Mubadalah.id – Di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi perempuan, diperlukan berbagai ikhtiar untuk turut serta melakukan perubahan, dalam hal ini mengubah kehidupan sosial menjadi lebih adil dan setara. Dalam kehidupan masyarakat muslim yang modern, persoalan-persoalan perempuan di akar rumput tampaknya masih belum bergeser dari isu-isu domestik hingga perluasan peran perempuan lainnya.
Perempuan seringkali terjerat dan terjebak dalam ruang kosong ketika dihadapkan pada berbagai permasalahan sosial, keluarga, hingga personal. Tata nilai yang dianut, kebiasaan dan budaya yang dipegang Tak jarang membuat kaum perempuan lebih sering “mengorbankan diri” demi sebuah keteraturan sosial, termasuk di dalam keluarga.
Maka, hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas kaum perempuan agar dapat secara aktif turut serta dalam menawarkan berbagai solusi, membangun pengetahuan yang memadai, serta memberdayakan, khususnya bagi kaum perempuan marginal.
Ulama perempuan merupakan stakeholder penting dalam setiap gerakan sosial, khususnya di pedesaan. Meminjam istilah Clifford Geertz, seorang Antropolog Amerika, yang menempatkan kiai/ulama sebagai cultural broker, sebuah istilah yang mengacu pada bagaimana tokoh agama berperan memediasi, menghubungkan, menjembatani orang atau kelompok orang dari berbagai latar belakang, dengan tujuan untuk mengurangi konflik atau melakukan perubahan.
Oleh karena itulah, sebagai bagian dari ikhtiar meluaskan peran dan kaderisasi ulama perempuan, Fahmina Institut sebagai bagian dari jejaring KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) melakukan berbagai pelatihan pengkaderan yang menyasar para ibu nyai pesantren, tokoh perempuan muda hingga para ustazah/mubaligah yang memimpin komunitas/majlis taklim, khususnya di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Kegiatan tersebut bernama Dawrah Kaderisasi Ulama Perempuan (DKUP). Para ibu Nyai peserta DKUP umumnya merupakan pemimpin pesantren dan majlis taklim yang berbasis di pedesaan, dengan latar belakang santri dan jamaah yang beragam, baik dari segi usia maupun pendidikannya. Dengan demikian, terdapat sejumlah kekayaan informasi dan pengetahuan bagaimana para ibu Nyai bergerak di masyarakat.
Refleksi DKUP dan Perubahan Diri
Berdasarkan hasil refleksi Alumni DKUP Jabar-Jateng, 7-8 Februari 2022 lalu, terdapat sejumlah catatan penting bagaimana para ibu Nyai bergerak di masyarakat setelah mengikuti DKUP ini. Pertama, pelatihan DKUP telah menjadi ruang bagi lahirnya pengetahuan baru terkait relasi kesetaraan gender, khususnya dalam perspektif Islam.
Di sini, pengetahuan baru lahir dari kekayaan cara pandang tentang perempuan. Kedua, para ibu Nyai juga menerapkan strategi yang lebih adaptif dalam menyampaikan dakwahnya di masyarakat, khususnya dalam menyampaikan isu-isu terkait relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun di tengah masyarakat.
Dalam hal ini, diperlukan bahasa ucap dan penyampaian yang sederhana yang mudah dipahami oleh kalangan jamaah pada kelompok masyarakat bawah. Mereka tidak mungkin menggunakan konsep gender yang rumit dan sophisticated. Dengan demikian, para ibu Nyai memiliki keahlian dalam penyampaian isu-isu yang rumit dalam bahasa yang lebih aplikatif dan mudah dipahami.
Ketiga, para ibu Nyai memiliki metode yang lebih kreatif dalam membangun kesadaran dan pengetahuan tentang relasi laki-laki dan perempuan yang lebih adil serta merespon masalah sosial lainnya. Tidak hanya menggunakan metode-metode konvensional, para ibu Nyai muda misalnya, menggunakan platform media sosial Instagram dengan konten-konten yang menarik untuk menyajikan wacana alternatif tentang Islam yang ramah dan rahmah, bukan Islam yang sering digambarkan dengan amarah.
Keempat, para Ibu Nyai juga aktif membangun komunitas dan jejaring di lingkungannya. Bahkan, ada juga yang membangun komunitas secara online, dengan membuat kelas-kelas online untuk berbagi pengetahuan bersama. Dengan kata lain, DKUP telah memberikan inspirasi bagi sebuah gerakan perempuan, yang dimulai dengan gerakan kecil di komunitas.
Analisis Sosial dan Ruang Aman Perempuan
Kemampuan melakukan analisis sosial sangatlah penting bagi para Ulama perempuan, agar mereka semakin mampu memahami, mendalami, dan mencari solusi atas berbagai persoalan yang dialami perempuan.
“Pengalaman Perempuan adalah pengetahuan” merupakan jargon penting dalam melakukan analisis sosial dalam menggali, mengedukasi, dan mengadvokasi kaum perempuan. Selama ini, dalam kehidupan sosial sehari-hari, dalam pengambilan kebijakan, penyediaan layanan publik, dan keputusan-keputusan penting lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seringkali pengalaman perempuan diabaikan.
Mereka tidak pernah bertanya apa yang menjadi kebutuhan perempuan. Perempuan yang memiliki pengalaman biologis, psikologis dan sosial yang khas kurang dipertimbangan dalam proses pembangunan. Misalnya, kebutuhan untuk menyusui, mengganti popok, mengasuh balita di ruang-ruang publik, tidak diakomidir secara khusus. Baru sebagian kecil pelayanan publik yang memperhatikan kebutuhan khas perempuan tersebut.
Ada cerita menarik dari fasilitator, mbak Desti, ketika menjelaskan bagaimana kebijakan pemerintah yang tepat hanya dapat diketahui dari suara dan pengalaman perempuan. Dalam sebuah riset di NTT, pemerintah hendak memberikan bantuan kepada masyarakat.
Tentu saja, dalam situasi seperti ini kaum perempuan tidak pernah dilibatkan atau tidak ditanya apa yang menjadi kebutuhan mereka. Kaum perempuan di sana yang umumnya mengelola hasil penjualan bumi mengeluhkan bahwa bila hasil bumi tidak dapat terjual dengan baik, maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Maka, bagi mereka, bantuan berupa akses jalan yang baik lebih dibutuhkan daripada jenis bantuan lainnya, agar para suami mereka dapat menjual hasil bumi. Di sinilah, peran penting pengalaman perempuan untuk didengar suaranya, agar pihak-pihak yang berkepentingan yang mengambil kebijakan yang tepat.
Dalam berbagai keadaan, perempuan memiliki kekuatan yang besar dalam kemampuannya berpartisipasi secara sosial. Mereka juga adalah kelompok masyarakat yang tangguh dan senantiasa bekerja sama dalam menghadapi berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat.
Namun demikian, masih terdapat sejumlah persoalan perempuan yang rumit dan kompleks di sekeliling kita. Ada yang secara langsung bisa kita dengar dan kita lihat, tetapi yang tersimpan atau tersebunyi jauh lebih banyak. Kenapa demikian? Karena kaum perempuan seringkali menyimpan berbagai persoalan kompleks dalam hidupnya untuk dirinya sendiri. Ia tak punya ruang yang cukup aman untuk berbagi. Ia tak punya tempat yang cukup untuk bercerita tanpa ada yang menghakimi. Tak ada orang yang mendengarkan dengan cukup empati, tanpa menggurui.
Oleh karena itu, menciptakan ruang aman bagi kaum perempuan menjadi tugas bersama sehingga mereka dapat menyampaikan persoalan-persoalan sosial, keluarga hingga personalnya secara terbuka. Salah satunya, dapat dilakukan dengan menjadikan majlis taklim menjadi ruang aman bagi perempuan untuk berbagi. Di majlis taklim, para Ibu Nyai merupakan sosok yang memiliki otoritas keagamaan yang besar sehingga mereka menjadi sosok yang paling didengar suaranya oleh masyarakat.
Maka, peningkatan otoritas ulama perempuan, serta penguatan kapasitas individu-individu para ulama, dapat meningkatkan peran mereka dalam membantu mencarikan solusi atas berbagai persoalan perempuan di tengah masyarakat.
Gerakan Sosial Komunitas
DKUP adalah sebuah wasilah, sebuah ikhtiar yang dapat membukakan jalan bagi terbukanya ruang-ruang kaum perempuan secara lebih luas. Para kader ulama perempuan, sejauh ini sudah memiliki keilmuan yang cukup otoritatif dan menjadi penggerak perubahan di lingkungan sosial atau komunitasnya.
DKUP menjadi jalan bagi banyak ulama perempuan atau kader ulama muda menjadi lebih percaya diri untuk semakin menguatkan peran mereka di tengah komunitas, untuk mengawal dan mempelopori gerakan sosial pada level yang paling bawah, yakni gerakan sosial di komunitas mereka. Gerakan-gerakan ini dapat terus membesar dan masif ketika semua kelompok bergerak bersama-sama, untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih adil dan setara. []