Sejak bulan puasa Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm atau saya memanggil beliau dengan sapaan Bu Nyai, sementara kawan-kawan aktivis lain dengan panggilan lebih akrab Mbak Iik, menggelar Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) secara berkala setiap akhir pekan. Melihat antusiasme peserta yang datang dari berbagai daerah dan beragam kalangan, baik laki-laki maupun perempuan, akkhirnya kegiatan tersebut berlanjut hingga paska lebaran.
Secara kebetulan saya mengikuti Ngaji KGI di Pemalang sesi Hari Senin 10 Juni 2019, memanfaatkan waktu mudik beliau. Dalam kegiatan KGI tersebut, ada beberapa hal menarik yang saya jadikan catatan reflektif terkait materi yang disampaikan Bu Nyai.
Pertama, pembahasan tentang gender bagi sebagian pegiat dan penggerak perempuan sudah tak asing lagi. Hampir di setiap pelatihan tentang gender, akan bersentuhan dengan materi perbedaan jenis kelamin dan gender, serta bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang dikemas dengan bahasa lain oleh Bu Nyai dengan istilah kesadaran sosial perempuan.
Di sisi lain pengalaman biologis perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, nifas dan menyusui juga dijadikan sebagai cara untuk menentukan kemanusiaan perempuan. Sehingga bagaimana pengalaman biologis ini difasilitasi. Salah satu contoh penjelasannya, bagaimana agar Angka Kematian Ibu dan Bayi (AKI/AKB) menjadi Nol Persen.
Kedua, saya mengenal Bu Nyai sejak Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), yang diselenggarakan di Ponpes Kebon Jambu Babakan Cirebon medio April 2017 silam. Pada sesi Seminar Nasional yang bertemakan “Peran Ulama Perempuan dalam Meneguhkan Nilai Keislaman, Kebangsaan dan Kemanusiaan”. Di mana beliau saat itu menyampaikan materi tentang Keadilan Hakiki bagi Perempuan.
Materi ini secara konsisten disampaikan Bu Nyai pada forum-forum bersama beliau selanjutnya, antara lain kegiatan Workshop Radikalisme bersama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Setnas di Jakarta, Bedah Buku Qiraah Mubadalah di UIN Walisongo Semarang, Malam Puncak Festival Mubadalah dan terakhir Ngaji KGI kemarin di Pemalang.
Dan pesan konsistensi “Keadilan Hakiki bagi Perempuan” in, Bu Nyai ingin agar benar-benar tersampaikan lebih luas, dan menjadi kesadaran bersama. Tidak hanya bagi perempuan tetapi juga lelaki. Tidak hanya terbatas di ruang-ruang diskusi, seminar, workshop, bedah buku dan lain sebagainya. Namun mampu menyentuh hingga ke seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat latar belakang. Mungkin atas dasar alasan itu, kelas Ngaji KGI akhirnya digelar hingga ke daerah-daerah.
Perbedaan mendasar Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan dari perspektif lainnya bertumpu dari cara pandang dan penyikapan terhadap perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, dan fakta ketimpangan kuasa dalam relasi perempuan dan laki-laki. Sementara dalam sistem patriarkhi, kekhususan organ, fungsi dan masa reproduksi perempuan dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan. Hal itu mengakibatkan perlakuan tidak adil dan peminggiran bagi perempuan.
Ketiga, alasan mengapa menggunakan nama Keadilan Gender Islam (KGI), tanpa ada tambahan kata “dan”. Karena menurut Bu Nyai, Gender tidak bisa terpisahkan dari Islam. Karena justru Islamlah yang telah membebaskan perempuan dari segala bentuk penindasan, kekerasan dan semua hal yang meniadakan sosok perempuan.
Dalam satu keterangan yang disampaikan pada peserta Ngaji KGI di Pemalang, dan menurut saya ini materi baru yang dipaparkan Bu Nyai, bagaimana Islam di abad 6 M telah memuliakan perempuan, sementara di belahan dunia lain, dari abad sebelumnya di Romawi, Yunani, India, dan Arab hingga beratus tahun kemudian perempuan masih dijadikan sebagai “the others”, warga dunia kelas kedua yang tidak memiliki hak bahkan atas tubuhnya sendiri.
Istilah gender memang dari Barat. Begitu yang ditegaskan Bu Nyai. Tetapi pembebasan terhadap perempuan justru datang dari Islam. Meski hari ini, atas nama agama yang sama, peran perempuan dibuat sedemikian rupa, sehingga tak punya suara. Tak punya nyali bahkan untuk membela diri sendiri.
Maka tak cukup untuk menjadi orang baik, tetapi bagaimana kita mampu memperbaiki agar menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Demikian pesan Bu Nyai di sesi akhir Ngaji KGI pada para peserta. Sampai di akhir kehidupan, manusia akan terus berproses, menjadi baik atau tidak itu adalah pilihan.
Ini yang dinamakan dengan proses hijrah. Berpindah dari sesuatu yang buruk ke baik, dari baik ke arah yang lebih baik. Dan pada akhirnya, berharap kelak “baik” akan menjadi tujuan bersama seluruh umat manusia, berlomba-lomba pada kebaikan, untuk mewujudkan Keadilan Hakiki bagi Perempuan.[]