Selain itu, feminis juga cukup bold berbicara tentang hak perempuan dalam berpenampilan. Ketika perempuan dituntut dengan berbagai standar kecantikan dan standar berpakaian agar tidak memfitnah laki-laki, kami mengonternya agar perempuan bisa menggunakan riasan dan pakaian sesuai kenyamanannya.
Cara berpakaian dan berdandan perempuan bukanlah hal yang dilakukan untuk menyenangkan mata laki-laki, melainkan untuk kenyamanan, kepuasan, dan kesenangan pribadi perempuan itu sendiri. Jadi, bagaimanapun kami berpakaian itu adalah bagian dari hak kami dalam mengekspresikan diri sendiri.
Feminisme tidak hanya berbicara tentang batasan peran perempuan, tapi juga batasan peran laki-laki. Misalnya ketika laki-laki dituntut untuk selalu kuat dan harus menjadi pemimpin, tapi secara personal ia tidak mau dan tidak mampu, maka kita tidak perlu memaksanya. Lebih baik kita menghargainya, karena laki-laki juga sama-sama manusia yang memiliki kehendak bebas.
Dengan begitu, feminisme ini tidak hanya menguntungkan perempuan. Feminisme terkadang distigma hanya untuk memperjuangkan keadilan perempuan, padahal memperjuangkan keduanya. Feminisme hadir untuk menggebrak pemikiran patriarki yang selama ini tidak adil bagi laki-laki dan perempuan.
Feminisme juga terkadang dianggap melawan ajaran agama. Padahal yang dikonter adalah budaya patriarki yang membawa ranah agama yang dikaitkan dengan kewajiban dan dosa. Ajaran Islam sendiri bagi saya sangat ramah dengan keadilan dan kesetaraan gender dan tidak semudah itu mengklaim seseorang berdosa.
Itulah beberapa kekeliruan tentang feminis dan feminisme yang selama ini masih beredar di lingkungan yang patriarki. Kekeliruan ini selalu berbicara tentang bagaimana peran laki-laki dan perempuan dalam ranah domestik dan publik, keharusan atau kewajiban dan pilihan, serta dosa dan pahala. Semua ini kami pelajari dalam feminisme agar menjadi adil dan setara gender.
Bagi saya sendiri, menjadi seorang feminis itu tantangan sekaligus kesyukuran. Bersyukur bisa berkumpul bersama perempuan yang memiliki visi dan misi yang sama dalam menyebar keadilan dan kesetaraan gender di lingkungan yang masih kental dengan budaya patriarki. Bersyukur juga memiliki support system yang tepat saat merasa direndahkan karena berjenis kelamin perempuan. Namun, tantangan terbesarnya ialah ketika dikaitkan dengan persoalan dosa, seolah feminisme itu kejahatan padahal feminisme penuh dengan keadilan. []