Mubadalah.id – Kewenangan pengadilan agama terkait pengakuan anak dirumuskan dalam nomenklatur “penetapan asal-usul anak,” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 ayat 2 angka 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Rumusan yang demikian tampak berimplikasi kepada kewenangan pengadilan agama, yang berbeda terhadap kewenangan pengadilan negeri yang mencakup pengesahan dan pengakuan anak yang lahir sebelum perkawinan. Penetapan pengadilan tentang asal-usul anak diperlukan dalam hal akta kelahiran atau bukti lain sebagai bukti asal-usul anak tidak ada, seperti disebutkan dalam Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam.
Akan tetapi, ketiadaan akta kelahiran sangat terkait dengan Pejabat Pencatatan Sipil untuk mencatat seorang anak pada register akta kelahiran sebagai anak sah. Anak sah akan dicatat sebagai anak dari seorang ayah dan seorang ibu, sementara anak tidak sah akan dicatat sebagai anak dari seorang ibu.
Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dalam hal ini, bagi pasangan Muslim yang menginginkan anak mereka yang dilahirkan di luar perkawinan, yang mencakup anak yang dilahirkan sebelum perkawinan atau dilahirkan dalam perkawinan tidak tercatat, dicatat sebagai anak dari kedua ayah dan ibu, mereka dapat mengajukan permohonan penetapan asal-usul anak kepada pengadilan agama.
Pada poin ini, apa yang dicari oleh pasangan secara substantif terkait dengan pengakuan anak, meskipun istilah penetapan asal-usul anak yang digunakan dalam kewenangan pengadilan agama.
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur tentang pengakuan anak. Pengakuan anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa pengakuan anak hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama, tetapi belum sah menurut hukum negara.
Ketentuan yang demikian merupakan bentuk kompromi hukum yang mencakup hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata Barat bahwa pengakuan anak dilarang bagi anak yang berasal dari perzinaan dalam mana ibu sang anak masih terikat hubungan perkawinan dengan orang lain sehingga ibu tersebut tidak dapat menikah dengan pasangannya.
Bagaimanapun, regulasi yang demikian telah mengakibatkan pengurangan hak-hak anak yang dilahirkan sebelum perkawinan meskipun sang ibu bukan seorang perempuan yang terikat perkawinan sehingga anak yang dilahirkan tidak dapat dilakukan pengakuan oleh sang ayah.
Dalam fikih (Islamic jurisprudence), pengakuan atau istilhaq adalah cara lain untuk menetapkan hubungan nasab antara seorang anak dan ayah selain perkawinan, yang berimplikasi pada pengesahan anak. Pengesahan anak, pada gilirannya, adalah akibat dari pengakuan anak.
Akan tetapi, terdapat perbedaan di kalangan ulama fikih dalam hal pengakuan anak luar kawin. Mayoritas ulama fikih berpendapat bahwa anak luar kawin tidak dapat dinasabkan kepada ayah biologisnya. Pendapat mayoritas ulama didasarkan kepada hadis yang menyatakan “al-waladu lil-firasy, wa lil-‘ahir al-hajar,” dengan terjemahan “anak dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan anak, dan bagi pelaku zina terdapat halangan untuk melakukan pengakuan anak.”
Hadis tersebut dilatarbelakangi oleh perselisihan antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berhubungan dengan istri dari suami tersebut tentang status anak yang dilahirkan oleh istri dari suami tersebut, kemudian Nabi Muhammad saw memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak dari suami ibu yang melahirkan anak tersebut, meski anak tersebut memiliki kemiripan dengan laki-laki tersebut.
Sementara beberapa ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Muhammad bin Sirin, Atha, Ibn Taimiyya, and Ibn Qoyyim, berpendapat bahwa apabila laki-laki yang berhubungan dengan ibu dari anak luar kawin mengakui anak tersebut, nasab anak tersebut dapat dihubungkan dengan ayah biologisnya. Mereka berpendapat bahwa hadis di atas terkait dengan perselisihan yang terjadi antara seorang suami dengan seorang laki-laki yang berzina tentang status anak dari seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan.
Dalam praktik hukum di pengadilan agama, kebanyakan perkara penetapan asal-usul anak berasal dari pasangan Muslim yang memiliki anak. yang dilahirkan dalam perkawinan tidak tercatat, yang tidak dapat disahkan melalui pengesahan nikah (itsbat nikah), termasuk perkawinan fasid, perkawinan poligami tidak tercatat, dan perkawinan di bawah umur.
Para pasangan Muslim tersebut harus menikah kembali untuk mendapatkan buku kutipan akta perkawinan setelah kelahiran anak mereka. Dalam hal ini, Pejabat Pencatatan Sipil menolak untuk mencatat anak mereka sebagai anak dari ayah dan ibu (anak sah) karena kelahiran anak terjadi sebelum perkawinan tercatat kedua orang tua anak.
Pengakuan anak juga terbatas kepada anak temuan yang tidak jelas orang tuanya, baik karena dibuang, korban bencana alam, atau pengungsian, seperti dapat ditemukan dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, tahun 2013.
Akan tetapi, terdapat putusan Pengadilan Agama Sleman nomor 408/Pdt.G/2006/PA.Smn tanggal 27 Juli 2006 terkait pengakuan anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Pengadilan mengabulkan permohonan pengakuan anak yang diajukan oleh seorang suami dengan menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai anak sah dari seorang suami dan istrinya berdasarkan pengakuan suami.
Sebelum menikah, pihak suami dan istrinya hidup bersama dan melakukan hubungan seksual di luar perkawinan sampai pihak istri melahirkan seorang bayi laki-laki di luar perkawinan. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur pengakuan anak, tetapi mengatur perkawinan perempuan hamil dengan laki-laki yang menghamili dalam Pasal 53.
Pengadilan menafsirkan bahwa tujuan Pasal 53 adalah untuk melindungi dan menjaga kepentingan anak ketika proses pertumbuhan anak telah terjadi sejak kedua orang tua belum menikah. Majelis hakim juga merujuk kepada kaidah hukum “al-hukm yattabi’u’l-maŝlahat ar–rājiĥah,” (hukum mengikuti kemanfaatan yang lebih besar) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Sebagai cara lain dalam menetapkan hubungan nasab anak dan ayah, lembaga pengakuan anak penting bagi perlindungan hak-hak anak. Status anak dapat ditingkatkan dari tidak sah kepada anak sah melalui pengakuan. Status anak merupakan dasar bagi hak-hak anak. Status anak telah mengakibatkan pemenuhan yang berbeda terhadap hak-hak anak.
Anak sah memiliki hak-hak penuh yang mencakup kewarisan, biaya hidup, pengasuhan, dan perwalian, sementara anak tidak sah memiliki hak-hak yang terbatas pada hak atas biaya hidup dan hak untuk mengetahui dan dibesarkan oleh orang tua biologis. Istilah orang tua biologis merupakan istilah baru yang diterima dalam praktik hukum di pengadilan setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak di luar perkawinan, meskipun istilah demikian tidak diterapkan oleh Pejabat Pencatatan Sipil untuk mencatat status anak.
Oleh karena itu, sudah saatnya bagi pengadilan agama untuk meningkatkan peran dalam perlindungan hak-hak anak melalui pengakuan anak, karena tidak jarang perkara pengakuan anak pasangan Muslim justru diajukan melalui pengadilan negeri. []