Mubadalah.id – Pernikahan merupakan suatu ibadah terpanjang. Sebagian masyarakat menganggap bahwa pernikahan sebagai hubungan antara dua orang yang didasarkan pada hak dan kewajiban timbal balik antara pasangan. Dengan demikian, pernikahan sebagai gerbang awal membangun rumah tangga perlu menerapkan 6 prinsip penting keluarga perspektif Kitab Sittin ‘Adliyah.
Dalam hal ini kunci prinsip penting keluarga adalah apabila antar pasangan baik suami maupun istri menerima kekurangan maupun kelebihan masing-masing. Tidak hanya itu kata “saling” juga harus diterapkan dalam rumah tangga, saling menyayangi, mencintai, pengertian, memaklumi, bahkan saling bahu membahu menyelesaikan pekerjaan. Dampak adanya kebahagian dalam keluarga juga menjadikan anak-anaknya nanti meniru dengan apa yang telah dilakukan oleh ayah maupun ibunya.
Sifat saling terbuka antar pasangan dengan mengedepankan konsep wa’asyiruhunna bi al-ma’ruf dapat menjadi salah satu prinsip penting keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, wa mubadalah. Bagaimana mengaplikasikan rumah tangga bahagia, juga belajar dalam melawan ego masing-masing supaya membuahkan sifat antar pasangan yang saling welas asih. Sehingga pernikahan sesungguhnya melatih kebiasaan mempunyai sikap yang tidak baik beralih menjadi positif.
Prinsip Penting Keluarga Perspektif Kitab Sittin ‘Adliyah
Selain itu, terdapat berbagai cara dalam mengungkapkan apa saja yang harus diimplementasikan dalam prinsip penting keluarga, tetapi disini penulis menemukan 6 prinsip penting keluarga yang harus diketahui bagi pasangan suami istri, baik yang baru menikah, atau pun pasangan suami sitri yang sudah lama menikah. Adapun prinsip-prinsipnya sebagai berikut :
Pertama, saling menghormati. Seperti yang diungkapkan di atas, adanya sikap kesalingan dalam rumah tangga adalah bagian yang harus dipahami. Sebagai bentuk adanya relasi timbali balik, bukan hanya istri yang diwajibkan patuh pada suami, akan tetapi kedua-duanya. Sehingga saling menghormati akan menumbuhkan cinta dan kasih.
Kedua, tidak boleh melakukan kekerasan. Islam melarang keras semua bentuk kekerasaan, apalagi terkait kekerasan fisik yang dilakukan suami kepada istri. Atau sebaliknya, istri terhadap suami, yang mungkin saja bisa terjadi. Hal tersebut jelas mencerminkan suami istri yang tidak menjalankan peran muslim secara baik.
Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat beresiko tinggi diantaranya adalah di samping secara fisik, juga psikis dengan rasa trauma yang berkepanjangan. Sehingga dikhawatirkan akan memengaruhi kesehatan mental. Konteks ini juga berlaku bahwa seorang istri tidaklah boleh melakukan kekerasan kepada suaminya.
Ketiga, akhlak mulia. Definisi dari akhlak mulia yakni perilaku baik yang sesuai dengan syari’at Islam. Di sini Imam Al-Ghazali menambahkan bahwa akhlak adalah sifat yang telah tertanam dalam jiwa sebagai bentuk cerminan dalam tindakan tanpa pemikiran dan pertimbangan.
Maksudnya tindakan tersebut akan muncul secara otomatis karena kebiasaan. Ini berlaku juga terhadap akhlak tercela. Dengan demikian, adanya sikap pembiasaan yang baik dalam rumah tangga harus selalu diolah bahkan dilatih supaya dapat memiliki akhlak mulia. Suami maupun istri harus sama-sama saling mendukung bahkan mengingatkan untuk menuju tangga kebaikan selanjutnya.
Keempat, memberi apresiasi atau ruang terhadap perempuan. Kesempatan memberikan ruang gerak terhadap perempuan dalam menyuarakan hal yang ingin disampaikan. Hal ini bukan berarti hanya seorang laki-laki atau suami saja yang berwenang dalam segala hal tanpa memperdulikan suara perempuan.
Kelima, mengakui hak-hak perempuan. Sebagaimana yang diketahui bahwa perempuan adalah mitra laki-laki. Sehingga hak-hak perempuan juga tidak boleh diabaikan. Pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai bentuk kesetaraan dan memanusiakan kemanusiaan perempuan, karena hakekatnya perempuan ataupun laki-laki statusnya sebagai hanya hamba Allah.
Keenam, memperhatikan terhadap anak perempuan. Tidak diperbolehkan melakukan pembedaan antara anak laki-laki dan perempuan, keduanya berhak diberi kesempatan yang sama, dan setara untuk melangkah maju. Dengan demikian, seterusnya perempuan tidaklah mendapat posisi marginal, bahkan secara sosial nantinya dapat diterima dan diakui keberadaannya.
Dari keenam esensi prinsip penting keluarga yang harus diperhatikan dalam perspektif kitab Sittin ‘Adliyah di atas, penulis memahami bahwa prinsip-prinsip umum tersebut tidak hanya berlaku dalam ranah yang sempit, tetapi dapat menjadi luas lagi yakni pada tahap konteks sosial.
Sehingga sama-sama saling peduli antara laki-laki dan perempuan yang akan membentuk komunitas masyarakat yang didambakan. Saling kerja sama bahkan sama-sama merasakan keadilan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Demikian penjelasan terkait prinsip penting keluarga perspektif Kitab Sittin ‘Adliyah. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam. []