Mubadalah.id – Melakukan pelestarian alam sebagai sumber energi merupakan salah satu bentuk dari ajaran Islam.
Salah satu bentuk dari ajaran Islam itu, sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad Saw diutus ke muka bumi tidak hanya untuk manusia semata, tetapi juga untuk alam semesta.
Karunia alam raya yang berlimpah ini tentu saja agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh manusia.
Selain digunakan untuk dimanfaatkan, umat manusia diminta untuk melestarikan alam sebagai sumber energi kehidupan yang menjadi syarat utama keberlangsungan hidup.
Terkait dengan hal di atas, ada tiga konsep filosofis yang kerap digunakan untuk menjabarkan kebesaran Allah Swt berupa karunia alam semesta yang merupakan sumber utama energi kehidupan makhluk.
Tiga konsep filosofis ini menjadi prinsip bagi umat manusia untuk melakukan pelestarian alam sebagai sumber energi.
Berikut tiga konsep filosofis untuk melakukan pelestarian alam sebagai sumber energi, seperti dikutip di dalam buku Fikih Energi Terbarukan yang ditulis oleh Abd. Moqsith Ghazali dkk.
Pertama, ta ‘abbudy. Tindakan melestarikan alam adalah bagian dari kepatuhan kepada Tuhan. Tuhan dan makhluk adalah dua entitas yang saling terhubung.
Oleh karena itu, kepatuhan kepada Tuhan seharusnya berimplikasi pada sikap menghormati dan mengasihi makhluk-makhluk-Nya.
Menjaga alam dengan demikian adalah bagian dari amanah Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah.
Hukum menjaga kelestarian dan keseimbangan alam dalam ilmu fikih adalah wajib, karena perintahnya sangat jelas, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Perusakan alam masuk dalam bab jinayat (pidana) dalam kitab-kitab fikih. Setiap orang yang melakukan pengerusakan alam dikenakan sanksi atau hukuman (jarimah).
Ini senada dengan keputusan Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2017.
Kongres ini memutuskan bahwa hukum melakukan pengrusakan alam yang mengakibatkan ketimpangan sosial hukumnya haram secara mutlak.
Akan tetapi, pembangunan dimungkinkan dengan pemanfaatan dan pengelolaan demi kemaslahatan dengan landasan maqashid asy-syari’ah, yaitu melindungi agama (hifdh addin), melindungi jiwa (hifdh an-nafs), melindungi harta (hifdh al-mal), melindungi akal (hifdh al-‘aql), dan melindungi keturunan (hifdh annasl).
Untuk itu, pengelolaan dan pemanfaatan alam tidak boleh melampui batas kebutuhan diri sendiri dan masyarakat, serta tidak boleh berdampak pada perusakan alam.
Kedua, ta ‘aqquly. Pemeliharaan alam merupakan perintah yang tegas untuk mewujudkan kemaslahatan semesta. Menjaga alam secara logika memiliki tujuan yang sangat dapat dipahami.
Alam adalah tempat tinggal dan tempat hidup seluruh makhluk. Alam telah didesain sedemikian rupa oleh Allah SWT dengan keseimbangan dan keserasian yang saling terkait satu sama lain.
Apabila ketidak seimbangan atau perusakan alam terjadi tentu akan berakibat pada bencana yang bukan saja menimpa manusia, melainkan juga semua makhluk yang tinggal dan hidup di tempat tersebut akan terkena akibatnya.
Ketiga, takhalluqy. Integritas dan moralitas seseorang tercermin dari perbuatannya, termasuk sikapnya terhadap alam semesta. Islam mengajarkan kita untuk menjadikan pelestarian alam sebagai akhlak, tabiat, dan kebiasaan sehari-hari. Sikap menjaga alam akan menjadi sangat mudah dan sangat indah apabila bersumber dari
kebiasaan harian. Keseimbangan dan kelestarian alam dengan begitu akan terjadi dengan sendirinya, meski tidak ada ancaman hukuman dan iming-iming tertentu.
Jadi, jelaslah relasi antara manusia dengan alam dan relasi manusia dengan sesamanya bukan hubungan antara penakluk dengan yang ditaklukkan atau antara tuan dengan hambanya.
Sebaliknya, hubungan itu adalah hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Alam memang anugerah Allah SWT, tetapi tidak untuk dieksploitasi, akan tetapi sebagai modal untuk mewujudkan kemakmuran, kemaslahatan, dan keberlangsungan hidup dan kehidupan. (Rul)