Mari kita dukung kampanye zero food waste atau pentingnya pengelolaan sampah makanan bersama aktivis lingkungan lainnya. Menyambut cinta mereka, saling jatuh cinta dan merawat kelestarian Bumi bersama. Membangun kesadaran adalah awal dari perubahan.
Mubadalah.id – “Sebenarnya yang bertepuk sebelah tangan itu bukan hanya perasaan cinta saja, tetapi sebagian dari perjuangan manusia juga mengalami hal yang sama.”
Begitu ungkapan yang saya dengar dari salah seorang pembicara dalam suatu seminar yang pernah saya ikuti.
Konteks ungkapan tersebut adalah, pembicara tengah menganalogikan perjuangan aktivis lingkungan yang bisa dibilang ‘bertepuk sebelah tangan’ dalam perjuangannya meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pengelolaan sampah makanan.
Pasalnya, di tengah sayu-sayup suara perjuangan mereka menyerukan agar masyarakat aware atas produksi sampah yang kian menggunung tiap harinya, terdapat banyak pihak yang justru turut menjadi aktor pelaku penumpuk sampah.
Bagaikan cinta yang tak mendapatkan balasan, atau belum, kira-kira begitu analogi dari pembicara.
Saya ingat bahwa pengurus asrama selalu menasehati para santri agar mengambil jatah cidukan nasi dan sayur secukupnya agar tidak meninggalkan sisa makanan.
Pesantren
Ya, pesantren sendiri memang tidak terlepas dari isu food waste, setidaknya dari pengalaman dan fakta yang saya lihat di lapangan.
Di masing-masing pesantren tentunya memiliki beragam sistem atau regulasi tersendiri terkait aktivitas makan dan makanan.
Di beberapa pesantren yang saya ketahui, terdapat sistem pembagian makanan di mana para santri mengambil sendiri di satu titik kumpul pengambilan nasi dan lauk atau sayur.
Terkadang para santri menyusun sistem penunjang tersendiri yaitu dengan mengadakan giliran piket mengambil nasi untuk santri lainnya yang sekamar.
Mungkin untuk sedikit memperjelas gambaran kondisi di pesantren, perlu diketahui bahwa pada kebanyakan pesantren, para santri tinggal bersama-sama di kamar-kamar bangunan pondok pesantren.
Satu kamar berukuran sedang bisa dihuni oleh beberapa orang, lima atau tujuh orang, tak jarang lebih, tergantung pada luas serta kapasitas ruang kamar.
Jadi, terkadang dalam melaksanakan beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak seperti perihal kebersihan kamar dan juga persoalan makan, diadakanlah piket bergilir.
Saat giliran seorang santri piket mengambil nasi, maka ia akan mengambilkan nasi beserta lauk pauk sekaligus sejumlah teman sekamarnya.
Dari situ tak jarang terjadi salah perhitungan porsi yang akhirnya membuat banyak nasi serta lauk dan sayuran harus dibuang karena tak ada perut yang sanggup menampungnya lagi.
Tak jarang saya juga menyaksikan banyak sampah makanan yang terbuang di pusat pembuangan sampah pesantren.
Sebagai seseorang yang dibesarkan dengan doktrin harus menghabiskan tiap makanan yang telah kita ambil, saya merasa miris melihat hal tersebut.
Namun anehnya, di saat bersamaan, saya merasa bahwa hal itu mungkin wajar dan terjadi di banyak tempat lainnya.
Food Waste
Belakangan saya menyadari bahwa fenomena yang saya saksikan waktu itu adalah salah bentuk dari food waste.
Food waste sendiri merupakan istilah untuk menyebut makanan siap konsumsi oleh manusia namun terbuang begitu saja hingga akhirnya menumpung di tempat pembuangan sampah akhir.
Fenomena tersebut mungkin sekilas terlihat biasa saja dan bahkan sering kita temui dalam kehidupan nyata.
Berdasarkan hasil penelitian dari Food Loss and Waste Study Waste4Change, terungkap bahwa food loss dan food waste di Indonesia per orang mencapai 184 kg per tahun. Secara total berjumlah 48 ton setahun.
Jumlah tersebut setara dengan memberikan makanan bagi 125 juta orang dalam rangka pengentasan kemiskinan serta penanganan stunting di negara ini.
Tak heran jika Indonesia menjadi negara pembuang sampah sisa makanan terbesar kedua di dunia.
Dari angka tersebut, terdapat sumbangsih food waste dari kalangan pesantren. Tentunya hal ini dapat menjadi concern bersama.
Tanggung Jawab Manusia
Mengingat bahwa sebenarnya tanggung jawab mengatasi persoalan food waste ini merupakan tanggung jawab umat manusia sebagai khalifah fil ‘ardhi yang seharusnya menjaga kelestarian Bumi.
Larangan untuk menyia-nyiakan makanan pun sebenarnya juga tersirat dalam Q.S. Al-Isra’ ayat 26-27 sebagai berikut:
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا (26) اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا (27)
Artinya: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan hak mereka, kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang menempuh perjalanan, Dan janganlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu, termasuk makanan, (ed)) dengan cara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudaranya setan, dan setan itu terbukti ingkar kepada Tuhanya.” (Q.S. Al-Isra’ ayat 26-27)
Dalam ayat tersebut sesungguhnya juga mengandung larangan untuk menghambur-hamburkan atau menyia-nyiakan makanan.
Makanan yang tidak habis dan membuangnya begitu saja. Membusuk di tong sampah dan mengeluarkan bau yang menyengat.
Bahaya Gas Metana
Namun apakah benar demikian?
Apakah dampak dari ‘sisa makanan yang tak habis lalu membuangnya’ itu hanya sampai pada menimbulkan bau yang tak sedap saja?
Ternyata tidak sesimpel itu, Salingers. Ada serangkaian dampak negatif lainnya yang berpangkal dari food waste itu tadi.
Seperti mengutip dari letstalkscience.ca, limbah makanan ternyata sangat berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.
Hal tersebut terjadi karena sampah atau limbah makanan sisa yang menumpuk di tempat pembuangan sampah akhirnya membusuk dan menghasilkan gas metana dan karbondioksia yang tidak sehat untuk Bumi.
Gas metana sendiri merupakan gas emisi rumah kaca yang 21 kali lebih berbahaya dari gas karbondioksida.
Gas-gas tersebut terbawa hingga atmosfer dan berpotensi merusak lapisan ozon. Padahal kita tahu bahwa lapisan ozon merupakan elemen penting penjaga stabilitas suhu Bumi.
Dari sinilah efek domino dari food waste mulai berdampak. Jika kita terus menerus membiarkan gas-gas metana perusak ozon, maka lama kelamaan akan menggerus lapisan ozon, maka bukan tak mungkin suhu Bumi akan naik.
Ketika stabilitas suhu Bumi terganggu, suhu Bumi naik, Bumi semakin panas, maka terjadilah pemanasan global atau global warming.
Akibat suhu Bumi yang semakin panas, lapisan es di Bumi (yang sebagian besar terletak di kutub) akan mencair dan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut.
Cara Mengatasi
Lantas, bagaimana cara untuk mengatasi permasalahan ini?
Pertama, sebelum berbicara lebih jauh mengenai sistem pengelolaan sampah makanan.
Alangkah lebih baiknya jika kita sama-sama benar-benar menanamkan kesadaran penuh atau mindfullness dalam mengonsumsi makanan serta mempertimbangkan daya tahan makanan yang kita makan.
Sadar penuh dan peganglah kendali atas setiap makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh kita.
Kesadaran mengenai proses pembuatan makanan hingga makanan tersebut sampai kepada kita juga perlu menanamkannya.
Bahwa dalam tiap sesuap nasi yang kita lahap, terdapat perjuangan petani untuk menanamnya. Tak jarang dalam perjuangan itu menemui kegagalan panen.
Untuk padi sampai kepada ceruk-ceruk periuk nasi, terdapat jerih payah orang tua yang memperjuangkannya demi kenyangnya perut anak-anak mereka.
Sehingga dari kesadaran akan kompleksnya proses makanan itu sampai pada kita, muncul pula kesadaran untuk lebih menghargai setiap makanan yang sampai pada kita.
Harapannya, dari rasa penghargaan atas makanan tersebut dapat mencegah kita untuk menyisakan makanan.
Pentingnya Mengelola Kesadaraan
Jadi, sebelum membicarakan mengenai pengelolaan sampah makanan, yang harus kita lakukan lebih dulu adalah mengelola kesadaran kita akan pentingnya makan secara sadar sesuai kemampuan kita agar tidak menyisakan makanan yang terbuang percuma.
Saya percaya bahwa setiap hal besar berawal dari langkah-langkah kecil. Langkah kecil yang bisa kita mulai adalah dengan menumbuhkan kesadaran penuh untuk lebih menghargai makanan.
Mari kita dukung kampanye zero food waste bersama aktivis lingkungan lainnya. Menyambut cinta mereka, saling jatuh cinta dan merawat kelestarian Bumi bersama. Membangun kesadaran adalah awal dari perubahan.
Jadi, sudahkah Anda hadir utuh sadar penuh penuh dalam aktivitas makan Anda?