Mubadalah.id – Hari-hari ini, ramai soal Permendikbud PPKS yang dianggap oleh sejumlah politikus DPR dan ormas Islam sebagai peraturan yang membolehkan zina lantaran ada konsep suka sama suka (konsensual/consent), dan dianggap tidak dilandasi nilai agama. Sebenarnya landasan yang terdapat pertentangan oleh kalangan di atas, tidak lebih konsep persetujuan atau penolakan yang sudah kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam fenomena kecil, misalnya. Ketika ada seorang teman meminjam buku. Etika yang harus dilakukan dalam meminjam buku ialah menunggu persetujuan dari pemilik, apakah buku tersebut boleh dipinjam atau tidak.
Kehidupan dalam keluarga, misalnya. Meminta izin dan persetujuan untuk memakai barang salah satu anggota keluarga sudah kita terapkan dalam keseharian, sebagai bentuk menghargai kepemilikan orang lain. Jika memakai barang milik orang lain tanpa izin itu artinya tidak sopan, bahkan dalam Islam disebut Ghasab.
Saya rasa, pedoman hidup meminta persetujuan semacam itu tidaklah tabu untuk kita terapkan dalam term kehidupan apapun dalam masyarakat Timur, termasuk bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain secara intens, dalam arti relasi laki-laki dan perempuan, khususnya hubungan yang tidak dilandasi dengan pernikahan.
Batasan diri
Dalam konsep persetujuan, masing-masing dalam diri kita seharusnya memiliki batasan diri. Dalam term kehidupan secara luas, batasan diri ini penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Sebab dengan batasan diri, kita memiliki panduan untuk menjalani kehidupan yang serba dinamis. Misalnya dalam konteks kehidupan yang sederhana, kita berhak memilih berteman dengan siapa saja, berhak membaca buku apa saja, berhak menolak permintaan orang lain, sekalipun ia adalah orang terdekat.
Batasan diri berarti kita membuktikan bahwa kita memiliki kuasa atas diri kita sendiri, dengan pengenalan yang intens terhadap diri. Dari pengenalan tersebut, itu artinya kita mengetahui kekuatan, kelemahan yang ada dalam diri, sehingga terciptalah batasan diri tersebut.
Batasan diri memiliki jenis-jenisnya, diantaranya: batasan fisik, intelektual, emosional, seksual, material, waktu dan dunia digital. Dengan demikian, batasan diri kita perlukan untuk menolak terhadap segala hal yang tidak sesuai dengan pandangan kita. Sikap penolakan ini penting untuk dilakukan oleh kita.
Terkadang kita kehilangan kuasa untuk menolak, karena rasa tidak enak, sungkan, ingin membuat senang orang lain, atau apapun. Ini yang menjadi problem kita ketika pada kenyataannya kita melakukan sesuatu atas dasar ekspektasi orang lain.
Penolakan semacam itu bisa juga dalam konteks relasi dengan orang lain, bagaimana kita untuk menolak melakukan kegiatan yang kita anggap tidak baik, seperti melakukan aktifitas seksual di luar pernikahan. Dalam persoalan seks, sexual consent ini dilakukan oleh orang sudah dewasa, memiliki pemikiran yang matang dan pertimbangan yang cukup ketika melakukan hubungan seks di luar nikah.
Tentunya, setiap orang mengetahui betul bahwa seks di luar nikah tidak diperbolehkan oleh agama, lebih dari itu budaya kita menganggap bahwa perilaku tersebut adalah perbuatan asusila. Akan tetapi, konsep sexual consent mengandung makna yang lebih luas tentang penghargaan kemanusiaan, bahwa tubuh adalah hak milik penuh seseorang. Dengan demikian, tidak ada hubungannya seks bebas dengan menerapkan sexual consent.
Penjelasan di atas diperkuat oleh Donna Freitas dalam bukunya Consent on Campus yang dilansir dari Magdelene.id, bahwa pemahaman tentang consent juga melampaui aspek intimasi seksual dari pihak yang terlibat. Dengan demikian, consent atau persetujuan menjadi budaya berbasis etika dalam menghargai pasangan.
Pendidikan seks dan pendidikan agama sejak dini
Dalam konteks di atas, konsep consent atau persetujuan seharusnya dipahami sebagai kebebasan kepemilikan tubuh seseorang dan kuasa dirinya terhadap tubuh tersebut. Jika mengacu pada pemberian kebebasan untuk melakukan seks bebas, semua itu akan kembali pada pilihan individu untuk melakukan aktivitas seks di luar nikah.
Meskipun demikian, pendidikan seks dan pendidikan agama yang diberikan sejak dini dalam lingkungan keluarga, masyarakat, khususnya pesantren menjadi salah satu bekal seseorang untuk memilih kehidupan, termasuk memilih untuk melakukan aktifitas seks di luar nikah.
Dengan mengacu pada sikap menentukan batasan diri, yang disertai dengan pendidikan seks dan pendidikan agama yang diberikan sejak dini, individu akan memiliki pilihan untuk menerima, menolak melakukan hubungan seksual di luar nikah. Maka seyogyanya sebagai orang tua, memberikan kepercayaan kepada anak yang sudah diberikan pemahaman pendidikan seksual dan pendidikan agama, merupakan sebuah penghargaan terhadap dirinya sebagai manusia. []