Mubadalah.id – Sebuah pesan perjodohan berantai masuk ke wag keluarga. Pesannya kurang lebih begini. “Assalamu’alaikum. Mohon maaf, minta informasi adakah saudara, teman atau tetangga yang sarjana, juga penghafal alqur’an, berjenis kelamin perempuan. Domisili di sekitar Cirebon atau Indramayu, untuk dijadikan menantu. Terimakasih. Wassalamu’alaikum.”
Setelah membaca pesan tersebut, iseng saya melontarkan sebuah tanya, seperti apa sih laki-laki yang minta dicarikan calon istri dengan kriteria di atas. Atau seperti apa orang tua serta keluarga dari si pengirim pesan. Mencari menantu, sampai menentukan kriteria-kriteria, yang seakan melanggengkan stigma bahwa perempuan dicari, bukan mencari. Perempuan si pasif yang tak mampu menentukan pasangan hidup, bahkan arah masa depannya sendiri.
Tradisi perjodohan memang telah usang, namun tak pernah lekang oleh zaman. Bahkan seringkali dikaitkan dengan roman klasik Indonesia Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya legendaris Marah Rusli. Meski kisah Sitti Nurbaya berakhir tragis, karena semua tokoh utama diceritakan mati semua, namun dari roman ini kita belajar bagaimana perjodohan terjadi yang membuat perempuan terjebak dalam posisi tak punya pilihan lain, selain menikah dengan orang yang telah ditentukan oleh pihak keluarga.
Apalagi dalam tradisi juga dikenal dengan istilah “paku; ora papak, ora diaku” yang artinya jika tidak setara secara sosial ekonomi, maka tidak akan dianggap. Hal-hal seperti ini yang kerap membebani langkah perempuan muda ketika dihadapkan pada dilema, menunggu proses perjodohan antara orang tua dan keluarga, atau aktif mencari jodoh dengan mendesak laki-laki yang sedang dekat kini untuk meminta kepastian menikah.
Ahmad bin Hijazi Al-Fasyani, yang saya lansir dari bincangsyariah.com, memberi catatan penting tentang perjodohan dalam kitab Mawahib as-Shamad. Ia menjelaskan agar proses perjodohan sebaiknya tidak sampai melahirkan perseteruan antara orang tua dan anak.
“Ketahuilah, (dalam perjodohan ini) tidak boleh ada permusuhan lahir antara anak gadis, dan ayah atau kakeknya.”
Maka dari itu, orang tua harus memperhatikan jawaban sang anak. Apabila sang anak diam, maka itu merupakan sebuah jawaban yang sudah jelas, ia menerima perjodohan orang tuanya.
Hadis Rasul SAW yang dikutip Ahmad Hijazi dalam kitab yang sama menyebutkan sebagai berikut:
“Gadis itu perlu dimintakan pendapatnya. Jawaban persetujuannya dinilai dari diamnya.” (HR Muslim.)
“Gadis itu, lanjut Ahmad Hijazi, setuju tawaran orang tuanya dinilai dari senyumnya atau menangis haru. Namun, kalau anak gadisnya menangis yang disertai teriak histeris atau memukul pipi, maka itu menunjukkan sang gadis tidak ridla dengan tawaran orang tuanya.”
Apabila seorang anak tidak ridla dalam sebuah perjodohan, maka anak tersebut akan menyesali keputusan orang tuanya seumur hidup.
Jika menilik pengalaman sendiri, saya pernah dihadapkan pada dua pilihan di atas. Menyerahkan soal perjodohan pada keluarga, dengan mengajukan syarat ada proses ta’aruf untuk saling mengenal, dan memberikan saya keleluasaan untuk boleh bertanya apa saja pada calon pasangan. Karena masa depan adalah milik saya sendiri, maka saya yang berhak menentukan dengan siapa saya akan menghabiskan sisa waktu usia.
Mengapa hal itu penting? Karena saya berpikir, bagaimana nanti bertemu orang yang sama, dari pagi hingga malam kembali, tanpa rasa bosan. Pun ketika ada rasa kesal, kecewa, marah atau emosi negatif lainnya yang pasti akan terjadi dalam setiap konflik keluarga, melihat bagaimana kedewasaan sikap dan stabilitas emosi calon pasangan. Iya, ini kunci untuk memulai proses ta’aruf.
Selain itu, saya juga ingin melihat bagaimana kesungguhannya dalam menata masa depan berdua, karena masa depan rumah tangga yang dibangun tidak hanya milik laki-laki, atau keluarga dari pihak laki-laki saja. Tapi ada masa depan perempuan yang juga harus tetap diperjuangkan. Seperti melanjutkan pendidikan, bekerja atau berorganisasi.
Ketika dalam proses ta’aruf itu tidak menemukan titik temu. Saya mencoba membuka diri menerima perkenalan dengan beberapa laki-laki, baik yang saat itu sama-sama aktif di organisasi, di kampus maupun yang dikenalkan oleh keluarga terdekat. Pola yang saya lakukan tetap sama, melihat bagaimana keteguhan sikap laki-laki, apakah ia tipikal orang yang serius merencanakan masa depan, ataukah menganggap relasi dengan perempuan sebatas permainan.
Sikap tegas itu menurut saya penting, bagaimana memposisikan diri sebagai perempuan ketika memandang relasi dengan lawan jenis. Sebatas teman, teman dekat, atau teman yang ingin lebih dekat. Dengan membuat garis tegas tersebut, antara laki-laki dan perempuan tetap bisa saling menjalin relasi dengan nyaman.
Kembali pada soal perjodohan, saya teringat sebuah kalimat indah dari Ibu Nyai Awani Amva pada peringatan Maulid Nabi di tahun 2019 silam. “Jika kamu menginginkan istri seperti Sayyidah Khadijah, maka Muhammad-kan dirimu.” Kalimat tersebut tentu sangat relevan untuk para laki-laki yang menginginkan calon istri sempurna bak bidadari surga, sementara perilaku dan moral sendiri tidak dijaga.
Pun sama halnya untuk para orang tua atau keluarga yang sedang mencarikan jodoh untuk anak-anaknya. Ingatlah bahwa masa depan anak, merekalah yang tentukan sendiri, karena mereka jua yang akan menjalani. Jangan sampai rumahku surgaku yang didamba dalam keluarga, malah neraka yang terasa.
Memasang target terlalu tinggi pada perjodohan, pada akhirnya menjadikan pernikahan hanya sekedar ajang untuk bisnis semata, dengan alasan memperkuat relasi antar keluarga, menaikkan status sosial, dan memperbanyak deretan harta. Pernikahan tak lebih sebatas simbolis belaka, tanpa cinta, dan hilang makna. []