“Bagaimana mungkin aku mencintai laki-laki yang sudah memiliki istri?” (Kartini)
Mubadalah.id – Seorang perempuan dari zaman kolonialisme telah lantang menolak dipersunting laki-laki beristri. Ia kukuh berdiri di atas pendapatnya. Pantang bagi seorang perempuan berpendidikan untuk dijadikan madu. Ia adalah Kartini, seorang Raden Ajeng yang tumbuh dalam pingitan dan meninggal saat melahirkan.
“Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu.” (Gusti Nurul)
Seorang lagi perempuan putri keraton memiliki prinsip tegas anti poligami. Kecantikan dan kecerdasannya memikat banyak lelaki. Ia menolak lamaran HB IX hingga Soekarno. Ia tak mau menjadi madu.
Belum habis resah yang timbul setelah narasi menayangkan video tentang mentor poligami, hari ini kita kembali dikejutkan dengan berita poligami di kalangan ASN. ASN loh, ini. Di hari-hari yang dekat dengan hari ulang tahun Korps Pegawai Negeri. Dan sayangnya kenyataan itu memang ada di sekitar kita.
Kita mungkin sulit mencegah laki-laki yang memiliki pemikiran serupa untuk tidak berpoligami. Yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya adalah dengan menjadikan perempuan-perempuan untuk berdaya dan teguh pada prinsipnya. Agar tak mau dimadu, tak bersedia dinikahi laki-laki beristri. Karena, selama ada perempuan yang bersedia dinikahi laki-laki beristri, praktik poligami yang tidak bertanggung jawab akan tetap langgeng.
Lantas, bagaimana caranya?
Kita akan melihat akar permasalahannya. Setidaknya ada tiga alasan mengapa seorang perempuan bersedia dinikahi laki-laki beristri.
Pertama. Sebagian perempuan lebih mendambakan memiliki suami yang mapan daripada membuat dirinya sendiri mapan secara finansial. Padahal, sudah saatnya perempuan sadar. Ia punya potensi yang sama dengan laki-laki untuk membuat dirinya mapan. Ia bisa menempuh pendidikan tinggi lalu memperoleh pekerjaan sesuai bidangnya. Atau merintis usaha dari kecil lalu mengembangkannya. Ia sungguh punya potensi untuk itu.
Jika seorang perempuan telah mencapai kemandirian finansial, ia tak perlu bergantung lagi kepada orang lain. Ia bisa berdiri di atas kakinya. Ia tak perlu menjadi simpanan, selingkuhan, atau bahkan perebut suami orang. Mustahil baginya akan bersedia dimadu dengan alasan harta yang melimpah yang dimiliki calon suaminya. Harta tak lagi menarik baginya. Karena ia telah memilikinya.
Beberapa waktu lalu, pernah beredar juga berita tentang seorang istri yang mencarikan istri bagi suaminya. Nah, lo. Alasannya karena ia butuh kawan untuk mengelola bisnis suaminya. Dalam hal ini, poligami menjadi trend untuk berbagi bisnis. Lagi-lagi masalah harta. Andai calon istri keduanya telah mandiri secara finansial, ia pasti punya alasan kuat untuk menolaknya. Ia telah sibuk mengelola bisnisnya sendiri. Sehingga tak perlu menjadi istri kedua untuk dapat mengelola bisnis.
Kedua. Ada masalah prestise yang masih dianut oleh sebagian masyarakat. Dinikahi seorang Kyai atau ustad yang memiliki ilmu tinggi adalah sebuah prestise. Dinikahi orang yang berpengaruh di masyarakat seperti pemimpin pesantren adalah sebuah prestise.
Kita ingat kembali kasus Syekh Puji yang menikahi seorang perempuan berusia 12 tahun. Saat itu media gempar, masyarakat ikut mengutuk. Tapi mereka bisa apa? Keluarga si adik perempuan terlanjur memandang Syekh Puji sebagai orang terhormat di kalangan mereka. Ia adalah Kyai di sebuah pesantren dan tentu saja memiliki harta yang cukup melimpah.
Istri keempat (atau lebih tepatnya keenam) dari Kyai Hafidin adalah salah satu santri dari Kyai Hafidin. Dalam kultur pesantren, seorang Bu Nyai (istri dari Kyai) akan sangat dihormati. Sebagian besar karena ilmunya, sebagian lain mungkin karena gelarnya.
Ia yang sebelumnya hanya seorang santri terbaik, kini mendapatkan gelar Bu Nyai atau istri Kyai. Ia mendapatkan prestise. Meskipun itu harus ia tempuh dengan menjadi madu. Ia akan dipanggil Bu Nyai oleh kawan-kawannya yang masih nyantri dan menuntut ilmu. Seperti kasus Syekh Puji, ayah ibu dari istri keempatnya juga mendukung hal ini.
Bagaimana mencegah hal ini? Lagi-lagi jadilah berdaya. Sadarlah bahwa prestise atau tahta tak dibawa mati. Tak perlu berlebihan dalam mengagumi manusia. Mereka semua setara. Pahamilah bahwa mereka juga punya banyak kekurangan.
Tentu cukup sulit apabila kita tumbuh di masyarakat yang menganggap prestise adalah segalanya. Jika kamu berada di antara masyarakat yang masih menggilai prestise, keluarlah dari lingkunganmu. Cari support sistem yang akan mendukung pilihanmu untuk berdaya.
Ketiga. Para perempuan yang bersedia dinikahi laki-laki beristri, atau para istri yang bersedia memberi izin kepada suaminya untuk poligami biasanya diiming-imingi surga. Katanya akan ada jaminan surga bagi mereka Maka muncullah judul film yang cukup fenomenal: Surga yang tak dirindukan. Pertanyaanya, mengapa surga jadi tak dirindukan?
Lagipula, siapa yang menjamin bahwa di akhirat nanti para perempuan tadi benar-benar mendapatkan surga? Andai kita ingat cerpen karangan A.A. Navis dengan judul Robohnya Surau Kami. Siapa yang menjamin orang paling bertakwa sekalipun akan masuk surga? Jika ia tak masuk surga, lantas ia harus menuntut kepada siapa?
Ada banyak ibadah yang akan mengantarkan kita kepada surga. Berbakti kepada orang tua, seperti Uwais al Qorni misalnya. Atau mendirikan yayasan khusus anak-anak yang tidak mampu. Mengajarkan ilmu jariyah atau mengamalkan harta. Begitu banyak jalan menuju surga. Kita bisa memilih jalan yang kita sanggupi. Agar kelak saat menempuh jalan itu tetap bisa bersuka cita tanpa ada ratapan surga yang tak dirindukan.
Lagi-lagi saya mengutip kalimat Kartini.
“Agama memang menjauhkan kita dari dosa. Tapi, berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama?”
Sungguh tak pantas menjadikan agama sebagai tameng bagi diri setiap orang akan pilihannya. Mengabaikan perasaan orang lain yang sakit akibat pilihan kita dengan alasan didukung agama.
Nabi saw memang berpoligami. Namun, di samping alasan-alasan syari yang telah kita tahu, Rasulullah saw telah menjalankan monogami bersama istri pertamanya. Jauh lebih lama daripada waktu untuk poligami. Lagipula kita perlu melihat sebab turunnya ayat Al Quran yang selama ini dipandang mendukung untuk memperbanyak jumlah istri. Ayat Al Quran saat itu turun justru untuk mempersedikit jumlah istri. Kala itu, banyak orang memiliki belasan istri. Lalu ayat ini datang untuk membatasi jumlah istri mereka menjadi empat saja.
Terakhir, untuk para perempuan. Jadilah berdaya, mandirilah secara finansial. Tak perlu menggantungkan kehormatan pada prestise yang dimiliki oleh tokoh agama atau masyarakat. Dirimu sudah cukup, sudah sangat berharga. Kau mampu untuk berdiri sendiri tanpa perlu menggantungkan dirimu kepada orang lain, apalagi laki-laki beristri. Percayalah, sungguh masih ada laki-laki yang akan menjadikanmu satu-satunya dan selamanya. Dan percayalah itu sungguh lebih membahagiakan. []
*)Disarikan dari Forum Diskusi Online HMI Korkom UIN Suka Jogja pada tanggal 28 November 2021. Dengan pembicara: Dr. Sri Wahyuni, Muallifah, dan Siti Izha Nurdianti.